Ombudsman Berpotensi Ambil Peran Dalam Kasus Munir
Ombudsman Republik Indonesia berpotensi turut ambil peran dalam kasus pembunuhan yang menimpa Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib. Namun demikian, prosedurnya harus melalui mekanisme yang berlaku yakni adanya pelaporan dari pihak terkait.
Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu, mengakui sejak 2016 hingga saat ini pihaknya belum melakukan apa pun terkait kasus pembunuhan Munir. Sebab, lembaganya tidak bisa serta merta terlibat dalam penyelesaian kasus tersebut.
Pihak Ombudsman disebutnya harus mengikuti prosedur yang ada sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 tentang Ombudsman Republik Indonesia. "Tetapi, Ombudsman dengan UU 37 tahun 2008 itu punya prosedur penanganan. Kita tidak bisa langsung turun lalu ngambil peran," kata Ninik Rahayu di Jakarta pada Senin (23/9).
Menurutnya, salah satu polemik dari pengungkapan kasus pembunuhan Munir Said Thalib adalah dalih pemerintah yang mengatakan dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) hilang. Padahal, temuan TPF menjadi penting dalam mengungkap kasus pembunuhan tersebut secara keseluruhan.
Dalam mekanismenya, kata dia, pertama, Ombudsman memiliki cara pelaporan. Kedua, mekanisme pencegahan dengan investigasi atas inisiatif sendiri. Untuk mekanisme kedua, Ninik mengakui bahwa kasus Munir belum masuk daftar yang diprioritaskan karena banyak kasus yang kini ditangani oleh Ombudsman.
Walaupun demikian, Ninik mengatakan, ada baiknya pelaporan atas hilangnya dokumen TPF itu segera disampaikan. Selanjutnya, Ombudsman bisa mengambil tindakan secara signifikan dengan memberikan tindakan korektif yang berujung pada rekomendasi.
"Dan makanya ini perlu duduk bareng, teman-teman juga belum pernah menyentuh ini (pelaporan ke Ombudsman), ngobrol ini dengan saya," katanya.
Di lain pihak, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani, mengatakan pihaknya belum melapor ke Ombudsman karena untuk kasus sengketa informasi TPF Munir proses hukumnya masih berlangsung.
Menurutnya, sampai saat ini upaya hukum yang dilakukan baru pada putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). Sedangkan tahap lainnya yang ditempuh adalah dengan pengajuan Peninjauan Kembali (PK).
"Namun demikian, sampai sekarang kami belum menerima secara resmi salinan putusan kasasi. Kami hanya bisa mengakses secara online. Sementara kalau kami akan mengajukan PK tentu saja harus menggunakan rujukan salinan resmi. Ini yang sedang kami tunggu," katanya.
Sambil menunggu proses itu, Yati mengatakan, pihaknya juga sedang mengupayakan eksaminasi. Artinya, pihaknya bukan tidak berkoordinasi dengan Ombudsman, melainkan lebih kepada mengikuti proses hukum yang berlaku di Indonesia.
menurut Yati, tawaran yang disampaikan Ninik Rahayu agar ada pelaporan kepada Ombudsman sebagai angin segar baginya. Sebab, hal itu bisa menjadi cara lain sebagai upaya membongkar kasus malaadministrasi dokumen TPF Munir yang sampai hari ini belum diketahui di mana rimbanya.
"Yang kedua juga kemungkinan soal an do delay bahkan obstruction of justice menurut saya, karena sudah 15 tahun tidak ada tindak lanjut dan kemudian pemerintah tidak melakukan tindakan signifikan untuk menindaklanjuti temuan-temuan TPF Munir," ujar Yati.
"Sehingga tidak saja pembiaran, tetapi juga ada upaya-upaya penghalangan. Saya kira kerangka pendekatan ini akan sangat penting untuk kita diskusikan dan kita laporkan ke Ombudsman."