Kasus Lion Air dan Bagaimana Prosedur Pengiriman Jenazah via Kargo?
tirto.id - Maskapai Lion Air kembali mendapat sorotan karena dinilai menelantarkan jenazah yang akan dibawa melalui kargo HUM (Human Remains) pada penerbangan rute Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang (CGK) ke Bandara Internasional Hang Nadim, Batam, Selasa (14/5/2019).
Kabar itu viral di media sosial setelah akun Facebook atas nama Dedi Azwandi mengunggah masalah ini. Dalam unggahan itu, Dedi menuding Lion Air telah menelantarkan jenazah anak berusia 10 tahun yang diterbangkan dari Jakarta, padahal ia telah mengeluarkan dana Rp 10.500.000 untuk biaya kargo.
Belakangan, unggahan di akun Facebook Dedi Azwandi ini dihapus setelah jenazah atas nama Akila diberangkatkan menggunakan pesawat Batik Air, maskapai milik Grup Lion Air. Corporate Communications Strategic Lion Air, Danang Mandala Prihantoro pun mengklarifikasi isu yang sempat viral di media sosial itu.
Danang menampik tudingan soal penelantaran pengangkutan jenazah yang dilakukan maskapai berlogo Singa itu. Danang berkata, pada kasus pengiriman kargo jenazah dari Jakarta ke Batam itu, Lion Air sudah menjalankan prosedur berdasarkan SOP serta prinsip penerimaan kargo jenazah pada penerbangan rute Bandara Internasional Soekarno-Hatta ke Bandara Internasional Hang Nadim, Batam.
"Berdasarkan data reservasi yang dilaporkan oleh pihak ketiga kepada Lion Air, untuk pendamping terbang dengan Lion Air nomor JT-378 yang berangkat pukul 13.17 WIB dan mendarat pada 14.33 WIB. Sedangkan penerbangan kargo jenazah tujuan Batam telah dipersiapkan sesuai nomor surat muatan udara (SMU) 20197170 dengan booking code menggunakan Batik Air penerbangan ID-6862 pukul 16.54 WIB yang dijadwalkan tiba pada 18.10 WIB," kata Danang dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (15/5/2019).
Dari informasi yang diterima petugas Lion Air, kata Danang, tidak ada pemberitahuan dari pihak ketiga sebagai pengurus mengenai perbedaan reservasi kargo jenazah dengan pendamping. Menurut Danang, petugas Lion Air mengetahui terdapat perbedaan reservasi nomor penerbangan. Namun, HUM tidak dapat dipindahkan ke kargo pesawat Lion Air dikarenakan JT-378 sudah final atau siap diberangkatkan.
"Kami sudah memberikan keterangan kepada pihak pendamping [keluarga] atas perbedaan waktu kedatangan di Batam," kata dia.
"Lion Air menyampaikan rasa keprihatinan atas kejadian yang timbul. Lion
Air saat ini masih mengumpulkan data, informasi dan keterangan lain
mengenai perkembangan pemberitaan dan dari berbagai pihak yang terlibat
guna dipelajari lebih lanjut," kata Danang menambahkan.
Perlu Perlakuan Khusus Kasus yang dialami keluarga Akila ini sebenarnya bisa menimpa siapa saja. Pada 7 Mei 2019, misalnya, Lion Air juga mendapat keluhan serupa karena kedatangan jenazah dan tiga penumpang yang mengantarnya tidak bersamaan. Saat itu, tiga penumpang pengantar lebih dulu sampai di Ambon, sedangkan jenazah baru tiba belakangan dengan pesawat yang berbeda.
Dua kasus di atas memunculkan pertanyaan: bagaimana prosedur penanganan jenazah lewat angkutan udara?
Pengamat penerbangan sekaligus anggota Ombudsman RI, Alvin Lie menjelaskan angkutan jenazah memang memerlukan perlakuan khusus dari mulai penanganan angkutan, sertifikasi keamanan, hingga urusan administrasinya.
Sehingga, kata dia, butuh proses yang lebih panjang daripada mengurus kargo pada umumnya. "Tidak seperti barang bagasi yang langsung masuk, itu skemanya tidak seperti itu," kata Alvin saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (15/5/2019).
Alvin mengatakan, keluarga yang mendampingi proses pengiriman jenazah juga perlu aktif melaporkan status pengiriman ini kepada petugas darat dari maskapai bersangkutan di bandara keberangkatan. Apalagi, bila penerbangan yang ditempuh bukan rute langsung dan memerlukan transit di lebih dari satu bandara.
"Kalau enggak lapor, ya, sudah itu dianggap peti jenazah yang tidak didampingi penumpang. Tapi kalau saat mengirimkan jenazah itu sekaligus lapor bahwa ini akan didampingi penumpang dan minta secara khusus minta diangkut oleh penerbangan mana, [maka] itu perlakuannya beda lagi," kata Alvin.
Sementara itu, Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) David Lumban Tobing menjelaskan urusan mengangkut jenazah ini perlu mendapat perhatian dari masyarakat. Karena itu, kata dia, publik pun perlu diedukasi bahwa angkutan jenazah tidak bisa disamakan dengan angkutan barang pada umumnya.
"Jenazah termasuk human remain (HUM) cargo, di mana pengirimannya, treatment-nya, serta biayanya berbeda dengan kargo-kargo lain, misalnya vegetables cargo, dangerous good cargo dan kargo-kargo kategori umum," kata David kepada reporter Tirto melalui sambungan telpon, Rabu (15/5/2019).
Saat keluarga mengurus pengiriman jenazah, kata David, sama halnya dengan penumpang, mereka sudah harus memesan maskapai yang jadwal keberangkatannya sudah ditentukan. Hal ini, kata dia, berarti kedatangan di kota tujuan juga sudah ditentukan waktu kedatangannya.
"Prosedurnya jenazah dimasukkan ke pesawat 2 jam sebelum penumpang masuk ke pesawat. Dan sebelum dimasukkan ke pesawat, sudah beberapa jam berada di karantina bagian kargo bandar udara. Jadi apabila semua prosedur ini sudah dilakukan keluarga, maka sangat kecil kemungkinan jenazah tidak dikirim atau terlambat dikirim dan terlambat sampai di kota tujuan," kata David.
David menambahkan, hak-hak konsumen terkait angkutan jenazah juga sudah diatur dalam Permenhub Nomor 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (PDF). Dalam Pasal 1 poin 3 disebutkan soal kewajiban perusahaan angkutan udara adalah untuk mengganti kerugian yang diderita penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga.
"Dan ganti ruginya bisa dituntut melebihi dari konpensasi yang sudah
diatur di Permen 77 karena pasal 23 Permen 77 memberi kesempatan pada
pemilik barang untuk menuntut ke pengadilan," kata David.
Karena itu, David berharap peristiwa yang terjadi pada penumpang Lion
Air tersebut bisa jadi pembelajaran bagi masyarakat dan juga maskapai
untuk lebih tertib dalam menangani urusan pengangkutan jenazah.