Dulu Polri, Kini Pemda yang Paling Banyak Dilaporkan ke Ombudsman oleh Masyarakat
Ombudsman Republik Indonesia mencatat, aduan yang paling banyak diterima sepanjang 2019 berkaitan dengan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu mengatakan, tahun ini merupakan pertama kalinya pemerintah daerah paling banyak diadukan setelah sebelumnya institusi kepolisian selalu menjadi institusi yang paling banyak diadukan.
"Sejak tahun 2000 Ombudsman didirikan, laporan masyarakat terkait kinerja kepolisian selalu menduduki angka tertinggi. Tapi tahun ini di angka nomor dua," ujar Ninik di Kantor Ombudsman RI, Selasa (17/12/2019).
"Angka tertingginya, sektornya bidang pertanahan kemudian institusi terlapornya pemerintah daerah," lanjut dia.
Dalam data yang dirilis Ombudsman, 41,03 persen laporan yang diterima Ombudsman pada 2019 berkaitan dengan pemerintahan daerah.
Sedangkan, laporan terkait kepolisian berada di tempat kedua dengan jumlah 13,84 persen laporan.
Menurut Ninik, jumlah laporan terkait pemerintah daerah yang melampaui jumlah laporan atas kepolisian disebabkan oleh otonomi daerah yang semakin kuat.
"Karena kan sekarang ini eranya otonomi daerah, semua kewenangan kan ada di daerah. Makanya banyak dilaporkan banyak hal. Misalnya terkait KTP, Dukcapil, pertanahan juga (kewenangan) daerah," ujar Ninik.
Ninik menambahkan, isu yang paling banyak diadukan publik adalah isu pertanahan.
Isu lainnya, yakni perizinan dan pendidikan
Walau demikian, Ninik menyebut instansi kepolisian masih menjadi instansi yang paling banyak dilaporkan di sektor hukum dengan perolehan 518 laporan dari total 943 laporan di bidang hukum.
Adapun jumlah laporan yang diterima Ombudsman pada 2019 berjumlah 11.087 yang meningkat dari 10.985 lapora pada 2018 tahun lalu.
Laporan tersebut terdiri dari laporan yang masih dalam proses, laporan yang telah ditutup, tembusan dan konsultasi non laporan yang baru dimulai sejak Tim Verifikasi dan Penerimaan Laporan dibentuk pada 2018.
Sulit Mengakses Pelayanan Publik
Ombudsman sendiri menemukan, masih ada daerah dan kelompok di Indonesia yang sangat sulit mengakses pelayanan publik.
Pelayanan publik yang dimaksud, mulai dari fasilitas kesehatan, pendidikan, bahkan hal mendasar seperti layanan KTP elektronik atau e-KTP.
"Jadi kita ingin mengingatkan kembali bahwa masalah daerah tertinggal dan kelompok tertinggal juga, ada banyak kelompok misalnya kelompok adat, kelompok agama yang selama ini belum secara fix mendapatkan jaminan pelayanan publik," kata Anggota Ombudsman RI, Ahmad Suadi, dalam sebuah diskusi di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (12/12/2019).
Suadi mengatakan, selama ini, belum ada standar minimal tentang pelayanan publik yang diperuntukkan bagi daerah dan kelompok termarjinalkan.
Padahal, standar minimal itu mestinya ada pada tiap sektor pemerintahan, seperti standar minimal bidang pendidikan yang ditetapkan oleh kementerian pendidikan, standar minimal kesehatan oleh kementerian kesehatan, atau standar ekonomi oleh kementerian perekonomian.
Hal ini penting, supaya kepastian pelayanan publik bagi daerah dan kelompok termarjinalkan tetap terpenuhi.
"Misalnya Singapura, itu standar minimalnya semua orang harus punya rumah, sehingga setiap orang harus berpenghasilan bisa nyicil rumah," ujar Suadi.
"Kalau kita pasti belum sampai ke sana, karena memang selain negara yang sangat besar juga memang prosesnya panjang. Tapi, minimal ada pelayanan publik yang menjamin bahwa semua masyarakat harus bisa akses," lanjutnya.
Persoalan lain yang ditemukan Ombudsman adalah bahwa di daerah-daerah termarjinalkan terjadi kesenjangan penggunaan dana desa.
Sekalipun misalnya besaran dana desa sama, daerah non-marjinal menggunakan dana desa untuk pengembangan wilayah, sementara di daerah marjinal, dana desa digunakan untuk membangun fasilitas dasar.
Selain itu, Ombudsman juga menemukan bahwa tunjangan guru yang mengajar di daerah-daerah tertinggal banyak sekali yang tidak terbayarkan.
Menurut Suadi, setidaknya diberlakukan standar minimal pelayanan publik, supaya angka kesenjangan di daerah dan kelompok marjinal perlahan dapat dikurangi.
"Kami ingin semua kelompok ini mendapat akses dengan spesial treatment karena kelompok marjinal ini adalah kelompok yang tidak sama dengan yang lain," kata dia.