Indikasi Maladministasi Pada Kasus CPNS Disabilitas
Siaran Pers
Kamis, 15 Agustus 2019
Belajar dari Kasus pembatalan kelulusan CPNS drg. Romi oleh Pemkab Solok Selatan, karena yang bersangkutan disabilitas. Pemerintah perlu menyegerakan pembenahan sistemnya. Mengapa? Karena masih banyak keluhan-keluhan serupa yang belum terdengar oleh media, sehingga pemerintah cenderung lamban dan mengabaikan penyelesaian. Senin (12/8/2019) kemarin Ombudsman juga menerima pengaduan kasus yang dialami Ibu Hasnian, disabilitas dari Aceh, bahkan sudah dua kali diajukan status CPNS-nya.
"Penyelesaian" oleh pemerintah (KSP dan Kemenpan, Kemenkes) dengan mengangkat CPNS drg Romi, tidak serta merta dapat memperbaiki sistem rekrutmennya. Pemerintah Pusat bukan tidak mengetahui kasus ini. Sejak bulan Januari tahun 2019 Pemkab Solok Selatan telah berkonsultasi dengan Kemenkes, Maret 2019 juga konsultasi dengan Panselnas, dan Panselnas menyetujui pembatalan ini.
Oleh karenanya Ombudsman RI Perwakilan Sumbar menganggap penting untuk tetap melakukan pemanggilan pada Bupati. Hasil pertemuan pada 7 Agustus 2019 lalu diindikasi Bupati Muzni Zakaria dan Panselda tetap pada pendirian bahwa pembatalan drg. Romi telah sesuai dengan prosedur karena telah sesuai Permenpan RB Nomor 36 Tahun 2018. Panselda menolak dikatakan membatalkan drg. Romi karena yang bersangkutan disabilitas. Meskipun dokumen, notulensi dan surat Dinas Sosial membuktikan bahwa pembatalan drg. Romi karena disabilitas.
Ombudsman perwakilan Sumbar memandang Panselda tidak utuh melihat UU Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Disabilitas. Dimana seseorang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan/sensorik dalam waktu yang lama dianggap disabilitas, tapi pada saat yang sama mengabaikan ketentuan persamaan hak penyandang disabilitas termasuk perlakuan tidak diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan.
Pemkab Solok Selatan mengacu pada Surat Kemenkes dalam membuat keputusan pembatalan CPNS drg. Romi ternyata tidak proporsional, dan sebenarnya memberikan dua opsi: membatalkan atau mengangkat Romi, tapi Bupati memilih membatalkan. Panselda dan Bupati mengabaikan surat keterangan sehat dari RSUD Solok Selatan, RSUP M Djamil, RS Pekan Baru, Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2006 tentang Pedoman Penerbitan Surat Keterangan Fisik dan Mental bagi Dokter/Dokter gigi yang intinya kesehatan fisik yang ditolerir adalah tidak mengganggu fungsi muskuloskeletal ektrimitas atas yang tidak bisa melakukan tugas profesi, dan juga mengabaikan Surat Tanda Register Tenaga Kesehatan Dokter Gigi yang telah dimiliki drg Romi.
Ombudsman mengindikasi adanya keinginan pemerintah Sumbar agar pelaporan drg. Romi ke Ombudsman dihentikan, karena SK CPNS segera diterbitkan. Keinginan tersebut tidak relevan karena ini akan berdampak pada tidak adanya pembelajaran yang utuh untuk proses perbaikan sistem perekrutan CPNS ke depan. Ke depan Pemerintah perlu memperhatikan UU No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas yang mengatur afirmasi 2% untuk setiap rekruitmen CPNS dengan berbagai formasi. Serta perlu redifinisi pemaknaan sehat rohani dan jasmani, formasi umum dan formasi khusus sehingga tidak menimbulkan diskriminasi bagi penyandang disabiltas. (*)
Anggota Ombudsman RI
Ninik Rahayu