Dorong Perbaikan Tata Kelola RS Pratama, Ombudsman RI Rilis Hasil Reviu Sistemik Pelayanan Kesehatan

JAKARTA - Ombudsman RI merilis Hasil Reviu Sistemik Optimalisasi Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Pratama, menyusul meningkatnya pengaduan maladministrasi layanan kesehatan. Pada 2025, terdapat 303 laporan terkait layanan kesehatan dan jaminan kesehatan. Sementara itu, survei Kementerian Kesehatan tahun 2024 menunjukkan masih banyak masyarakat yang menilai layanan rumah sakit belum sesuai harapan. Hal ini disampaikan oleh Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih pada Selasa (18/11/2025) di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan.
Dalam reviu ini, Ombudsman RI menemukan bahwa tata kelola RS Pratama, baik yang sudah beroperasional maupun yang belum, masih menghadapi kendala fundamental dan berpotensi menimbulkan maladministrasi. Dari 89 RS Pratama di 21 provinsi, sebanyak 71 telah beroperasi dan 18 lainnya belum produktif akibat lambannya penerbitan izin OSS dan kendala akreditasi. Ombudsman RI menemukan bahwa 43 persen RS Pratama belum terakreditasi, sementara 21 persen belum beroperasi, yang berdampak pada ketidakmampuan fasilitas tersebut memenuhi syarat layanan, termasuk akses bagi peserta JKN.
Hasil assessment Ombudsman RI menunjukkan sejumlah temuan kunci. Pada RS Pratama yang sudah beroperasi, tata kelola masih lemah dan belum terpadu. Status RS Pratama sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama belum didukung sarana farmasi, alat kesehatan, dan jaringan rujukan yang memadai. Jejaring pengampuan layanan antara RS Pratama dan rumah sakit rujukan tidak berjalan, sementara digitalisasi sistem kesehatan terhambat oleh keterbatasan infrastruktur di wilayah sulit akses. Pemenuhan SDM kesehatan juga menjadi masalah utama, karena banyak daerah tidak memiliki perencanaan alokasi SDM yang memadai, sehingga terjadi pengabaian kewajiban pemerintah daerah dalam memastikan ketersediaan tenaga medis dan tenaga kesehatan sesuai standar. Di sisi pembiayaan, Ombudsman menemukan inkonsistensi dalam penggunaan dana transfer daerah dan belum optimalnya dukungan pendanaan operasional dari APBD.
Pada RS Pratama yang belum beroperasi, Ombudsman RI menemukan hambatan signifikan pada rantai perizinan dan pemenuhan standar. Proses OSS berjalan lambat dan mengakibatkan penundaan berlarut, sementara standar akreditasi dinilai tidak sepadan dengan kapasitas RS Pratama, sehingga banyak fasilitas yang gagal memenuhi elemen penilaian terkait SDM, alat kesehatan, dan kelayakan ruang. Minimnya pendampingan akreditasi dari pihak terkait juga memperburuk situasi. Ketiadaan pengawasan dan pendampingan dari pemerintah daerah turut menciptakan potensi maladministrasi berupa pengabaian kewajiban pelayanan publik dan pelanggaran prinsip pemerintahan yang baik.
Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih, dalam sambutannya menegaskan perlunya penguatan koordinasi lintas sektor. Najih juga menyampaikan bahwa temuan Ombudsman tidak hanya terjadi pada layanan kesehatan umum, tetapi juga pada layanan jaminan sosial bagi kelompok rentan. Dalam kunjungan ke Direktorat Kanwil Pemasyarakatan di Kalimantan Selatan, Ombudsman RI menemukan persoalan serius terkait pemenuhan layanan administrasi kependudukan, layanan kesehatan, serta Jaminan Kesehatan Nasional bagi lebih dari 9.000 warga binaan. Atas persoalan tersebut, Ombudsman RI meminta dukungan Wakil Menteri Kesehatan untuk memastikan pemerintah daerah memberikan perhatian serius. Respons positif dari pemerintah daerah menunjukkan adanya komitmen awal menuju perbaikan.
Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. Dante Saksono Harbuwono, menyambut baik temuan Ombudsman dan menekankan pentingnya kesiapan operasional serta pemenuhan SDM di RS Pratama. Menurutnya, pembangunan rumah sakit bukanlah tantangan terbesar, melainkan memastikan operasionalnya berjalan optimal. "Kolaborasi dengan pemerintah daerah sangat penting agar fasilitas kesehatan di daerah sulit akses mampu berfungsi secara maksimal," jelasnya. Dalam kesempatan ini juga ditegaskan bahwa pemerintah akan memberlakukan rujukan langsung untuk BPJS tanpa melalui rujukan tipe rumah sakit berjenjang.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Prof. Ali Ghufron Mukti, menambahkan bahwa kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan BPJS harus berjalan lebih sinkron. Ia menekankan bahwa masih terdapat ketidaksesuaian pemahaman mengenai kewenangan BPJS Kesehatan, baik di tingkat daerah maupun masyarakat, yang berdampak pada pemanfaatan layanan JKN di RS Pratama.
Sementara itu, Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng menegaskan bahwa Ombudsman RI menitikberatkan pengukuran layanan berdasar dua parameter besar, yakni pemerataan akses dan peningkatan mutu. "Terus terang, apabila kita berada di wilayah 3T, keberadaan RS Pratama sangat terasa. Sehingga RS Pratama menjadi sangat krusial untuk optimalisasi kualitasnya," jelas Robert.
Sebagai tindak lanjut, Ombudsman RI akan menyampaikan rekomendasi perbaikan kepada kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Dalam kesempatan yang sama digelar juga Penandatanganan MoU dan Perjanjian Kerja Sama antara Ombudsman RI dan BPJS Kesehatan, serta Diskusi Publik Optimalisasi Pelayanan Kesehatan di RS Pratama.
Ombudsman RI berkomitmen untuk memantau tindak lanjut rekomendasi yang diberikan dan memastikan perbaikan tata kelola RS Pratama berjalan efektif. Penguatan layanan kesehatan, khususnya di wilayah sulit akses, dipandang sebagai langkah penting dalam menjamin hak konstitusional masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu dan berkeadilan. Upaya perbaikan ini akan terus dikawal melalui mekanisme monitoring, koordinasi, dan konsultasi bersama pemangku kepentingan sesuai mandat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008. (MIM)








