• ,
  • - +
Investasi Sistem Perdagangan Alternatif (SPA) Merugi, Ombudsman Maraton Periksa Kewenangan Pengawasan Bappebti
Siaran Pers • Senin, 30/10/2023 •
 
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika

Siaran Pers

Nomor 057/HM.01/X/2023

Senin, 30 Oktober 2023

  

JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia tengah melaksanakan maraton pemeriksaan terhadap Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) yang dinilai lamban dalam menyelesaikan laporan masyarakat atas kerugian di bidang perdagangan berjangka komoditi.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengatakan sepanjang tahun 2022-2023, pihaknya telah menerima pengaduan masyarakat sebanyak 28 laporan dengan Bappebti sebagai pihak terlapor. Dugaan total kerugian materiil yang harus ditanggung masyarakat lebih dari Rp 60 miliar.

"Ombudsman melihat Bappebti sangat tidak serius dalam menyelesaikan aduan masyarakat. Jika masyarakat sudah melapor ke Bappebti harusnya ditindaklanjuti. Dengan kewenangan Bappebti, seharusnya dapat menunjukkan kecepatan dalam menyelesaian laporan masyarakat," ujar Yeka dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Pusat, Senin (30/10/2023).

Dari 28 laporan yang diterima, laporan tersebut melibatkan beberapa perusahaan di antaranya PT MAF sebanyak 5 laporan, PT BF sejumlah 8 laporan, 6 laporan kepada PT RFB, dan masing-masing 1 laporan yang melibatkan PT GKIB, PT EF, PT MIF dan PT SAM serta 1 laporan yang melibatkan langsung Bappebti.

Selanjutnya, dari 28 laporan tersebut, Ombudsman RI bertindak tegas dengan melakukan maraton pemeriksaan kepada Bappebti terhadap 6 laporan terkait kerugian di investasi Sistem Perdagangan Alternatif (SPA) yang melibatkan PT MAF dan PT BF selaku perusahaan pialang berjangka. Yeka mengungkapkan, laporan tersebut berkaitan dengan produk perdagangan berjangka komoditi berupa emas. Adapun total klaim kerugian materiil dari 6 laporan tersebut mencapai lebih dari Rp 3,6 miliar.

Menyikapi hal tersebut, Yeka mengatakan Ombudsman akan terus melaksanakan kewenangan untuk memanggil Bappebti selama laporan masyarakat tersebut tidak mendapatkan penyelesaian yang pasti. Ombudsman menemukan tiga potensi maladministrasi yaitu pengabaian kewajiban hukum, penyimpaan prosedur, dan penundaan berlarut.

Terkait permohonan penyidikan di Bappebti, Ombudsman RI mengacu pada Pasal 68 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Dimana pada pasal tersebut dijelaskan bahwa Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Bappebti diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perdangan berjangka komoditi berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Selanjutnya pada Pasal 68 Ayat (2) Huruf D disebutkan bahwa Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap pembukuan, catatan, dan/atau dokumen lain yang berhubungan dengan tindak pidana di bidang Perdagangan Berjangka. Bahkan Bappebti juga dapat melakukan penggeledahan terhadap perusahaan yang diduga melakukan tindakan pidana di bidang perdagangan berjangka, sebagaimana tertuang dalam Pasal 68 Ayat (2) Huruf E undang-undang tersebut.

"Dari laporan yang masuk ke Ombudsman, tidak ada satu pun yang naik ke tahap penyidikan di Bappebti dan Bappebti hanya memberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis kepada para pialang berjangka. Padahal pialang berjangka tersebut telah dilaporkan beberapa kali dengan pelapor yang berbeda. Seharusnya Bappebti lakukan evaluasi," tegas Yeka.

Yeka menegaskan pemeriksaan terhadap Bappebti tidak hanya berhenti pada 6 laporan ini saja, tetapi akan dilakukan secara bertahap sampai seluruh laporan selesai.

"Masih ada 22 laporan menanti, ini 6 dulu untuk tahap pertama. Sambil melihat bagaimana respons Bappebti. Nanti pada akhirnya kita akan keluarkan produk Ombudsman yang memberikan tindakan korektif dan saran perbaikan secara sistemik," terang Yeka.

 

Yeka berharap Bappebti dapat kooperatif dalam penyelesaian laporan masyarakat, sehingga dapat menciptakan iklim usaha yang lebih transparan dan menguntungkan bagi perekonomian masyarakat. (*)

 

Narahubung:

Anggota Ombudsman RI

Yeka Hendra Fatika





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...