• ,
  • - +
Ombudsman RI Tekankan Penguatan Tata Kelola Investasi dan Hilirisasi Menuju Indonesia Bebas dari Middle Income Trap
Siaran Pers • Rabu, 17/12/2025 •
 

Siaran Pers

Nomor 065/HM.01/XII/2025

Rabu, 17 Desember 2025


JAKARTA- Ombudsman Republik Indonesia menegaskan pentingnya penguatan tata kelola investasi dan hilirisasi nasional sebagai prasyarat utama agar Indonesia terbebas dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap). Penegasan ini disampaikan Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto dalam pemaparan Laporan Hasil Kajian Sistemik Ombudsman RI Tahun 2025 di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Rabu (17/12/2025).

Hery menjelaskan bahwa peluang Indonesia untuk menjadi kekuatan ekonomi besar masih terbuka lebar. Namun, tanpa perbaikan mendasar pada aspek tata kelola, kualitas pelayanan publik, dan keberlanjutan kebijakan, transformasi ekonomi berisiko berjalan timpang.

"Berdasarkan proyeksi, Indonesia diperkirakan baru keluar dari middle income trap pada rentang 2036 hingga 2038. Rentang waktu ini berpotensi semakin mundur apabila pertumbuhan ekonomi tidak diiringi dengan tata kelola investasi dan hilirisasi yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan," ujar Hery.

Kajian sistemik bertajukPengawasan Program Investasi dan Hilirisasi Nasional dalam Mewujudkan Indonesia Bebas dari Middle Income Trap disusun menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam,focus group discussion (FGD), tinjauan lapangan, penelusuran dan analisis regulasi, serta dokumentasi kegiatan. Data dihimpun dari seluruh pemangku kepentingan dengan mengedepankan pendekatan koordinasi Eptahelix, yakni kolaborasi antara Ombudsman, pemerintah, legislatif, akademisi, pelaku usaha, masyarakat, serta pers, guna memastikan kajian bersifat komprehensif dan objektif.

Kajian Ombudsman RI mencatat bahwa Indonesia saat ini masih berada pada kategori negara berpendapatan menengah-atas (upper middle income country) dengan GNI per kapita sekitar USD 4.800-5.100 pada periode 2023-2024, dan masih cukup jauh dari ambang negara berpendapatan tinggi.

Ombudsman RI juga menemukan ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas tata kelola di sejumlah daerah. Maluku Utara mencatat pertumbuhan ekonomi sangat tinggi hingga 35,26 persen, namun nilai kepatuhan pelayanan publik relatif lebih rendah. Sebaliknya, Kepulauan Riau menunjukkan keseimbangan yang lebih baik antara pertumbuhan ekonomi dan kepatuhan pelayanan publik.

Dari sisi lingkungan, aktivitas hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara berdampak pada peningkatan polusi udara, antara lain Karbon Monoksida (CO), Ozon (O3), dan Nitrogen Dioksida (NO2), yang memerlukan pengawasan berkelanjutan.

Kajian juga mencatat dominasi Penanaman Modal Asing (PMA) pada industri nikel, sementara kontribusi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) masih terbatas. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di sejumlah wilayah belum sepenuhnya berdampak optimal pada penyerapan tenaga kerja lokal.

Berdasarkan temuan kajian, Ombudsman RI menyampaikan lima saran strategis kepada pemerintah pusat dan daerah, yakni penguatan koordinasi lintas sektor dan kesinambungan kebijakan, pemerataan investasi dan infrastruktur pendukung, dukungan afirmatif bagi investor dalam negeri, pengawasan lingkungan yang lebih ketat, serta kebijakan investasi dan hilirisasi yang inklusif melalui peningkatan SDM lokal dan serapan tenaga kerja.

Ombudsman RI menegaskan akan terus menjalankan fungsi pengawasan untuk memastikan kebijakan investasi dan hilirisasi tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjamin kualitas pelayanan publik, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial bagi masyarakat.

Wakil Ketua Ombudsman RI, Bobby Hamzar Rafinus, menegaskan Ombudsman memiliki kewenangan memberikan saran perbaikan, termasuk rekomendasi perubahan regulasi atau kebijakan, yang bersumber dari akumulasi aduan masyarakat. "Aduan masyarakat menjadi bahan penting untuk mendorong perbaikan tata kelola dan kualitas pelayanan publik," jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Komisi XI DPR RI, M. Misbakhun, memberikan apresiasi atas pendekatan Eptahelix yang digunakan Ombudsman RI dalam kajian ini. Menurutnya, pendekatan tersebut merupakan terobosan baru secara kelembagaan dalam mengurai persoalanmiddle income trap secara lebih komprehensif.

"Pendekatan Eptahelix ini luar biasa dan merupakan pendekatan baru secara kelembagaan. Salah satu persoalanmiddle income trap memang harus diurai secara mendalam, dan kajian yang dilakukan Ombudsman RI memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi kebijakan ekonomi," ujar Misbakhun.

Ia menilai kajian ini relevan dengan arah kebijakan nasional, termasuk target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, dengan tetap menekankan pentingnya harmonisasi antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan.

"Kami sepakat bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan lingkungan. Kajian ini menjadi semacam vitamin yang menyehatkan ekosistem pembangunan kita. Mari perkuat sinergi untuk mewujudkan Indonesia maju yang sejahtera dan berkeadilan," tambahnya. Misbakhun juga menyampaikan terima kasih kepada Ombudsman RI atas peran pengawasannya sebagai bagian dari mekanismecheck and balances.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, dalam keynote speech-nya menegaskan bahwa upaya Indonesia untuk keluar darimiddle income trap masih dihadapkan pada berbagai tantangan dan ketidakpastian global.

"Risiko ketidakpastian masih membayangi, termasuk pengaruh dinamika geopolitik global. Namun demikian, Pemerintah juga terus melakukan antisipasi terhadap berbagai risiko tersebut," ujar Susiwijono.

Ia menyampaikan bahwa terdapat sinyal optimisme pada tahun 2025, tercermin dari sejumlah indikator makroekonomi yang menunjukkan ketahanan ekonomi nasional. "Dari berbagai indikator, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di atas lima persen," jelasnya.

Susiwijono juga menyatakan dukungan instansinya terhadap kajian yang dilakukan Ombudsman RI. Menurutnya, kajian tersebut penting sebagai bahan masukan dalam perumusan dan evaluasi kebijakan ekonomi nasional ke depan.

Deputi Bidang Pengendalian dan Pelaksanaan Penanaman Modal, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Edy Junaidi Harahap, menegaskan bahwa investasi berkualitas tidak semata-mata diukur dari besaran realisasi investasi, tetapi juga dari dampaknya terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat.

"Investasi yang berkualitas bukan hanya karena capaian realisasi investasinya, tetapi juga karena dampaknya terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM)," ujar Edy.

Ia menjelaskan bahwa BKPM memiliki program kemitraan sebagai instrumen untuk memastikan investasi memberikan manfaat langsung bagi pelaku usaha lokal. Dalam program tersebut, setiap penerima fasilitas penanaman modal diwajibkan bermitra dengan pengusaha lokal dan UMKM.

Edy menambahkan, rekomendasi yang disampaikan Ombudsman RI menjadi masukan penting bagi BKPM dalam melakukan evaluasi dan peninjauan kebijakan investasi yang telah berjalan. "Rekomendasi Ombudsman ini sangat baik bagi kami, khususnya dalam rangkareview dan penyempurnaan kebijakan penanaman modal yang sudah ada," pungkasnya. (*)







Loading...

Loading...
Loading...
Loading...