Ombudsman: Tahun Ini, Aduan Pungli di Layanan Publik Masih Tinggi
KBR, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia mencatat praktik maladministrasi berupa pungutan liar (pungli) di sektor layanan publik masih banyak terjadi hingga tahun ini. Anggota Ombudsman RI Indraza Marzuki mengatakan, pada tahun ini Ombudsman RI mencatat ada 16 ribu pengaduan dugaan malpraktik di lingkungan layanan publik. Angka tersebut meningkat cukup signifikan dari tahun sebelumnya yang hampir mencapai 14 ribu aduan. Di antara 16 ribu aduan itu, 11 persen di antaranya masuk dalam kategori laporan pungli.
Indraza Marzuki menjelaskan, meski pungli di sektor pelayanan publik mencapai 11 persen, namun kenyataannya aktivitas pungli justru banyak terjadi pada kategori laporan di segi laporan lain, seperti di kategori laporan keberpihakan, disktriminatif, tidak memberikan pelayanan, dan penundaan berlarut. Bahkan, katanya, sampai saat ini masih banyak masyarakat yang memberikan pungli kepada administrator pelayanan publik, tetapi tidak mau melapor karena malu.
"Kadang-kadang di dalam laporan keberpihakan, diskriminatif, tidak memberikan pelayanan, sebetulnya di situlah banyak pungli-pungli yang tidak disadari. Tetapi kenapa yang melapor sedikit. Nah, ini dia penyakitnya. Kadang banyak masyarakat yang memberikan, tapi malu juga ketika harus melapor bahwa dia sudah memberikan sesuatu atau dimintakan sesuatu," kata Indraza Marzuki pada diskusi Fenomena Pungutan Liar di Sektor Pelayanan Publik dan Efektivitas Penanganannya, Selasa (7/12/2021).
Dia mengatakan, saat ini pelayanan publik hanya tersedia tanpa adanya fungsi dan akuntabilitas. Masyarakat juga tidak bisa menjangkau layanan publik seperti mengakses layanan berbasis digital yang disediakan pemerintah. Hal ini membuat potensi pungli di lingkungan layanan publik jadi membesar.
"Misalnya dibuat pake mesin di Dukcapil, bisa ngeprint sendiri KK-nya. Tapi ternyata juga nggak berfungsi. Alatnya duduk aja. Lalu pemanfaatannya, apakah betul layanan publik yang dibuat itu bermanfaat. Nggak, kadang banyak hal yang nggak bermanfaat. Ya, masyarakat nggak merasakan," kata Indraza.
Berdasarkan survei yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII), tingkat suap di Indonesia mencapai urutan ke-3 di antara 17 negara di Asia. Program Officer Democratic & Participatory Governance TII Izza Akbarani bercerita, lebih dari 90 persen responden mengaku tidak pernah melaporkan praktik suap yang. dialaminya. Pengalaman suap paling tinggi terjadi di kepolisian mencapai 41 persen, melampaui rerata Asia sebesar 23 persen.
"Pengalaman ini terjadi di layanan kepolisian 41 persen jauh diatas rata-rata Asia yang 23 persen. Pengalaman ini terjadi di kepolisian, Dukcapil, dan ternyata di sekolah juga. Naik kembali di bandingkan GCB kita di 2017. Kemudian di rumah sakit dan puskesmas dengan pengalaman suap terendah 11 persen. Namun tidak ada penurunan signifikan dari pengukuran sebelumnya," katanya.
Lebih lanjut, untuk kategori korupsi, lanjutnya, anggota legislatif menempati posisi teratas sebagai lembaga terkorup di Indonesia sebesar 32 persen, disusul pemerintah daerah 30 persen, pejabat pemerintah dan polisi masing-masing 26 persen.