Centang-Perenang Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Sebulan sebelum kebijakan penangkapan ikan terukur diterapkan, Ombudsman masih menemukan berbagai persoalan di lapangan.
SEBULAN menjelang pergantian tahun, nelayan mulai harap-harap cemas. Musababnya, mulai 2024, pemerintah akan mengimplementasikan kebijakan penangkapan ikan terukur sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Padahal kebijakan itu dianggap masih penuh ketidakjelasan.
"Nelayan banyak yang bingung karena belum tahu tentang kebijakan itu," ujar Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana kepada Tempo, kemarin. Secara umum, nelayan hanya tahu kebijakan itu akan membatasi penangkapan berdasarkan zonasi dan kuota, serta ada kewajiban pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Masalahnya, sampai saat ini PP Nomor 11 Tahun 2023 tidak mengatur jelas siapa yang dimaksudkan dengan nelayan lokal dan nelayan kecil. Padahal definisi tersebut akan menentukan nasib nelayan setelah kebijakan pembatasan berlaku. Di samping itu, Budi khawatir akan transparansi pemerintah dalam memberikan kuota penangkapan nantinya. Kalau hanya membaca aturan yang sudah terbit, Budi membayangkan nelayan kecil akan menjadi pihak yang sangat terimbas. Nelayan-nelayan dengan kapal di bawah 10 GT akan keberatan membayar PNBP jika ingin melaut di zona di atas 12 mil. Sementara itu, kalau melaut di wilayah perairan di bawah 12 mil, ikan susah ditemui.
"Hasil yang ditangkap nelayan kecil tidak sebanding dengan nelayan besar. Jangkauan pencarian ikan juga tidak sejauh nelayan besar," kata Budi. "Terkadang juga nelayan kecil harus dipotong retribusi di daerahnya." Karena itu, Budi mempertanyakan apakah aturan itu tetap diberlakukan pada awal tahun depan.
Kekhawatiran atas implementasi kebijakan ini juga muncul dari kalangan pengusaha. Ketua Bidang Perikanan dan Peternakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hendra Sugandhi mengatakan ada kekhawatiran penangkapan ikan terukur justru membahayakan keberlanjutan usaha perikanan. Musababnya, saat ini pasokan bongkar dan ekspor pun mulai turun setelah diterapkannya kebijakan PNBP.
Ketimbang langsung menerapkan kuota, ia menyarankan pemerintah membuat data pasca-produksi lebih dulu. Selanjutnya, ia pun meminta ketentuan penangkapan ikan terukur dijelaskan lebih lanjut dalam aturan teknis. Misalnya tentang kuota yang diperbolehkan. Pasalnya, ia merasa ada perbedaan antara apa yang disosialisasi kepada pengusaha dan ketetapan PP Nomor 11/2023. "Jangan sampai kontraproduktif."
Kementerian Kelautan dan Perikanan sebelumnya menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2023 sebagai turunan Peraturan Pemerintah Nomor 11/2023. Kementerian Kelautan juga mengeluarkan Surat Edaran Menteri Kelautan Nomor 1569 tentang Tahapan Pelaksanaan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur pada 2 Oktober lalu.
Menyitir surat edaran tersebut, perizinan usaha subsektor penangkapan dan pengangkutan ikan yang sebelumnya akan berubah menjadi format penangkapan ikan terukur. Pengajuan perubahan format dibuka mulai 1 sampai 18 November 2023. Sementara itu, batas waktu permohonan dan layanan kuota penangkapan ikan baru akan dimulai pada 21 November-29 Desember 2023. Selanjutnya seluruh kapal penangkapan dan pengangkutan ikan di atas 5 GT harus menggunakan aplikasi e-PIT yang direncanakan paling lambat pada 1 Januari 2024.
