Ombudsman Mengundang KPK untuk Penyampaian Hasil Penanganan Laporan terkait Penggunaan Borgol dan Rompi Tahanan
Siaran Pers
Senin, 9 September 2019
Â
JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia
mengundang Komisi Pembentasan Korupsi (KPK) untuk menyampaikan hasil mengenai
tindak lanjut laporan dari para tahanan KPK khususnya terkait pemakaian borgol
dan rompi tahanan sebagaimana tertuang dalam peraturan KPK nomor 3 tahun 2019,
pada Senin (9/9/2019) dKantor Ombudsman, Rasuna Said Jakarta Selatan.
Pelapor menyampaikan ke Ombudsman tentang keberatan ketika berobat, tahanan harus menggunakan borgol dan rompi tahanan karena merasa tidak nyaman. Selain itu adanya pengawal tahanan yang juga masuk kedalam ruang dokter dan mendengarkan perbincangan penyakit tahanan dengan dokter yang menurut Pelapor merupakan privasi kesehatan Pelapor.
Keluhan lainnya yakni meminta untuk waktu kunjungan keluarga diperlama, karena saat ini kunjungan keluarga hanya dapat dilakukan dua kali seminggu. Selain itu juga berharap agar mendapatkan izin untuk meminta rujukan ke rumah sakit atau ke dokter yang pernah menangani penyakit tahanan sebelumnya.
Menindaklanjuti laporan tersebut, Ombudsman menyelenggarakan pertemuan pada 26 Agustus 2019 untuk meminta keterangan terkait SOP pengamanan dan pengawalan tahanan KPK dari Polri, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM serta Kejaksaan Agung. Keterangan dari berbagai sumber ini akan menjadi masukan bagi Ombudsman dalam proses penyelesaian laporan masyarakat terkait SOP pengamanan dan pengawalan tahanan KPK.
Hasil Penanganan Ombudsman menyebutkan bahwa Peraturan KPK Nomor 3 Tahun 2019 khususnya terkait dengan pemakaian borgol dan rompi tahanan telah sesuai dengan ketentuan yang ada dalam PP 58 Tahun 1999. Aturan pemakaian borgol dan rompi juga diterapkan untuk tahanan di kepolisian dan kejaksaan, namun untuk pemakaian borgol khusus untuk tahanan yang dikhawatirkan melarikan diri.
Ombudsman juga menegaskan, pengawalan tahanan ketika berobat di luar rutan harus dilakukan oleh Kepolisian, dengan surat permintaan dari instansi yang menahan. Sedangkan untuk fasilitas lainnya disesuaikan dengan ketentuan yang ada di PP 58 Tahun 1999. (*)