Ombudsman Ingatkan Pemerintah Maksimalkan Pemenuhan Hak Pelayanan Publik di Talangsari
JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ahmad Suaedy mengingatkan pemerintah untuk memenuhi hak masyarakat di Dusun Talangsari, Lampung Timur dalam perolehan layanan publik.
Hal ini terkait temuan Ombudsman atas dugaan maladministrasi dalam Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Dusun Talangsari Way Jepara Lampung Timur tanggal 20 Februari 2019.
Deklarasi tersebut dilakukan dilakukan oleh Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat.
"Pemerintah dan pemerintah daerah lalai dalam memberikan pemenuhan pelayanan publik secara maksimal. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan perbaikan dalam memberikan perlindungan kepada korban dengan memenuhi pelayanan publik yang maksimal," kata Suaedy dalam konferensi pers di Ombudsman, Jakarta, Jumat (13/12/2019).
"Dan hal tersebut diatur dalam regulasi serta sejalan dengan Pasal 47 Undang-undang Nomor 26 Tahun 200 tentang Pengadilan HAM," lanjut dia.
Pasal itu terdiri dari dua ayat. Ayat (1) berbunyi, Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Sedangkan Ayat (2) berbunyi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang
"Memang dulu ada Undang-undang KKR yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2004. Tapi MK menginstruksikan kalau ingin membentuk KKR bisa dibentuk dengan undang-undang baru yang tidak melanggar konstitusi," ujar Suaedy.
"Kesepakatan damai 20 Februari 2019 itu tidak memenuhi syarat itu. Karena yang dijadikan dasar keputusan DPRD tahun 2000 yang tidak lain bahwa itu tidak memenuhi syarat untuk penyelesaian sesuai amanat undang-undang," sambungnya.
Di sisi lain, Suaedy pernah menyoroti pertimbangan nomor dua dalam deklarasi tersebut yang berbunyi, 'bahwa selama 30 (tiga puluh) tahun telah dilakukan pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi dan proses penanganan dalam bentuk pemenuhan hak-hak dasar korban dan keluarga korban'.
Padahal, kata Suaedy, hasil investigasi Tim Ombudsman RI menemukan fakta sebaliknya.
"Tim Ombudsman RI menemukan bahwa pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi dan proses penanganan dalam bentuk pemenuhan hak-hak dasar korban dan keluarga korban maupun warga masyarakat belum berjalan dengan maksimal di Dusun Talangsari lokasi terjadinya pelanggaran HAM," kata Suaedy.
Diberitakan sebelumnya, pada 20 Februari 2019, deklarasi damai dilakukan Tim Terpadu Pelanggaran HAM.
Tim Terpadu Pelanggaran HAM itu terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Ketua DPRD Lampung Timur, Wakil Bupati Lampung Timur, Kepala Kejaksaaan Negeri Lampung Timur, Kapolres Lampung Timur, Dandim 0429 Lampung Timur.
Kemudian, ada pula KPN Sukadana Lampung Timur, Camat Labuhan Ratu, Kepala Desa Rajabasa Lama dan tokoh masyarakat Talangsari.
Namun, salah satu korban peristiwa Talangsari mengaku, tidak ada korban yang hadir dalam acara itu.
Koordinator sekaligus korban peristiwa Talangsari 1989, Edi Arsadad, menegaskan, tidak ada sama sekali korban yang mewakili, apalagi menyetujui adanya deklarasi damai sebagai upaya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
"Deklarasi damai kemarin tidak ada sama sekali korban Talangsari yang mewakili. Kami tidak mengetahui adanya deklarasi," ujar Edi saat menyambangi kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (4/3/2019).
"Kita hanya tahu lewat sebuah media online bahwa ada deklarasi damai serta tidak ada berkas yang ditandatangani dari pihak terkait," lanjut dia.