Ombudsman Pertanyakan Langkah Pemerintah Usut Kartel Minyak Goreng
"Dari 8 Februari (isu beredar) soal upaya penimbunan, mafia, kartel yang terjadi. Tapi selama 1,5 bulan ini kita tidak bisa menangkap pelakunya. Ya adanya hanya segilintir orang saja (ditangkap), tidak signifikan, jumlahnya kecil," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Selasa (15/3).
Yeka berpendapat, adanya dugaan mafia atau oknum spekulan minyak goreng yang dilontarkan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi itu, karena lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah.
Ombudsman menilai akar permasalahan munculnya berbagai permasalahan yang timbul sebagai dampak stabilisasi pasokan dan harga minyak goreng adalah tingginya disparitas antara harga DPO atau domestic price obligation, harga eceran tertinggi (HET) dengan harga pasar. Disparitas harga berkisar antara Rp 8000-9000/Kg.
"Spekulan yang hadir itu karena adanya kondisi harga (minyak goreng) disparitas yang tinggi. Dengan kondisi itu, pengawasan sulit dilakukan. Fakta yang terjadi dalam sebulan setengah ini di pasar tradisional, harga minyak goreng di atas HET semuanya," ungkapnya.
Menghadapi bulan Ramadan dan Lebaran 2022, pihaknya juga mewanti-wanti lonjakan harga minyak goreng karena saat ini harga minyak sawit atau crude palm oil (CPO) masih tinggi.
Dengan semakin meningkatnya harga CPO, berdampak terhadap dengan semakin mahalnya minyak goreng. Dalam catatan Ombudsman, harga rata rata CPO di future market mengalami peningkatan dua kali lipat dalam kurun waktu kurang empat tahun.
Harga rata rata CPO future market di 2019 sebesar US$529 per metrik ton atau setara Rp7.564/Kg dan sepanjang 2022 ini, harga rata rata CPO future market sebesar US$1322 per metrik ton atau setara Rp18.906/Kg. Dengan demikian dalam kurun waktu kurang dari 4 tahun tersebut harga CPO future market meningkat sebesar 37,5%/tahun.
"Harga ini kita tidak bisa prediksi secara tepat, karena itu perlu langkah cepat untuk menjamin ketersediaan," pungkas Yeka. (OL-6)