Temuan Ombudsman RI
Keluhan dari nelayan hanya secuil dari berbagai kelemahan rencana implementasi kebijakan yang ditemukan Ombudsman RI di lapangan. Kendati menilai kebijakan tersebut memiliki maksud baik untuk menjaga keberlanjutan sumber daya perikanan di Tanah Air, anggota Ombudsman, Hery Susanto, melihat pelaksanaan kebijakan tanpa kesiapan para pemangku kepentingan akan menjadi beban bagi pelaku perikanan tangkap.
"Saran kami, kalau belum siap, tunda saja (implementasinya), koordinasi dengan legislatif," ujar Hery. Menurut dia, rencana kebijakan penangkapan ikan terukur nyatanya masih banyak dikeluhkan nelayan dan pengusaha perikanan tangkap. Karena itu, pemerintah harus memperhatikan seluruh aspek dan aspirasi dari para pemangku kepentingan perikanan tangkap.
Sebagai informasi, Ombudsman melakukan beberapa metode pengambilan data, dari focus group discussion; survei opini publik kepada para nelayan, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan; hingga melakukan observasi ke lapangan. Pengkajian tersebut berlokasi di Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo Aceh, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu Banten, PPS Nizam Zachman, PPN Muara Angke Jakarta, Kejawaan Jawa Barat, Cilacap, PPN Prigi, PPN Pemangkat, PPN Sungai Rengas, PPS Bitung, dan PPS Ternate.
Setelah melakukan survei lapangan terhadap para pelaku perikanan tangkap, Ombudsman menemukan sejumlah permasalahan pada aspek regulasi dan implementasi penangkapan ikan terukur. Pada aspek regulasi, misalnya, Ombudsman menemukan konsultasi publik dalam penyusunan rancangan PP Nomor 11/2023 dan ketentuan pelaksanaannya masih belum optimal.
Ombudsman juga menyoroti beberapa ketentuan yang mengatur perlindungan terhadap nelayan kecil juga tidak bersifat wajib, melainkan bersifat pilihan. Di sisi lain, Ombudsman menemukan tidak ada parameter yang jelas dan terukur untuk menentukan kategori nelayan kecil. Sorotan lain adalah mengenai akuntabilitas dan transparansi dalam perhitungan, penetapan, dan evaluasi kuota penangkapan ikan yang belum diatur secara komprehensif dalam regulasi.
Berbagai perkara itu masih ditambah kurangnya sosialisasi dan edukasi tentang regulasi serta aturan teknis tentang penangkapan ikan terukur. "Kebijakan PIT berbasis kuota dan zona masih belum dipahami secara jelas dan utuh oleh para nelayan, pemilik kapal perikanan, ataupun pelaku usaha perikanan," kata Hery.
Karena itu, Ombudsman menilai, berbasis beberapa temuan ini saja sudah terlihat potensi maladministrasi dari kebijakan perikanan terukur berbasis kuota dan zona yang akan dilaksanakan pada 1 Januari 2024 itu. Maladministrasi bakal terjadi jika seluruh pemangku kepentingan, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan, tidak mengantisipasi secara tepat dan cepat beberapa permasalahan yang muncul tersebut.
Belum lagi pada sisi implementasi. Ombudsman melihat sistem dan mekanisme pengawasan masih lemah. Berdasarkan hasil survei, masih terdapat nelayan yang melaut lebih dari 12 mil, tapi tidak memiliki izin sama sekali atau hanya memegang izin dari pemerintah provinsi. "Fenomena tersebut menunjukkan bahwa Kementerian Kelautan belum optimal melakukan pengawasan dan menjangkau seluruh wilayah perikanan tangkap di Indonesia," kata Hery.
Salah satu penyebabnya, ujar dia, adalah kurangnya edukasi dan bimbingan teknis kepada nelayan atau pelaku usaha ataupun petugas di daerah. Di samping itu, belum semua pelabuhan perikanan menyediakan gerai layanan perikanan tangkap yang berfungsi memfasilitasi nelayan, pelaku usaha perikanan dalam proses migrasi perizinan, ataupun sebagai tempat pengaduan atau tanya-jawab ihwal kebijakan PIT berbasis kuota dan zona.
