Ombudsman RI Bahas UU Ciptaker dalam Seminar Nasional UM Buton
Bau Bau-Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih menjadi narasumber dalam Seminar Nasional "Dilematika Hukum Pengesahan Perpu Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang" sekaligus menjadi saksi dalam Grand Launching Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Buton, Sabtu (06/05/2023) di Universitas Muhammadiyah Buton.
Dalam paparannya, Mokhammad Najih menyampaikan bahwa Majelis Hakim dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, halaman 412, menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja Inskontitusional Bersyarat karena tiga alasan yaitu Undang-Undang Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar sesuai sistematika pembentukan, masih terjadi beberapa perubahan teknis padahal draft sudah disetujui oleh DPR bersama Presiden, dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan perundang-undangan terutama asas kejelasan tujuan, asas kejelasan rumusan, serta minimnya asas keterbukaan.
Selanjutnya, Najih menyampaikan bahwa alasan pemerintah menerbitkan Perpu Cipta Kerja yaitu pertama adanya kebutuhan mendesak (indikasi krisis ekonomi akibat perang Rusia-Ukraina) guna menyelesaikan masalah hukum dengan cepat secara undang-undang diatur dalam konsideren menimbang Perppu Cipta Kerja. Kedua, adanya Undang-Undang Cipta Kerja namun tidak memadai karena ada penangguhan sehingga tidak diperbolehkan membuat aturan pelaksana. Ketiga, kekosongan hukum yang tidak bisa diatasi dengan pembentukan Undang-Undang secara prosedur biasa.
"Berdasarkan Konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja alasan pemerintah menerbitkan Perpu Cipta Kerja yaitu bertujuan memenuhi hak warga negara atas pekerjaan sebagaimana amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, bertujuan untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja, menciptakan lapangan kerja berkualitas, mengatur kenaikan upah, dan mengantisipasi memburuknya kondisi perekonomian dan bertujuan untuk memperbaiki aturan sesuai Putusan MK Nomor 91/PUUXVIII/2020 dan terdapat kegentingan yang memaksa sesuai Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009," jelas Najih.
Dari penerbitan Perpu Cipta Kerja terdapat dua permasalahan utama yaitu pertama, ketidakjelasan pengaturan terkait jumlah hari istirahat mingguan, lama hari libur untuk istirahat panjang, definisi keadaan tertentu terkait penetapan upah minimum serta ketidakjelasan pengaturan juga terjadi karena Perppu banyak mendelegasikan aturan pada PP, seperti aturan terkait pekerja alih daya, PKWT, dan penetapan uang pesangon. Pendelegasian ke PP berpotensi menimbulkan permasalahan di masa mendatang sehingga butuh pengawasan. Kedua, Pemerintah mulai membatasi perlindungan yang diberikan negara terhadap pekerja dengan menyerahkan beberapa aturan tergantung pada kesepakatan pengusaha dan pekerja, seperti aturan upah minimum di perusahaan mikro dan kecil. Pembatasan ini tentunya berpotensi bertentangan dengan landasan filosofis Perppu Ciptaker. "Hal tersebut menimbulkan beberapa dilematik Perpu Cipta Kerja dalam negara hukum yaitu problematika etika hukum, ketidak jelasan hukum, problem kewenangan, dan judicial review yang berulang," terang Najih.
Diakhir paparan, Najih juga menjelaskan beberapa dampak Perpu Cipta Kerja terhadap pelayanan publik yaitu terdapat pemangkasan alur birokrasi yang panjang terutama dalam pelayanan perizinan dan investasi dengan tujuan percepatan pertumbuhan ekonomi dan pelayanan perizinan untuk sektor-sektor strategis (pengelolaan sumber daya alam termasuk kelautan dan perikanan) sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah hanya bertugas sebagai fasilitator. Semua pelayanan berbasis pada pemanfaat eletronik dengan tujuan agar menciptakan pelayanan yang transparan, efektif, dan efisien serta menghindari adanya penundaan berlarut (BAB III Pasal 14 Perppu Cipta Kerja). Untuk percepatan pelayanan maka semua keputusan pejabat pemerintahan wajib berbentuk elektronik yang kekuatan hukumnya sama seperti keputusan tertulis (BAB XI Pasal 38 Perpuu Cipta Kerja). Dalam hal sinergisitas maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyelenggarakan sistem informasi berbasis elektronik yang berfungsi sebagai basis data tunggal (BAB V Pasal 88 Perppu Cipta Kerja). Penegasan asas fiktif positif dalam pelayanan perizinan berbasis teknologi sesuai BAB XI Pasal 53 Perppu Cipta Kerja bahwa dalam hal semua persyaratan telah terpenuhi dalam waktu lima hari kerja pejabat pemerintahan tidak memberikan keputusan maka permohonan perizinan dianggap dikabulkan secara hukum.
Kegiatan ini dihadiri oleh Ketua Komisi Yudisial RI, Prof. Mukti Fajar Dewata, Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Ditjen. Binwasnaker dan K3, Kemnaker RI, Yuli Adiratna, Akademisi Universitas Kebangsaan Malaysia, Prof, Salawati Binti Mat Basir, Kademisi Universitas Maarif Hasyim Latif, Asri Wijayanti, Akademisi Universitas Muhammadiyah Buton, Hadi Supriyanto serta para mahasiswa Universitas Muhammadiyah Buton. (HA)