Dukung Perbaikan Penyaluran Pupuk Bersubsidi, Ombudsman RI Berikan Empat Saran Strategis

JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia mendukung penuh perbaikan kebijakan tata Kelola pupuk bersubsidi, dengan menyampaikan empat saran strategis kepada para pemangku kepentingan. Keempat saran tersebut disampaikan oleh Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika dalam forum Rapat Kelompok Kerja (Pokja) Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Pupuk Bersubsidi yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Senin (16/6/2025), di Jakarta.
Yeka menjelaskan bahwa saran tersebut merupakan bagian dari upaya penguatan tata kelola pupuk bersubsidi seiring dengan hadirnya kebijakan baru melalui Perpres Nomor 6 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Pupuk Bersubsidi dan peraturan pelaksananya yaitu Permentan 15 Tahun 2025. Perpres tersebut memperluas mekanisme penyerapan pupuk bersubsidi dengan menambahkan Gapoktan, koperasi, dan Pokdakan sebagai titik serah, selain pengecer yang telah berjalan sebelumnya.
"Perubahan mekanisme ini membuka peluang perbaikan distribusi pupuk yang lebih mendekatkan akses pupuk bagi petani, memberdayakan petani, memperkuat basis data, serta meningkatkan efektivitas pengawasan," ujar Yeka.
Sebagai langkah konkret, Ombudsman RI menyampaikan empat saran strategis. Pertama, diperlukan percepatan penerbitan regulasi teknis yang mengatur mekanisme dan prosedur penyaluran pupuk bersubsidi oleh Gapoktan. Regulasi ini menjadi kunci agar kebijakan dapat dioperasionalkan secara efektif di lapangan dan tidak menimbulkan ketimpangan dalam distribusi.
Kedua, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) Gapoktan melalui program pembinaan dan pendampingan. Ombudsman menilai bahwa pelibatan Gapoktan sebagai titik serah harus diimbangi dengan kesiapan dan kompetensi pengelolanya, agar tata kelola pupuk subsidi tetap terjaga.
Ketiga, kemudahan akses pembiayaan bagi Gapoktan menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan. Ombudsman RI mendorong agar akses ke sumber pembiayaan seperti Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), atau melalui skema kemitraan dapat difasilitasi secara lebih terbuka dan efektif, sehingga operasionalisasi penyaluran pupuk dapat berjalan tanpa hambatan finansial.
Keempat, Ombudsman RI merekomendasikan penyesuaian margin atau fee bagi pengecer pupuk bersubsidi. Pasalnya, margin tersebut belum mengalami perubahan sejak tahun 2010 dengan nilai Rp75/kg atau Rp75.000/ton, sementara biaya operasional di lapangan terus mengalami kenaikan. Penyesuaian margin dinilai penting untuk menjaga keberlangsungan Kios pengecer maupun Gapoktan, Pokdakan, dan Koperasi sebagai titik serah baru dalam rantai distribusi pupuk bersubsidi.
Lebih lanjut, Yeka menjelaskan bahwa dari total 84.276 desa dan kelurahan di Indonesia, terdapat 64.522 Gapoktan dan 26.952 kios pengecer aktif. Namun, tidak seluruh desa memiliki Gapoktan, dan satu kios pengecer rata-rata melayani 3-8 desa. Jika seluruh Gapoktan difungsikan sebagai titik serah, maka akan ada sekitar 6.560 desa yang memiliki dua titik serah. Sehingga, atas hal ini diperlukan reviu terhadap batasan jumlah penyalur di suatu wilayah/desa.
Ombudsman RI juga menyoroti pentingnya perbaikan sistem pendataan petani yang selama ini masih mengandalkan sistem elektronik tanpa dukungan basis data geospasial yang akurat. Diperlukan langkah korektif seperti kajian pendataan berbasis lahan, penguatan SDM penyuluh baik dari sisi jumlah, insentif, maupun status kepegawaian, serta alokasi anggaran khusus untuk mendukung pembenahan pendataan tersebut.
Meskipun telah terjadi perbaikan dalam mekanisme penebusan pupuk bersubsidi, Ombudsman mencatat masih ditemukan permasalahan koreksi di lapangan. Hal ini perlu dimitigasi melalui peningkatan sosialisasi, pembinaan, serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara berkala.
"Dengan pelibatan Gapoktan, koperasi, dan Pokdakan sebagai titik serah baru, perlu dilakukan reviu terhadap batasan jumlah penyalur di suatu wilayah/desa. Ini penting agar tidak terjadi tumpang tindih peran, sekaligus memastikan keberlanjutan kios pengecer dan peran Pelaku Usaha Distribusi (PUD) tetap berjalan optimal," tutup Yeka. (*)