Sengkarut tersebut pun terlihat dari masih banyaknya perizinan pada sektor perikanan tangkap. Bahkan aplikasi yang digunakan lebih dari satu. Nelayan dan pelaku usaha juga mengeluhkan adanya pungutan, seperti biaya tambatan, biaya bongkar, dan penerimaan negara bukan pajak yang semakin lama semakin besar.
Atas berbagai permasalahan itu, Ombudsman menyarankan pemerintah segera membenahi berbagai celah permasalahan sebelum menerapkan kebijakan penangkapan ikan terukur secara penuh. Pemerintah juga diminta menggencarkan edukasi dan bimbingan teknis kepada para pelaku perikanan agar kebijakan itu tak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
Temuan Ombudsman itu selaras dengan hasil survei yang dilakukan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia pada 11 Oktober hingga 4 November lalu. Hasilnya, para responden survei menggarisbawahi tiga permasalahan utama dari kebijakan ini: sosialisasi belum efektif, pemahaman terbatas, dan ketidaksiapan infrastruktur di lapangan.
Peneliti DFW, Felicia Nugroho, mengatakan hasil survei terhadap 202 responden di 14 provinsi mengindikasikan bahwa pengetahuan mengenai penangkapan ikan terukur hanya dipahami parsial sebatas penangkapan ikan berbasis kuota, perubahan formula perizinan penangkapan ikan terukur, penangkapan ikan berbasis zona, dan PNBP pasca-produksi.
Pemahaman yang parsial diduga terjadi karena para responden hanya mendapat informasi dari sumber sekunder, seperti media sosial dan media massa, dibanding pihak pelabuhan atau perwakilan pemerintah. "Fakta ini menunjukkan pemerintah belum proaktif dalam menyebarluaskan informasi tentang PIT," kata Felicia.
Di sisi lain, kondisi ini juga diduga disebabkan oleh belum efektifnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah. Kurangnya sosialisasi pemerintah kepada pelaku usaha dan nelayan ihwal pelaksanaan aturan PIT-dari penerapan kuota, e-PIT, dan PNBP pasca-produksi-menyebabkan ketidakjelasan informasi yang diterima publik. Situasi ini juga menunjukkan sosialisasi tidak dijalankan secara substansial. "Sosialisasi tidak boleh hanya dilakukan ketika kebijakan sudah selesai dan ditetapkan, melainkan harus sejak awal mula kebijakan dirumuskan," ujar Felicia.
Hasil survei DFW juga menunjukkan sebagian besar responden melihat kesiapan sumber daya manusia menjadi tantangan utama dalam pelaksanaan PIT, juga kejelasan informasi mengenai PIT. Permasalahan ini, kata Felicia, lagi-lagi tidak dapat dilepaskan dari kurang efektifnya sosialisasi. Selain itu, petugas yang mendapat pemahaman tentang PIT masih terbatas dan sering kali ditemukan penjelasan yang berbeda-beda.
"Kalau petugas sendiri tidak mengerti PIT secara menyeluruh, tentu saja akan berdampak pada kualitas implementasi," tutur dia. Contohnya soal aplikasi e-PIT, yakni kapten kapal harus memasukkan data mengenai jumlah tangkapan untuk mengetahui besaran PNBP yang harus dibayarkan. Survei menunjukkan sebanyak 36,7 persen responden mengaku belum mengetahui aplikasi e-PIT.
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan itu, responden survei juga menganggap permasalahan yang paling penting untuk diantisipasi adalah adanya konflik antara nelayan lokal dan perusahaan asing. Hal ini ditengarai merupakan implikasi pembagian zonasi industri dan zonasi nelayan lantaran wilayah nelayan tradisional hanya 12 mil. Di sisi lain, ada migrasi perizinan dari daerah ke pusat.
