Ombudsman RI Nilai Penanganan PMK Lambat, Minta Pemerintah Segera Umumkan sebagai Wabah
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Penanganan wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dinilai lambat. Pemerintah diminta segera mengumumkan kondisi darurat PMK, karena sudah menjangkit 62 persen dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Hal itu disampaikan anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika. Kementerian Pertanian (Kementan) sendiri telah menyatakan, kasus penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan ternak telah tersebar di 21 provinsi Indonesia. Yeka Hendra Fatika menduga ada maladministrasi dan pengabaian kewajiban hukum dalam penanganan PMK pada hewan ternak yang menyebabkan kasus PMK meledak dan menyebar luas.
"Kalau diumumkan secara nasional, maka artinya konsolidasi seluruh komponen masyarakat akan bergerak membantu menangani PMK," kata Yeka Hendra Fatika di diskusi publik terkait PMK yang diselenggarakan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah, Rabu (6/7/2022).
Pasalnya, Yeka menilai banyak Pemerintah Daerah (Pemda) yang akhirnya takut atau malu daerahnya telah terjadi penyebaran wabah. Sebab ini akan menurunkan penilaian terhadap prestasi kepala daerah tersebut, padahal kondisi ini harus ditangani dengan cepat.
"Kenapa kepala daerah lambat, karena mereka malu untuk mengakui ini wabah. Kalau ini wabah, prestasi gubernur atau bupatinya yang tercoreng katanya," ujar Yeka Hendra Fatika. Sudah jelas ada regulasi dan tahapan yang harus dilakukan pemerintah terkait penangan PMK, oleh sebab itu Ombudsman meminta Kementan segera mengumumkan PMK sebagai wabah.
Menurut Yeka Hendra Fatika, pemerintah bisa segera menggandeng para ahli dari kalangan dokter hewan dari seluruh universitas di Indonesia untuk menangani kondisi ini. Yeka Hendra Fatika juga menyinggung masalah keterlambatan vaksin untuk cegah PMK. Menurutnya yang saat ini dibutuhkan para peternak adalah ketersediaan vaksin, bukan masalah vaksin gratis, sebab peternak pun tidak terlalu mengharapkan vaksin gratis dari pemerintah. Oleh sebab itu, menurutnya pemerintah sebaiknya membuka kesempatan agar para peternak dapat mengimpor vaksin secara mandiri untuk menyelamatkan ternak mereka dan menghindari kerugian.
"Kenapa tidak dibuka saja impor mandiri, kenapa harus dipersulit sampai ada 10 prosedur untuk menetapkan vaksin impor mandiri.
Yang dibutuhkan peternak itu ada (vaksin), bukan minta gratis menghamba pada pemerintah untuk memungut dana APBN," ujar Yeka Hendra Fatika.
"Mereka mampu untuk bayar," ujarnya. (*)