Ombudsman RI bersama DPR RI Bahas BPJS Ketenagakerjaan
JAKARTA - Wakil Ketua Ombudsman RI, Bobby Hamzar Rafinus menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diselenggarakan oleh Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada Rabu (23/03) pagi di Gedung Nusantara I, Jakarta. Turut hadir pada kesempatan tersebut Direktur Pengembangan Investasi BPJS Ketenagakerjaan Edwin Michael Ridwan, Pakar Investasi Yanuar Rizky dan Pakar Pasar Modal Adler Haymans Manurung.
RDPU ini berfokus pada tiga agenda utama, yakni menggali regulasi investasi BPJS Ketenagakerjaan, strategi investasi dalam rangka optimalisasi kemanfaatan dana iuran peserta BPJS Ketenagakerjaan dan evaluasi serta masukan sehubungan dengan kemanfaatan investasi BPJS Ketenagakerjaan.
Pada kesempatan ini, Wakil Ketua Ombudsman RI menyebutkan bahwa terdapat dua puluh enam laporan terkait BPJS Ketenagakerjaan yang diterima sepanjang tahun 2021. Karakteristik permasalahan yang dilaporkan oleh masyarakat lebih banyak yang berdimensi individu/perorangan, dibandingkan dimensi sekelompok orang.
Penundaan Berlarut (Undue Delay) merupakan dugaan maladministrasi terbanyak yang disampaikan oleh masyarakat. Bobby mengatakan penundaan berlarut dalam perspektif Ombudsman Republik Indonesia sebagai Pengawas Pelayanan Publik merupakan "pintu masuk" bagi tindak pidana korupsi. Ia menambahkan, dalam kerangka pencegahaan korupsi, kolusi, dan nepotisme, tindakan maladministrasi merupakan perilaku koruptif yang perlu segera mendapat perhatian dan perbaikan.
Temuan lapangan Ombudsman RI menunjukkan bahwa terdapat indikasi maladministrasi yang disebabkan oleh beberapa hal berikut, di antaranya seringkali muncul perbedaan persepsi mengenai besaran iuran yang seharusnya dibayarkan sesuai jumlah upah (take home pay) yang diperoleh pekerja dengan besaran iuran yang dibayarkan (Upah Minimum) oleh perusahaan kepada BPJS Ketenagakerjaan, dikarenakan pendaftaran kepesertaan dilakukan terpusat melalui PIC/HRD perusahaan. Selain itu, keterbatasan kantor cabang di daerah padat industri, sehingga menyebabkan potensi penundaan berlarut dalam proses klaim manfaat. Kemudian prosedur klaim Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang berbelit-belit melibatkan berbagai pihak antara lain Kepolisian dan Pengawas Ketenagakerjaan, sehingga berpotensi terjadinya penundaan berlarut dalam proses klaim manfaat.
Di samping itu, Ombudsman juga menemukan adanya keterbatasan akses langsung Pekerja/Serikat Pekerja dengan BPJS Ketenagakerjaan umumnya baik itu Pekerja/Serikat Pekerja maupun BPJS TK hanya berkomunikasi dengan HRD Perusahaan. selain itu, Minimnya edukasi/literasi terkait akses layanan berbasis Teknologi Informasi kepada pengguna layanan utamanya Pekerja/Serikat Pekerja serta terhambatnya pendaftaran kepesertaan dikarenakan permasalahan identitas kependudukan seperti belum mempunyai NIK, NIK tidak terupdate (E-KTP belum aktif). (MF)