• ,
  • - +
Ombudsman RI Temukan 4 Aspek Lemahnya Pencegahan TPPO
Siaran Pers • Kamis, 28/11/2024 •
 

Siaran Pers

Nomor 050/HM.01/XI/2024

Kamis, 28 November 2024


JAKARTA - Ombudsman RI telah menyelesaikan kajian sistemik terkait pelaksanaan pencegahan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sebagai salah satu upaya pencegahan maladministrasi. Ombudsman RI menyoroti 4 aspek yakni sosialisasi dan edukasi, pengawasan, peningkatan koordinasi dan kerja sama, serta regulasi upaya pencegahan TPPO.

Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro menjelaskan, pihaknya melakukan penyusunan kajian dalam rangka melakukan evaluasi dan memberikan saran perbaikan terhadap pelaksanaan pencegahan TPPO yang dilakukan oleh Gugus Tugas Pencegahan dna Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

"Hal yang melatarbelakangi kajian ini adalah jumlah korban TPPO yang terus meningkat setiap tahunnya dengan beragam modus operandi dan korban yang berasal dari berbagai kelas ekonomi dan Pendidikan. Serta meluasnya jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri," ujarnya dalam acara penyerahan hasil kajian di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan pada Kamis (28/11/2024).

Ombudsman RI telah melakukan pengumpulan informasi dan data di beberapa wilayah yaitu Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat dan Kepulauan Riau. Selain itu, pengumpulan data dan informasi juga melibatkan instansi pusat, organisasi nonpemerintah serta korban TPPO.

Dalam kajian ini, Johanes menyampaikan beberapa modus TPPO, yakni eksploitasi seksual, eksploitasi anak buah kapal (ABK), eksploitasi pekerja migran Indonesia (PMI), pemagangan, pengantin pesanan yakni tawaran menikah dengan orang asing dan dijanjikan kehidupan mapan di negara asal calon suami, eksploitasi anak dan eksploitasi transplantasi organ tubuh.

Kemudian ia menguraikan, temuan Ombudsman pada aspek sosialisasi dan edukasi pencegahan TPPO di antaranya belum semua daerah memiliki Rencana Aksi Daerah (RAD) PP TPPO, tidak adanya anggaran yang dimiliki oleh daerah untuk Gugus Tugas TPPO, khususnya anggaran terkait kegiatan sosialisasi, belum seragamnya kelompok sasaran sosialisasi TPPO dikarenakan belum adanya perencanaan rinci dalam RAD TPPO dan kurangnya koordinasi antarOPD.

Sedangkan pada aspek pengawasan, Johanes menjelaskan, dalam melakukan upaya pencegahan TPPO melalui pengawasan Lembaga Pelatihan Kerja ( LPK) dan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI), maupun keimigrasian, juga terdapat permasalahan. Di antaranya masih banyak korban TPPO yang semestinya dapat dicegah keberangkatannya melalui proses pengawasan keimigrasian.

"Hal ini menggambarkan masih perlu dilakukan penguatan dalam proses pengawasan keimigrasian, khususnya dalam proses verifikasi dan wawancara serta pemeriksaan di TPI," ujarnya.

Johanes juga mengungkapkan, mudahnya praktik pemalsuan identitas dan dokumen calon pekerja migran ataupun warga indonesia lainnya yang berpotensi TPPO, meskipun sudah diberlakukan Kartu Tanda Penduduk Elektronik. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa korban TPPO, bahwa yang bersangkutan ketika akan berangkat ke negara tempatan tidak pernah terlibat dan mengurus sendiri dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk ke luar negeri, semua dokumen termasuk paspor diurus oleh agen yang merekrut.

Terkait kerja sama dan koordinasi pencegahan TPPO, Ombudsman menemukan masih adanya Gugus Tugas Daerah yang belum melakukan restruktur Gugus Tugas Pasca diubahnya Ketua harian semula Menteri PPPA menjadi Kapolri. Ombudsman juga menyoroti belum terlaksananya sinergitas antara pemerintah daerah dengan lembaga penegak hukum dalam melakukan upaya pencegahan TPPO.

Terkait regulasi, Johanes mengatakan secara konseptual, regulasi mengenai pencegahan TPPO bertujuan untuk memastikan arah kebijakan pemerintah dalam memutus rantai tindak pidana perdagangan orang. Namun pengaturan dan kebijakan yang ada saat ini masih belum mampu menekan kasus tindak pidana perdagangan orang dikarenakan keberadaan gugus tugas dalam bentuk lembaga koordinatif tidak cukup efektif untuk memberantas atau setidaknya meminimalisir terjadinya kasus perdagangan orang yang terjadi di Indonesia.

Untuk itu, Ombudsman memberikan saran perbaikan kepada sejumlah pihak. Kepada Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan selaku Ketua I Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO agar segara menginisiasi perubahan Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO dengan menyesuaikan pada perubahan nomenklatur, tugas, dan fungsi kementerian/lembaga.

Kepada Ketua Harian Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO, Ombudsman memberikan saran perbaikan agar menginisiasi integrasi data bersama antara kementerian/lembaga dalam upaya pencegahan TPPO, memperkuat kerja sama lintas negara dalam rangka penguatan koordinasi internasional untuk mencegah TTPPO serta mnyusun program reintegrasi sosial dan ekonomi bagi penyintas TPPO.

Kepada Kementerian Ketenagakerjaan agar melakukan evaluasi terhadap pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja di daerah terhadap Lembaga Pelatihan Kerja/Balai Latihan Kerja Luar Negeri, menyusun peraturan teknis mengenai tata cara pengawasan Lembaga Pelatihan Kerja/Balai Latihan Kerja Luar Negeri dalam rangka pencegahan TPPO, berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk meningkatkan peluang usaha dan membuka lapangan kerja baru di dalam negeri.

Kepada Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Ombudsman menyarankan agar melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia dalam memastikan penempatan Pekerja Migran Indonesia sesuai dengan prosedur, menyusun peraturan teknis mengenai tata cara pengawasan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia dalam rangka pencegahan TPPO.

Kepada Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, agar meningkatkan kemampuan petugas dalam melakukan profiling pemohon paspor khususnya dalam melakukan verifikasi keabsahan data dengan hasil wawancara, memaksimalkan Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian yang memuat daftar WNI dan PMI non prosedural yang pernah masuk dalam daftar pencegahan, meningkatkan pengawasan internal kepada pegawai kantor imigrasi guna mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam pemeriksaan dokumen keimigrasian maupun pemeriksaan di TPI khususnya di wilayah kantong Pekerja Migran Indonesia.

Johanes mengatakan, laporan hasil kajian ini disampaikan dalam rangka perbaikan tata kelola pelayanan publik khususnya dalam upaya bersama peningkatan pencegahan TPPO. "Selanjutnya Ombudsman RI meminta saran perbaikan dalam hasil kajian ini dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sebagai bentuk pelayanan publik kepada masyarakat yang profesional, berkeadilan dan berkepastian hukum," tutupnya. (*)

Anggota Ombudsman RI

Johanes Widijantoro





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...