Kebijakan Mandatori B20 Untuk Siapa?
Siaran Pers
Selasa, 10 Desember 2019
Jakarta - Pemerintah tengah berupaya untuk mengurangi ketergantungan migas dengan menerbitkan beberapa kebijakan penggunaan energi terbarukan. Salah satu kebijakan tersebut adalah penggunaan biodiesel secara bertahap dengan memanfaatkan minyak sawit sebagai campuran minyak solar.
Pada tanggal 1 September 2018 melalui kebijakan mandatori B20, pemerintah mewajibkan penggunaan biodiesel B20 untuk seluruh sektor baik PSO maupun non PSO. Bahkan pada tahun 2020, pemerintah berencana meningkatkan pencampuran biodiesel ke tahap B30 yang dampak logisnya akan menyebabkan peningkatan kebutuhan FAME dari CPO dari tahun sebelumnya.
Mengingat penyaluran biodiesel merupakan salah satu bentuk pengadaan dan penyaluran barang publik yang ketersediaannya menjadi misi negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c UU Pelayanan Publik, Ombudsman Republik Indonesia telah melakukan kajian sistemik terhadap implementasi kebijakan mandatori B20 di atas.
Dari hasil kajian, didapat temuan Ombudsman sebagai berikut:
A. Industri Biodiesel
1. Ketidaksiapan sarana dan prasarana pendukung.Sarana penyimpanan yang dimiliki BU BBM belum memenuhi standar yang diatur dalam pedoman penanganan dan penyimpanan bahan bakar biodiesel, serta belum adanya petunjuk penyimpanan B20 untuk jangka waktu lebih dari 3 bulan.
2. Keberlanjutan pasokan FAME untuk program mandatori biodiesel. Kebutuhan FAME akan meningkat menjadi 9,6 juta kilo dari semula 6,7 juta kilo di tahun 2019. Mekanismepunishment untuk BU BBN yang wanprestasi dalam melaksanakan tugas penyaluran FAME akan sulit dilakukan karena peningkatan bauran diperkirakan menyebabkan kurangnya pasokan FAME untuk program B30.
3. Pembayaran insentif biodiesel oleh BPDPKS dapat menekan alokasi lain. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran insentif biodiesel berpotensi mengurangi alokasi lain yang diamanatkan UU Perkebunan, seperti peremajaan dan peningkatan sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit.
4. Ketidakpastian jangka waktu pencairan dana insentif biodiesel. Masih ada ketidakpastian jangka waktu pencairan dana insentif yang seharusnya membutuhkan waktu 45-60 hari. Ketidakpastian disebabkan masih ada disharmoni antara peraturan Menteri yang mengatur Standar Pelayanan Minimum pencairan insentif dengan SOP BPDPKS.
B. Peremajaan Kebun Sawit
1. Kerumitan persyaratan administratif dana peremajaan sawit.Dalam pelaksanaanya, program PSR kurang menarik minat pekebun karena sulitnya pemenuhan persyaratan administratif yang rumit dan berlarut-larut.
2. Ketidakpastian waktu pencairan dana peremajaan sawit.Tidak ada kepastian jangka waktu pencairan dana PSR sesuai dengan SPM BPDPKS selama 21 hari kerja. Dalam praktik, pencairan dana memakan waktu hingga satu tahun sehingga menghilangkan minat pekebun untuk melakukan peremajaan.
3. Program PSR belum menjangkau pekebun sawit swadaya. Kurangnya sosialisasi mengakibatkan sulitnya pekebun swadaya membentuk kelembagaan tani untuk mengajukan PSR sehingga tidak terpenuhinya target PSR.
4. Hambatan dana pendamping dalam peremajaan sawit.Dana pendamping untuk PSR sebesar 35 juta/ha dirasa terlalu besar dibanding kebutuhan riil pekebun. Dana ini menjadi masalah karena harus disiapkan bersama dengan dana bantuan dari BPDPKS.
5. Kelembagaan ekonomi pekebun sawit memainkan peran penting. Tanpa kelembagaan pekebun membuat pekebun swadaya relatif lemah terhadap pengumpul karena tak memiliki hubungan langsung dengan pabrik pengolahan sawit.
Berdasarkan temuan di atas, Ombudsman Republik Indonesia menyampaikan saran perbaikan sebagai berikut:
1. Kepada Kementerian ESDM untuk meninjau kembali rencana peningkatan mandatori biodiesel ke B30 dengan terlebih dahulu melakukan perhitungan neraca produksi dan kebutuhan FAME nasional.
2. Kepada Kementerian Pertanian untuk melakukan evaluasi dan perubahan Peraturan Menteri yang mengakomodir peremajaan perkebunan kelapa sawit swadaya dengan pelibatan pihak ketiga untuk mempercepat target peremajaan dan pemutakhiran data perkebunan kelapa sawit yang memerlukan peremajaan dengan kategoriclear and clean.
3. Kepada Kementerian Keuangan untuk meminta BPKP melakukan review terhadap sistem pembiayaan peremajaan perkebunan kelapa sawit untuk pelaksanaan lebih massif dan sesuai dengan ketentuan pengelolaan keuangan negara.
4. Kepada BPDPKS untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan dana pendamping dengan skema anggaran peremajaan perkebunan kelapa sawit dengan dana BPDPKS.
5. Kepada PT Pertamina (Persero) untuk melengkapi infrastruktur penyimanan biodiesel yang memenuhi spesifikasi sesuai pedoman umum penanganan dan penyimpanan bahan bakar biodiesel dan campuran biodiesel.
Ombudsman menyampaikan saran dalam rangka keberlanjutan program mandatori biodiesel guna mendukung upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan migas dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan. (*)
Anggota Ombudsman RI
Ahmad Alamsyah Saragih