• ,
  • - +
Ninik Rahayu: Di 5 Lapas, Para Napi Harus Beli Air Untuk Mandi
Kliping Berita • Kamis, 22/02/2018 •
 

RMOL. Nelangsa sekali hidup para pesakitan. Sudah hidup di balik jeruji besi, tidur beralas lantai. Yang lebih menyakitkan lagi makan, minum bahkan air mandi pun mesti beli. Dugaan adanya penyelewengan itu ditemukan Ombudsman melalui investigasi di beberapa Lembaga Pemasyarakatan (lapas).

Temuan dugaan pelanggaran itu didapat anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu saat inspeksi mendadak (sidak) di lima lem­baga pemasyarakatan (lapas) di empat provinsi. Yakni, lapas Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, danKalimantan Timur. Ninik mengungkapkan, para napi harus memba­yar untuk mendapatkan air bersih dan makan. Padahal seharusnya makan, minum dan air bersih disediakan oleh negara. Seperti apa bentuk praktik pungli terse­but, berikut penuturan Ninik Rahayu:

Pungli seperti apa yang sebe­narnya terjadi berdasarkan temuan Anda saat melaku­kan sidak ke beberapa lapas tersebut?

Selama mereka menjadi pen­ghuni lapas minum membeli, air mandi pun membeli. Jadi kami ingin mengadakan pendalaman lagi. Saya tanya kok bisa airnya membeli, ternyata karena kotor sekali. Harusnya kan tanggung jawab lapas menyelesaikan per­masalahan itu.

Kok bisa seperti itu, mekanisme mendapatkannya ba­gaimana?

Jadi bagi napi, untuk menda­patkan air bersih untuk man­di sebanyak satu ember, napi harus membayar Rp 20 ribu. Sedangkan untuk air minum ukuran satu galon, mereka harus membayar Rp 10 ribu. Jadi, air mandi seember Rp 20 ribu dan air minum segalon Rp 10 ribu. Per orang segalon bisa tiga hari paling tidak.

Siapa yang menarik pungli tersebut?

Berdasarkan pengakuan dari narapidana, pungli ini dilakukan oleh petugas lapas. Tapi petugas lapas mengelak dan menuduh napi senior yang melakukannya. Kalau petugas lapasnya bilang enggak (melakukan pungli), rata-rata tamping yang melaku­kan. Tamping itu napi yang se­nior. Nah kalau napi otoritasnya dari mana? Memang berani dia melakukan itu?

Kapan sih sidak itu Anda lakukan?

Oh, sidak ini kita lakukan pada Januari 2018.

Lapas mana saja yang Anda sidak?

Saya tidak bisa mengatakan sidak itu dilakukan di lapas mana saja, karena kan belum dirilis, karena kan nanti tidak bisa saya katakan di lapas sana ada namun laporan dan buktinya tidak ada. Jadi harus kita siapkan dulu. Jadi, laporan dari sidak tersebut memang sudah ada, namun nanti akan saya launching pada bulan Maret.

Apa Anda sudah berkoor­dinasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) terkait dengan temuan ini?

Rencananya, temuan ini akan dilaporkan ke Kemenkumham pada awal Maret mendatang.

Namun diantara provinsi yang Anda sidak, apa saja dugaan maladministrasi yang dilakukan?

Di lapas di Sumatera Barat, warga binaan harus mengeluar­kan uang untuk makan, karena makanan yang diberikan lapas dinilai tidak bergizi dan beras­nya berkutu. Pihak lapas juga memfasilitasi penjualan makanan di luar yang disediakan. Air yang diberikan untuk mi­num dari lapas juga dikeluhkan sangatkotor.

Biaya yang dikeluarkan warga binaan, untuk air minum per galon Rp 10.000. Sehingga mer­eka kebingungan, 'Oh penghuni lapas itu membeli ya minumnya, makannya, mandinya?.' Saya agak prihatin, ketika orang hendak menjadi warga binaan ternyata meraka belum tahu hak-haknya. Hak informasi warga binaan seperti apa. Tak hanya di lapas, menurut dia, kasus ini juga terjadi di rutan, termasuk tempat tahanan Polres.

Di tempat lainnya?

Kalau di lapas di Jakarta, pihak kita menemukan ada warga binaan yang bisa memperoleh kamar tahanan dengan mem­bayar uang bulanan. Kayak ngekos. Bayar uang kamar Rp 30.000 sebulan. Uang-uang ini ke mana? Maret kami launching hasilnya.

Berarti ini sama seperti ka­sus kamar mewah beberapa tahun lalu?

Nah, jadi ini kambuh lagi, adanya praktik pemberian fasili­tas mewah seperti yang terjadi pada tahun 2015 silam terjadi lagi saat ini. Narapidana bisa mendap­atkan fasilitas mewah. Tapi saya belum bisa mengatakan itu terjadi di lapas mana ya.

Menurut Anda, apa penyebabnya sehingga itu masih terjadi?

Pastilah soal pengawasannya. Jadi sepertinya hingga saat ini memang sistemnya belum jalan secara baik. Masih seperti yang lama.

Warga binaan yang berada di dalamnya pun belum memiliki program yang baik. Apalagi antara napi dengan SDM pen­gawasnya tidak sesuai jum­lahnya.

Apa ada hubungannya den­gan over kapasitas?

Iya, misalnya saja lapas yang me­mang seharusnya hanya 500 napi ditempati 1000 napi. Sedangkan jumlah penjaganya jauh dari jumlah napinya. ***


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...