Ombudsman Temukan Maladministrasi Deklarasi Damai Kasus Talangsari
Ombudsman RI menemukan maladministrasi dalam "Deklarasi Damai Kasus Talangsari" yang dilakukan Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat pada Februari 2019.
JAKARTA (VOA) - Anggota Ombudsman RI Ahmad Suaedy mengatakan penyelenggaraan "Deklarasi Damai Kasus Talangsari" tidak sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik dan tidak sesuai dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara nonyudisial sesuai Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Karena itu, Ombudsman menyimpulkan kegiatan yang dilakukan tim terpadu tersebut maladministrasi atau mengabaikan kewajiban hukum.
Ia mencontohkan dalam deklarasi disebutkan, bahwa selama 30 tahun telah dilakukan pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, dan proses penanganan dalam bentuk pemenuhan hak-hak dasar korban dan keluarga korban. Namun hasil investigasi Tim Ombudsman menemukan pemenuhan hak-hak dasar korban dan keluarga korban maupun warga masyarakat belum berjalan maksimal.
"Tidak berarti bahwa semua yang dilakukan tim terpadu itu salah. Karena tim telah melakukan pendekatan kepada masyarakat dengan melakukan pelayanan publik. Dan itu kami hargai karena, kami ingin mendorong agar penyelesaian dugaan pelanggaran HAM berat ini dilakukan dengan pendekatan pelayanan publik secara tidak diskriminatif," jelasAhmad Suaedy di kantor Ombudsman, Jakarta, Kamis (5/12).
Ahmad Suaedy meminta tim terpadu memperbaiki deklarasi damai kasus Talangsari agar sesuai dengan Undang-undang tentang Pengadilan HAM yang penyelesaiannya melalui jalur nonyudisial. Salah satunya yaitu dengan memverifikasi ulang jumlah korban kasus Talangsari.
Tim terpadu merupakan tim gabungan lintas kementerian-lembaga seperti Kemenko Polhukam, Kemenkumham, Komnas HAM, Kejagung dan Polri untuk penuntasan kasus HAM berat.
Asisten Deputi Koordinator Pemajuan dan Perlindungan HAM Kemenko Polhukam, Rudy Syamsir menjelaskan deklarasi damai kasus Talangsari tidak direncanakan pemerintah pusat. Menurutnya, usulan deklarasi tersebut muncul dari daerah yang terdiri dari Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan tokoh-tokoh di Lampung Timur.
Kata dia, pemerintah setempat dan masyarakat di sana tidak ingin kasus tersebut diangkat terus sehingga seolah-olah menjadi tempat Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Kendati demikian, Kemenko Polhukam akan menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan Ombudsman.
"Intinya kegiatan yang dilaksanakan pemerintah harus mempunyai dasar hukum yang kuat. Namun undang-undang kita banyak yang bisa memberikan jalan untuk penyelesaian penanganan dugaan pelanggaran HAM berat bisa diselesaikan. Tadi ada 2 alternatif yaitu nonyudisial dan yudisial," ujar Rudy Syamsir.
Sementara Direktur instrumen HAM Kementerian Hukum dan HAM Timbul Sinaga mengatakan tim terpadu telah mencatat jumlah korban dan kebutuhan korban kasus Talangsari dari hasil kunjungan ke sana. Untuk jumlah korban tercatat sebanyak 11 orang. Sementara untuk kebutuhan masyarakat seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, jalan raya akan dibangun pada tahun ini dan 2020.
"Kementerian-kementerian terkait sudah setuju dan siap. Jadi 2 minggu lalu kita sudah rapat di Kemenko Polhukam dengan mengundang semua kementerian terkait. Dan kebutuhan individual dan komunal kita sampaikan ke kementerian dan kementerian terkait sudah setuju dan siap anggarannya," jelas Timbul Sinaga.
Timbul Sinaga mengatakan jalur penyelesaian kasus yang dilakukan tim terpadu ini merupakan jalur nonyudisial. Langkah ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian kasus secara yudisial atau hukum. Namun, keputusan tersebut bergantung kepada para korban. Karena itu, ia meminta pihak luar tidak memaksa korban seandainya lebih memilih jalur nonyudisial.
Suara Korban Talangsari
Ketua Paguyuban Keluarga dan Korban Talangsari Lampung (PK2TL) Edi Arsadad mengapresiasi temuan Ombudsman terkait deklarasi damai kasus Talangsari. Menurutnya, pemulihan terhadap korban pelanggaran HAM merupakan kewajiban negara. Namun, Edi berharap kasus Talangsari tetap dilanjutkan melalui jalur hukum.
Di samping itu, ia mencatat jumlah korban kasus Lampung Timur lebih dari 11 keluarga yakni 54 keluarga. Mereka tersebar di beberapa desa dan kecamatan di antaranya Kecamatan Labuhan ratu, Way Jepara, Mataram Baru, Bandar Sribhawono, Sekampung Udik Dan Marga Tiga. Jumlah tersebut belum termasuk korban Talangsari yang ada di Solo, Jawa Tengah dan Jakarta.
"Kita juga sudah mengajukan beberapa nama (korban) tapi belum disetujui. Karena menurut Komnas HAM ada beberapa aturan yang sudah berubah tidak seperti dulu lagi. Nah yang dipakai oleh Kemenko Polhukam adalah data dari LPSK," jelas Edi Arsadad saat dihubungi VOA, Kamis (5/12).
Kasus Talangsari bermula dari dugaan terhadap sebuah kelompok pengajian di Talangsari, Lampung yang ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Militer saat itu menyerang warga sipil secara brutal karena upaya dialog yang dilakukan gagal.
Sebanyak 45 orang tewas, 5 orang diperkosa, 88 orang korban penghilangan orang secara paksa, 36 orang disiksa, dan 173 lainnya ditahan sewenang-wenang. Dua puluh tiga orang telah menjalani proses pengadilan yang tidak adil, dan banyak rumah warga yang dihancurkan.
Berkas kasus Talangsari telah dikembalikan Jaksa Agung pada 27 November 2018. Komnas HAM kemudian mengembalikan kembali berkas kepada Jaksa Agung pada 19 Februari 2019. Komnas HAM menyatakan berkas-berkas yang dikembalikan oleh Jaksa Agung tidak memiliki petunjuk baru atas barang bukti atau kesaksian apa yang harus dilengkapi.