Ombudsman RI Diskusi dengan Kemenkop UKM Soal Revisi UU Perkoperasian
JAKARTA - Salah satu tantangan dalam pengawasan bidang perekonomian saat ini adalah bagaimana mengawasi koperasi sebagai badan hukum yang bebas dari praktik kamuflase atau penyimpangan lain di dalamnya. Hal ini disampaikan oleh Anggota Ombudsman RI, Dadan Suharmawijaya dalam Diskusi Tematik daring dengan Kementerian Koperasi dan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) RI, bertajuk 'Meninjau Revisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian Sebagai Solusi Permasalahan Koperasi di Indonesia,' Jumat (3/11/2023).
Latar belakang hal tersebut, jelas Dadan disebabkan karena sekarang ini, nilai-nilai luhur gotong royong dan kesetaraan semakin luntur di dalam tubuh koperasi. "Ada koperasi yang sebetulnya bukan koperasi, dimana pada kenyataannya adalah badan hukum milik perseorangan, namun mengatasnamakan sebagai koperasi yang kemudian justru menimbulkan korban-korban yang dirugikan," jelasnya.
"Ada laporan kepada Ombudsman RI yang menyatakan bahwa Pelapor merasa dirugikan oleh koperasi, yang setelah diperiksa, ternyata dimiliki oleh segelintir orang dengan iming-iming keuntungan menjadi anggota koperasi," lanjutnya. Hal ini lah yang perlu dijawab oleh Revisi Undang-Undang Perkoperasian sebagai solusi permasalahan tersebut.
Dadan menambahkan bahwa meskipun demikian, bukan berarti semua koperasi melakukan praktik penyimpangan. Masih banyak koperasi yang menjunjung nilai-nilai kesetaraan dan prinsip gotong-royong dengan asas kekeluargaan dan bertujuan untuk menyejahterakan anggotanya, misalnya koperasi petani, nelayan, dan jenis-jenis koperasi lain.
Secara lebih rinci, Kepala Keasistenan Utama IV Ombudsman RI, Dahlena menyampaikan beberapa poin yang menjadi perhatian Ombudsman RI terkait Revisi Undang-Undang Perkoperasian, di antaranya Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU), pencairan deposito, Simpanan Anggota, koperasi yang tidak memberikan pelayanan, serta gagal bayar koperasi.
Berdasarkan tipologi, pada tahun 2020-2023, laporan yang diterima Ombudsman RI pada substansi koperasi berkaitan dengan bidang pengawasan (35%), pembinaan (13%), pembentukan (2%), dan lain-lain (50%) dengan dugaan maladministrasi berupa tidak memberikan pelayanan, penundaan berlarut, penyimpangan prosedur, dan tidak kompeten.
"Revisi UU Perkoperasian harus menjadi solusi untuk melindungi dan memperjuangkan koperasi sebagai sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan, dimana juga menjadi harapan dan optimisme bagi penguatan ekonomi bangsa," jelas Dahlena.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini, Asisten Deputi Pengawasan Kementerian Koperasi UKM, Agung Nur Fajar beserta jajaran serta Insan Ombudsman RI sebagai peserta diskusi. (MIM)