Kasus Gagal Ginjal Akut pada Anak, Ombudsman Sampaikan Temuan dan Tindakan Korektif Kepada Menkes dan Kepala BPOM
Siaran Pers
Nomor 071/HM.01/XII/2022
Kamis, 15 Desember 2022
JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia telah melakukan serangkaian pemeriksaan dalam Investigasi Atas Prakarsa Sendiri (IAPS) mengenai dugaan maladministrasi pada penanggulangan kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) pada anak dan pengawasan obat sirop oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Sebagai hasil dari investigasi tersebut, Ombudsman RI telah menerbitkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) dan disampaikan secara langsung kepada Kementerian Kesehatan dan BPOM untuk melaksanakan Tindakan Korektif.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng menjelaskan objek pemeriksaan di antaranya Ombudsman melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan berkaitan dengan substansi permasalahan. Kemudian Ombudsman RI juga melakukan investigasi dan permintaan keterangan di 13 Provinsi. Serta melakukan pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen administrasi berkaitan dengan substansi permasalahan.
Lebih lanjut Robert memaparkan beberapa poin pendapat Ombudsman. "Bahwa dalam penanggulangan kasus GGAPA pada anak dan pengawasan obat sirop telah terjadi dugaan penyimpangan prosedur dan tindakan tidak kompeten yang dilakukan baik oleh Menkes dan Kepala BPOM," ujarnya dalam Konferensi Pers di Kantor Ombudsman RI, Kamis (15/12/2022).
Robert mengatakan terjadi tindakan maladministrasi berupa tidak kompetennya Menkes terimplikasi dari belum ditetapkannya GGAPA pada anak sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). "Sehingga berdampak pada pasifnya respons pemerintah dalam menindaklanjuti kasus ini sebagaimana standar kebijakan dan standar pelayanan dalam penanganan KLB," tegas Robert.
Kedua, Robert menyampaikan, Ombudsman berpendapat bahwa terjadi tindakan maladministrasi berupa tidak kompetennya Menkes dalam pengendalian penyakit tidak menular dengan pendekatan surveilan faktor risiko, registri penyakit (pendataan dan pencatatan) dan surveilan kematian mengenai GGAPA pada anak.
Selain itu, Robert mengatakan bahwa terjadi tindakan maladministrasi berupa tidak kompetennya Kemenkes dalam melakukan pengawasan kesehatan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota sesuai Permenkes Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Pengawasan di Bidang Kesehatan, agar dapat dilakukan mitigasi awal mengenai GGAPA pada anak.
Lebih lanjut, Ombudsman RI berpendapat bahwa terjadi tindakan maladministrasi berupa tidak kompetennya BPOM dalam memastikan Farmakovigilans. Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian (assessment), pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat.
Robert juga menyoroti terjadinya kelalaian dan pengabaian kewajiban hukum oleh BPOM dalam merespons secara cepat peringatan WHO terkait bahaya cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang terkandung pada obat sirop. Hal ini mengakibatkan bertambahnya korban jiwa disebabkan GGAPA pada anak.
Robert memaparkan, temuan Ombudsman terkait Kemenkes, di antaranya Kemenkes tidak melakukan pendataan dan surveilan sejak awal munculnya gejala GGAPA. Kedua, Kemenkes tidak menindaklanjuti kasus GGAPA pada anak sebagai KLB sehingga berdampak pada pasifnya respons pemerintah dalam menindaklanjuti kasus tersebut sebagaimana standar kebijakan dan standar pelayanan dalam penanganan KLB.
Ketiga, Kemenkes tidak kompeten dalam mensosialisasikan dan menegakkan peraturan secara luas terhadap fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tentang tata laksana dan manajemen klinis GGAPA pada anak akibat EG dan DEG. Keempat, Kemenkes tidak menyampaikan informasi secara luas mengenai kesimpulan penyebab GGAPA pada anak yang terkonfirmasi dari akibat konsumsi obat sirop mengandung EG dan DEG melanggar aturan ambang batas.
Temuan Ombudsman RI, terkait BPOM, Robert menjelaskan bahwa proses peredaran obat sirop mengandung EG dan DEG yang melanggar aturan ambang batas tidak terawasi oleh BPOM. "Sehingga obat tersebut terdistribusi dan dikonsumsi oleh masyarakat yang menjadi penyebab GGAPA pada anak," terang Robert.
Kemudian, Ombudsman menemukan bahwa BPOM tidak optimal dalam mengawasi kegiatan Farmakovigilans dan kepatuhan industri farmasi terhadap aturan Farmakovigilans yang baik.
Untuk itu, Ombudsman memberikan Tindakan Korektif kepada Menkes dan Kepala BPOM terkait permasalahan GGAPA pada anak. Robert menyebutkan, kepada Menkes diminta untuk melaksanakan peningkatan kapasitas tim surveilans data melalui penyediaan struktur kerja, kualitas dan kuantitas SDM surveilans serta standar kerja untuk mendukung tersedianya data yang akurat dan komprehensif. Kedua, melakukan penyempurnaan peraturan terkait KLB khususnya terkait cakupan penyakit menular dan tidak menular. Ketiga, agar Menkes menetapkan klasifikasi KLB dengan status dan mekanisme penanganannya untuk meningkatkan kapasitas respons dalam melakukan tindaklanjut dan penanganannya.
Selain itu, Ombudsman meminta Menkes untuk melaksanakan sosialisasi secara masif dan terukur kepada seluruh Faskes dan Nakes tentang tata laksana dan manajemen klinis penanganan GGAPA. Terakhir, agar Menkes menyampaikan informasi kepada publik untuk menjamin terpenuhinya hak informasi kesehatan berupa penyebab GGAPA sebagai akibat dari kandungan EG dan DEG dalam obat sirop.
Kepada Kepala BPOM, Ombudsman memberikan Tindakan Korektif yakni agar mengevaluasi laporan Farmakovigilans di semua industri farmasi yang memproduksi dan/atau mengedarkan obat sirop serta menindaklanjuti dengan pemeriksaan dan uji sampel produk.
Selanjutnya, Ombudsman meminta agar Kepala BPOM melakukan pendataan terhadap volume penjualan dan area persebaran obat sirop mengandung bahan EG dan DEG dan hasilnya dikoordinasikan dengan Kementerian Kesehatan sebagai bahan penanggulangan GGAPA pada anak. (*)
Narahubung
Robert Na Endi Jaweng
Anggota Ombudsman RI