Ombudsman RI Dorong Perubahan Keberlanjutan Pelayanan Publik Melalui Prinsip Triple Bottom Line

Banda Aceh - Anggota Ombudsman Republik Indonesia Jemsly Hutabarat menjadi narasumber dalam Temu dan Konsolidasi Perempuan Paralegal Lingkungan Aceh "Voice of Women's in Grassroot" yang diselenggarakan oleh Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAKA) pada Rabu (22/10/2025) di Rasamala Hotel Banda Aceh.
Dalam kegiatan tersebut, Jemsly memaparkan pentingnya transformasi pelayanan publik yang berkelanjutan melalui penerapan prinsip Triple Bottom Line, yang menekankan tiga pilar utama keberlanjutan, yakni Profit (economic sustainability), People (social sustainability), dan Planet (environmental sustainability).
Menurutnya, ketiga aspek tersebut menjadi dasar untuk mencapai tujuan akhir bangsa sebagaimana termaktub dalam konstitusi, yaitu mewujudkan kebahagiaan rakyat, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. "Pelayanan publik yang baik bukan hanya soal efisiensi, tapi juga bagaimana seluruh sistem berorientasi pada kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat," ujar Jemsly.
Dalam paparannya, Jemsly juga mengungkapkan bahwa secara nasional, maladministrasi tertinggi di Indonesia masih didominasi oleh penundaan berlarut, yang menunjukkan bahwa banyak pelayanan publik belum selesai tepat waktu. Berdasarkan data kumulatif Ombudsman RI, sekitar 86,35 persen kasus maladministrasi berasal dari kategori penundaan berlarut, penyimpangan prosedur, tidak memberikan pelayanan, penyalahgunaan wewenang, dan ketidakmampuan aparatur. "Artinya, kita belum bisa menyelesaikan pelayanan secara tepat waktu dan akuntabel," jelasnya.
Ia menambahkan, di Aceh, potensi maladministrasi terbesar juga masih didominasi oleh penundaan berlarut, diikuti oleh tindakan tidak patut dan penyimpangan prosedur. Namun, Jemsly menekankan bahwa karakteristik setiap daerah berbeda, sehingga pola pengawasan dan pembinaan harus disesuaikan dengan konteks lokal.
Selain itu, Jemsly menjelaskan peran strategis Ombudsman RI dalam pengawasan pelayanan publik. Melalui skema pengawasan berlapis, masyarakat berperan memberikan umpan balik langsung kepada penyelenggara pelayanan publik, sementara Ombudsman RI melakukan investigasi dan tindak lanjut laporan masyarakat dengan memberikan corrective action kepada instansi terkait. "Kolaborasi dengan masyarakat menjadi kunci. Ombudsman memastikan bahwa rahasia pelapor dijamin dan tidak dapat diintervensi oleh pihak mana pun," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Jemsly menyinggung bahwa Aceh tidak termasuk dalam lima atau sepuluh besar provinsi dengan laporan maladministrasi tertinggi, namun ke depan dibutuhkan partisipasi aktif masyarakat. Salah satu langkah positif yang sedang tumbuh di Aceh adalah pembentukan persatuan perempuan paralegal, yang menjadi mitra strategis dalam mendampingi masyarakat memperoleh hak atas pelayanan publik.
"Kebijakan publik di daerah sering kali berjalan lebih lambat dibanding perkembangan teknologi. Karena itu, keberadaan organisasi paralegal menjadi penting untuk memastikan masyarakat mendapatkan akses yang setara terhadap pelayanan publik," tambahnya.
Menutup paparannya, Jemsly menegaskan bahwa pelayanan publik yang prima harus memenuhi empat prinsip utama, yakni independen, tidak diskriminatif, tidak memihak, dan tidak memungut biaya. Menurutnya, pelayanan yang baik bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga bentuk komitmen moral dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.
"Jika pelayanan publik sudah dijalankan dengan baik, maka otomatis maladministrasi akan berkurang, kepercayaan publik meningkat, dan tujuan akhir pembangunan kebahagiaan rakyat dapat tercapai," pungkas Jemsly. (HA)








