• ,
  • - +
Ombudsman Temukan 3 Malaadministrasi Pengangkatan Pj Kepala Daerah
Kliping Berita • Selasa, 19/07/2022 •
 
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng

JAKARTA, KOMPAS.com - Ombudsman Republik Indonesia menemukan tiga dugaan malaadministrasi terkait pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, temuan ini merupakan hasil dari tindak lanjut atas laporan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang meminta informasi terkait penunjukan Pj kepala daerah kepada Kemendagri. "Atas semua temuan dan pendapat yang dirangkum tadi, Ombudsman menyampaikan tiga malaadministrasi," kata Robert dalam konferensi pers yang disiarkan di YouTube Ombudsman, Selasa (19/7/2022).

Sementara, penunjukan TNI atau Polri untuk menjabat di luar posisi tersebut harus mengacu pada aturan lengkap esensi UU TNI dan UU ASN mengenai status kedinasan,

"Apakah yang dilihat hanya dia berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya, tidak melihat unsur kedinasannya?" ujar Robert.

Robert mengatakan dalam penunjukan kepala daerah dari anggota Polri aktif dan TNI aktif, Kemendagri harus mengajukan surat permohonan ke instansi tempat ia bertugas. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Polisi (Perpol) Nomor 12 Tahun 2018 tentang Penugasan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU 34 Tahun 2004 tentang TNI.

"Kalau penjabat kepala daerah, dalam hal ini Mendagri (yang meminta)," ujar Robert.

Namun, menurut Robert dalam pemeriksaan oleh Ombudsman Kepala Badan Bidang Pembinaan Hukum TNI menyebut dalam proses pengangkatan prajurit TNI aktif sebelumnya, TNI tidak pernah mengusulkan calon Pj kepala daerah. Pihak TNI juga mengaku tidak dilibatkan dalam proses pengangkatan Pj kepala daerah.

"Biasanya, kalau ada penugasan prajurit aktif, maka pihak TNI itu dimintakan dan kemudian akan berkoordinasi," tutur Robert.

Dugaan malaadministrasi yang ketiga adalah Kemendagri diduga mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menentukan kewajiban hukum. Putusan yang dimaksud adalah nomor 67/PUU-XIX/2021 dan 15/PUU-XX/2022 mengenai ketentuan pengisian kekosongan pejabat kepala daerah menjelang Pemilu Serentak 2024. Robert mengatakan dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan bahwa penunjukan Pj kepala daerah harus dilaksanakan secara demokratis, menerbitkan peraturan pelaksana tindak lanjut Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016, dan lainnya. Menurut dia, terdapat tiga produk hukum, yakni peraturan, keputusan, dan putusan lembaga.

"Ini ada pengabaian kewajiban hukum terhadap melaksanakan putusan tersebut," tutur Robert.

Sebagai informasi, tiga LSM yakni Indonesia Corruption Watch, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan Perludem melaporkan dugaan malaadministrasi terkait penunjukan Pj kepala daerah oleh Kemendagri. Mereka protes lantaran permohonan informasi terkait penunjukan Pj kepala daerah tidak dibuka ke publik. Di sisi lain, dalam beberapa bulan terakhir keputusan Kemendagri menunjuk prajurit TNI aktif sebagai Pj kepala daerah mendapat sorotan dari sejumlah aktivis dan pakar hukum tata negara.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...