Potensi masalah selanjutnya adalah konflik antarnelayan dan kekhawatiran akan disalahgunakannya kuota tangkapan. Saat ini pemerintah belum menetapkan aturan tentang mekanisme pembagian kuota. "Dengan tidak adanya keterlibatan nelayan tradisional dalam pembuatan kebijakan ini, tentu saja tidak berlebihan jika kuota dikhawatirkan hanya akan dikuasai oleh sekelompok kecil pengusaha," kata Felicia.
Tempo berupaya meminta konfirmasi ihwal persoalan ini kepada pelaksana tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, Agus Suherman. Namun, hingga laporan ini ditulis, pertanyaan Tempo tak berbalas.
Menjaga Keberlanjutan
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengklaim kebijakan penangkapan ikan terukur diterapkan untuk kemajuan sektor perikanan tangkap serta menjaga keberlanjutan ekologi. Ia berjanji pemberian kuota dalam perikanan terukur ini akan diutamakan untuk nelayan dan pelaku usaha perikanan dalam negeri.
Karena itu, Trenggono meminta para pelaku perikanan nasional siap dengan mekanisme anyar penangkapan ikan tersebut. "Perizinannya, kewajiban PNBP-nya, peralatannya seperti VMS (vessel monitoring system), saya harap dilengkapi semuanya," ujar dia pada pertengahan Oktober lalu.
Dengan berlakunya kebijakan itu, para pelaku usaha akan dipersilakan mengajukan jumlah kuota penangkapan selama setahun melalui sistem daring. Para pelaku usaha kemudian akan diminta membayar PNBP berdasarkan berat hasil tangkapannya.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan Ridwan Maulana mengatakan kuota penangkapan ikan akan dibedakan menjadi tiga jenis, yakni kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota non-komersial. Kuota industri berlaku di wilayah perairan yang jaraknya lebih dari 12 mil. Kuota nelayan lokal berlaku untuk wilayah di bawah 12 mil. Sementara itu, batas non-komersial akan diberikan untuk keperluan penelitian.
Ridwan berharap, dengan adanya kebijakan penangkapan ikan terukur, data perizinan yang dicatat di pelabuhan menjadi lebih kredibel sehingga dapat membantu perencanaan dan pengembangan perikanan yang lebih baik. "Melalui kuota ini, diharapkan tidak ada lagi unsur perkiraan dan lost control dalam penangkapan ikan."
Menanggapi temuan Ombudsman, juru bicara Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi menilai, lembaga tersebut kurang jeli. Menurut dia, sosialisasi kebijakan PIT telah dilangsungkan berulang kali di sejumlah daerah. Pertemuan dengan nelayan, tuturnya, dilakukan secara langsung maupun virtual. Dia juga menegaskan bahwa kebijakan PIT sudah benar, karena dengan aturan tersebut lingkungan laut terjaga dan negara mendapat penerimaan berupa PNBP. Sementara pelaku usaha hanya membayar PNBP berdasarkan hasil tangkapannya. Nelayan kecil juga bahagia karena tidak dipungut biaya dan boleh berlayar di atas 12 mil laut. "Potensi sumberdaya laut dan ikan kita akan dimanfaatkan secara benar serta jauh dari mudarat eksploitasi," ujarnya.Wahyu menambahkan, masalah yang dihadapi pemerintah adalah protes dari para pemilik kapal atau pelaku usaha yang selama ini berada di zona nyaman. Dia menuding banyak pemilik kapal yang menurunkan pelaporan hasil tangkapan dan bobot kapal agar mendapatkan solar bersubsidi. "Melalui kebijakan PIT ini, semua bolong-bolong tersebut sudah ditutup. Praktiknya akan akuntabel dan transparan. Negara yang selama ini dipunggungi akan diuntungkan dengan penerimaan PNBP."