Ombudsman RI Temukan Persoalan Pengelolaan Barang Bukti
Siaran Pers
Nomor 054/HM.01/X/2023
Jumat, 6 Oktober 2023
JAKARTA - Ombudsman RI telah merampungkan kajian mengenai penyelenggaraan barang bukti di lingkup Kepolisian, Kejaksaan dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). Setidaknya, Ombudsman RI menemukan enam persoalan dalam pengelolaan barang bukti, di antaranya sumber daya manusia (SDM), sarana dan prasana hingga koordinasi antarinstansi.
Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro menyampaikan pihaknya menemukan persoalan pada regulasi, dimana Rupbasan tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan. "Sehingga Rupbasan tidak memiliki sistem database sebagaimana yang dimiliki oleh lembaga pemasyarakatan," ujar Johanes saat memaparkan hasil kajian, Jumat (6/20/2023) di Kantor Ombudsman RI Jakarta Selatan.
Tak hanya itu, Ombudsman mendapati fakta bahwa Kepolisian, Kejaksaan dan Rupbasan memiliki aturan masing-masing terkait dengan pengelolaan barang bukti, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Johanes melanjutkan, jumlah sumber daya manusia (SDM) yang mengelola barang bukti di Kepolisian, Kejaksaan dan Rupbasan belum memadai. Ia mengatakan, di Kepolisian dan Kejaksaan tidak terdapat SDM yang mempunyai kualifikasi tertentu sesuai dengan spesifikasi barang bukti. "Demikian juga di Rupbasan dimana SDM dengan kualifikasi tertentu jumlahnya terbatas pada petugas penilai, selebihnya belum ada SDM dengan kualifikasi khusus seperti perkayuan, zat berbahaya, zat kimia," terangnya.
Ombudsman juga menemukan persoalan sarana dan prasarana dimana penempatan barang bukti pada gudang penyimpanan belum seluruhnya sesuai dengan pengklasifikasian penyimpanan barang bukti. Misalnya pengklasifikasian barang bukti dengan jenis gudang, seperti gudang umum, gudang berharga, gudang berbahaya, gudang terbuka dan gudang hewan ternak/tumbuhan, dikarenakan terbatasnya gudang yang ada untuk penyimpanan barang bukti.
Johanes mengatakan persoalan klasik seperti anggaran juga mengemuka. "Bahkan di beberapa Polres tidak memiliki anggaran untuk melakukan pengelolaan barang bukti," ungkapnya.
Ombudsman juga menyoroti koordinasi antar instansi yang belum selaras. Johanes mengatakan, Kejaksaan dan Kepolisian cenderung untuk melakukan pengelolaan barang bukti sendiri dan tidak melibatkan Rupbasan. "Padahal Rupbasan memiliki sarana dan prasarana yang lebih baik untuk melakukan pengelolaan. Selain itu, penanggung jawab yuridis atas barang bukti sering kali tidak memberikan informasi terkait dengan perkembangan status barang bukti yang dititipkan di Rupbasan, sehingga banyak barang bukti yangoverstay," jelasnya.
Terkait pengelolaan barang bukti, Ombudsman RI menemukan masih terdapat Polres yang penyimpanan barang buktinya dilakukan oleh penyidik, bukan dilakukan oleh Satuan Perawatan Tahanan dan Barang Bukti (Sattahti). Selain itu juga belum meratanya pencatatan secara digital dalam melakukan pengelolaan barang bukti.
Ombudsman juga menemukan adanya barang bukti yang dikembalikan kepada pemiliknya dengan kondisi tidak sama seperti saat awal dilakukan penyitaan. "Ombudsman RI menerima laporan masyarakat terkait tata kelola barang bukti di antaranya adanya barang bukti yang rusak, hilang dan mengalami penurunan nilai," imbuh Johanes.
Untuk itu dalam kajian ini, Ombudsman memberikan sejumlah saran yakni agar Kepolisian RI, Kejaksaan Agung dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM saling berkoordinasi guna mengatur, menegaskan, dan memberikan kepastian aturan terkait kewenangan pengelolaan barang bukti dalam suatu proses penanganan perkara pidana.
Kedua, agar menyusun peraturan bersama pengelolaan barang bukti yang mengatur single register dalam pengelolaan barang bukti pada Kepolisian, Kejaksaan, dan Rupbasan. Ketiga, mengembangkan Sistem Penanganan Perkara Tindak Pidana secara Terpadu berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI) dengan menambahkan fitur pengelolaan barang bukti, sehingga memudahkan penelusuran status barang bukti. Terakhir tentunya agar melakukan penguatan sistem pengawasan dalam pengelolaan barang bukti.
Kepada Polri, Johanes menyampaikan beberapa saran, yakni agar jajaran pejabat pengelola barang bukti baik di tingkat Mabes Polri, Polda, dan Polres senantiasa berpedoman pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014. Kedua, agar menyediakan ruang penyimpanan barang bukti yang proporsional sesuai dengan kebutuhan dimasing-masing unit kerja baik di tingkat Mabes Polri, Polda, dan Polres jajaran. Ketiga, meningkatkan struktur organisasi, anggaran, sumber daya manusia, dan keterampilan di setiap unit pengelola barang bukti.
Kepada Kejaksaan Agung, Ombudsman menyampaikan beberapa saran, yakni agar memastikan penggunaan aplikasi Asset Recovery Secured-data System di setiap Kejaksaan Negeri dalam pengelolaan barang bukti serta optimalisasi pemulihan aset tindak pidana. Kedua, agar menyediakan ruang penyimpanan barang bukti yang proporsional sesuai dengan kebutuhan di setiap Kejaksaan Negeri. Ketiga, meningkatkan anggaran, sumber daya manusia, dan keterampilan di setiap seksi Pengelolaan Barang Bukti dan Barang Rampasan di setiap Kejaksaan Negeri.
Kepada Kementerian Hukum dan HAM RI, Ombudsman menyampaikan beberapa saran perbaikan, yakni agar melakukan standarisasi penataan dan pengelolaan barang sitaan dan barang rampasan sesuai Permenkumham Nomor 16 Tahun 2014. Kedua, meningkatkan tenaga fungsional penilai dan peneliti dengan melakukan pendidikan dan pelatihan secara berjenjang. Ketiga, meningkatkan struktur organisasi Rupbasan, serta sarana dan prasarana yang sesuai dengan standar kualifikasi barang bukti sehingga barang bukti dapat dikelola secara optimal.
Ombudsman melaksanakan kajian pada kurun waktu Maret-September 2023 dengan melakukan wawancara terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP) dan observasi tempat penyimpanan barang bukti, barang sitaan atau barang rampasan di Polri, Kejaksaan dan Rupbasan di Provinsi Gorontalo, Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Jawa Barat. (*)
Narahubung:
Anggota Ombudsman RI
Johanes Widijantoro