Ombudsman Temukan Maladministrasi Deklarasi Damai Kasus Talangsari
JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia menyelesaikan kajian singkat mengenai pelayanan bantuan hukum dalam rangka peningkatan kualitas layanan publik.
Lembaga itu melakukan pengambilan data wawancara di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM serta Organisasi Bantuan Hukum (OBH) di DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, Kepulauan Riau dan Sulawesi Tenggara.
Dari kajian tersebut Ombudsman menemukan beberapa temuan dan mengundang Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) untuk menerima hasil kajian dan saran dari Ombudsman.
Anggota Ombudsman, Adrianus Meliala menjelaskan kajian ini dilatarbelakangi salah satunya adalah kebijakan bantuan hukum belum menjangkau perwujudan akses keadilan yang menyeluruh dari sisi pemberi layanan, penerima bantuan, penyelenggara, bentuk kegiatan, dan besaran anggaran bantuan hukum.
"Selain itu pelaksanaan kebijakan bantuan hukum tidak diikuti dengan kepastian kualitas pemberian layanan, terkait dengan standar layanan bantuan hukum, verifikasi dan akreditasi," ujarnya, Rabu (4/12/2019) di Kantor Ombudsman, Jakarta Selatan.
Tujuan dilakukannya kajian ini, tuturnya, adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme akreditasi Organisasi Bantuan Hukum, proses pencairan dana untuk OBH serta mekanisme monitoring dan evaluasi terhadap OBH.
Adrianus memaparkan beberapa temuan berdasarkan hasil kajian tersebut yakni tidak ada keterbukaan informasi tentang alasan ketidaklulusan atau penurunan akreditasi oleh BPHN sehingga Kanwil Kemenkumham cukup kesulitan saat menjelaskan kepada OBH. Selain itu juga ditemukan bahwa proses verikasi faktual yang merupakan salah satu prosedur verifikasi masih belum dilakukan secara merata terlebih terhadap OBH yang pernah diakreditasi sebelumnya.
Ia menambahkan Ombudsman juga menemukan bahwa bantuan hukum yang telah dijalankan hanya mengakomodasi pelaku dalam proses litigasi namun tidak untuk korban.
"Selain itu juga kami temukan monitoring tidak dilakukan secara menyeluruh terhadap seluruh OBH dan hasil monitoring sebagai evaluasi tidak disampaikan kepada OBH sehingga OBH tidak mengetahui hasil monitoring dan evaluasi yang harus dilakukan," jelasnya.
Berdasarkan hasil kajian tersebut, Ombudsman memberikan sejumlah saran perbaikan kepada Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di antaranya melakukan verifikasi faktual secara menyeluruh terhadap OBH sebagai prasyarat akreditasi dan mempertimbangkan masukan dari Kanwil Kemenkumham sebagai pelaksana didaerah serta menyampaikan pertimbangan hasil akreditasi kepada Kanwil Kemenkumham.
Tidak kalah penting, papar ya perlu dibuat standar prosedur dalam pelaksanaan bantuan hukum yang meliputi proses percairan dana bantuan, alternatif lain pengganti surat keterangan tidak mampu (SKTM), monitoring dan evaluasi.
"Perlu memperluas segmen pemberian dana bantuan yang dapat mengakomodir korban serta melakukan monitoring terhadap kualitas pemberian bantuan hukum," terang Adrianus.
Untuk mengakomodasi keluhan masyarakat, Ombudsman memberikan saran agar BPHN membentuk unit pengelola pengaduan, menyediakan sarana pengaduan mencukupi, dan membuat standar penyampaian pengaduan.
Sesuai dengan Pasal 7, 8 dan 31 UU Nomor 37 Tahun 2008, Ombudsman berwenang melakukan kajian inisiatif, menyampaikan saran kepada Presiden, Kepala Daerah, dan pimpinan kementerian/lembaga tentang perbaikan/penyempurnaan organisasi dan prosedur pelayanan publik; Menyampaikan saran kepada Presiden, DPR, DPRD terkait perubahan UU atau peraturan perundangan lain dalam rangka mencegah terjadinya maladministrasi.