Cegah Potensi Maladministrasi, Ombudsman RI Rilis Hasil Kajian Sistemik Kelapa Sawit
Siaran Pers
Nomor 046/HM.01/XI/2024
Senin, 18 November 2024
JAKARTA - Dalam rangka pencegahan maladministrasi, Ombudsman RI merilis Hasil Kajian Sistemik tentang Tata Kelola Industri Kelapa Sawit yang disampaikan kepada 12 intansi terkait. Ombudsman RI menemukan adanya potensi maladministrasi berupa ketidakpastian layanan, pengabaian kewajiban hukum, tidak memberikan layanan, penyimpangan hukum dan ketidakjelasan prosedur dalam tata kelola industri kelapa sawit. Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika dalam penyampaian hasil kajian sistemik di Gedung Ombudsman RI pada Senin (18/11/2024).
"Hasil kajian ini bermaksud untuk memberikan potret menyeluruh tentang persoalan yang masih ada dalam tata kelola sektor ini khususnya masalah layanan yang diselenggarakan negara. Kajian ini mengidentifikasi sejumlah potensi masalah yang bisa berujung pada maladministrasi," ucap Yeka.
Berdasarkan hasil penelaahan berbagai keterangan, data, informasi dan regulasi, Ombudsman RI menyimpulkan berbagai permasalahan kelapa sawit dibagi ke dalam empat aspek. Adapun aspek yang dimaksud antara lain aspek lahan, aspek perizinan, aspek tata niaga dan aspek kelembagaan.
Pada aspek lahan, Ombudsman RI menemukan adanya ketidakpastian layanan dalam tumpang tindih Hak Atas Tanah (HAT) lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan dan tidak adanya kepastian penyelesaian inventarisasi SK Datin terhadap lahan perkebunan sawit. Luasan lahan overlay tumpang tindih perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan seluas 3.222.350 hektar dengan subjek hukum kelapa sawit sejumlah 2.172 perusahaan dan 1.063 koperasi/kelompok tani perkebunan kelapa sawit.
“Ombudsman menemukan fakta di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah, bahwa banyak perkebunan kelapa sawit rakyat yang telah memiliki Hak Atas Tanah (HAT), namun masih dinyatakan masuk dalam kawasan hutan. Hal ini berdampak pada terhambatnya dalam memperoleh bantuan Pemerintah maupun program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR),” ujar Yeka.
Pada aspek perizinan, permasalahan utama tata kelola industri kelapa sawit adalah rendahnya capaian pendataan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), rendahnya capaian sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan adanya ketidakpastian layanan Persetujuan Teknis (Pertek) Pemanfaatan Air Limbah Pabrik Kelapa Sawit untuk aplikasi ke lahan disebut land application – Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LA-LCPKS).
Pasa aspek tata niaga, Ombudsman RI menemukan potensi maladministrasi berupa ketidakjelasan prosedur dan kepastian hukum dalam persaingan usaha Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan kebun dan PKS tanpa kebun, kebijakan biodesel dan pengaturan tarif ekspor Palm Oil Mill Effluent (POME). Yeka mengatakan bahwa masalah perizinan PKS disebabkan kurangnya koordinasi antar-kementerian dalam menentukan kewenangan dan standar perizinan PKS mengkibatkan tumpang tindih aturan.
Pada aspek kelembagaan, Ombudsman RI menilai bahwa tata kelola kelapa sawit diampu oleh banyak kementerian dengan kebijakan dan regulasi yang tidak terintegrasi sehingga menimbulkan pemasalahan implementasi di lapangan. Tidak terintegrasinya kebijakan ini berpotensi menimbulkan maladministrasi pengabaian kewajiban hukum dan tidak memberikan layanan karena adanya benturan regulasi.
Oleh karena itu, Ombudsman RI memberikan lima saran perbaikan kepada Pemerintah untuk menekankan pentingnya integrasi kebijakan lintas sektor guna mendukung pengembangan industri kelapa sawit yang berdaya saing dan berkontribusi terhadap ekonomi lanjutan.
“Pertama, pemerintah perlu segera menyelesaikan tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan. Dalam hal lahan perkebunan sawit rakyat telah memiliki kejelasan status HAT maka lahan tersebut dilepaskan dari kawasan hutan,” tegas Yeka.
Kedua, Yeka meminta agar Pemerintah perlu segera melakukan perbaikan sistem perizinan dan menata administrasi tata kelola industri kelapa sawit. Dalam hal ini Pemerintah perlu mendorong peningkatan kinerja dalam pencapaian pendataan STDB bagi pekebun rakyat dan pemenuhan sertifikasi ISPO bagi seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit.
“Pemerintah perlu segera melakukan perbaikan sistem perizinan pendirian Pabrik Kelapa Sawit dan perizinan pendukung lainnya. Pemerintah perlu mengintegrasikan izin pendirian Pabrik Kelapa Sawit untuk diampu oleh Kementerian di bidang Perindustrian dengan rekomendasi teknis dari kementerian yang membidangi perkebunan,” tambah Yeka
Keempat, Pemerintah perlu segera membuat kebijakan terintegrasi tata niaga hasil produksi perkebunan kelapa sawit baik di pasar nasional maupun pasar internasional. Dalam hal ini Pemerintah perlu menjamin kepastian harga TBS di tingkat petani (plasma dan swadaya) dengan konsekuensi penerapan sanksi jika tidak dipatuhi. Selain itu Pemerintah perlu membangun sistem pungutan yang berkeadilan pada ekspor hasil
produksi kelapa sawit dan turunannya.
Terakhir, Ombudsman RI memberikan saran agar Pemerintah perlu segera membentuk Badan Nasional yang mengurusi tatakelola hulu-hilir industri kelapa sawit yang berada langsung di bawah Presiden RI.
Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah terkait biodiesel, pemerintah perlu menyusun skema pembiayaan yang lebih adil dengan menetapkan alokasi yang berimbang dalam pengelolaan dana BPDP agar cukup membiayai program biodiesel bersamaan dengan program pemberdayaan petani diantaranya PSR, sehingga dapat tercipta perkebunan sawit berkelanjutan dan memperkuat keberlanjutan pembangunan sektor energi terbarukan di Indonesia.
“Semua saran perbaikan ini hanya akan berhasil jika ada komitmen yang kuat dari semua pihak. Pemerintah harus mengambil langkah tegas dalam memperbaiki sistem yang ada dan menjamin keberlanjutan perbaikan tata kelola industri kelapa sawit. Dunia usaha juga harus menunjukkan kesediaan untuk beradaptasi dengan peraturan yang ada, mengutamakan praktik bisnis yang berkelanjutan dan tidak hanya mengejar keuntungan semata,” tutup Yeka.
Turut hadir menerima Kajian Sistemik Tata Kelola Layanan Industri Kelapa Sawit diantaranya, Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendro Priyono, Wakil Menteri ATR/BPN Petahanan Ossy Dermawan, Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman, Ketua Umum GAPKI Eddy Martono, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi, Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika, Plh. Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Drs. Amran, M.T, Inspektur Utama Kementerian PPN/Bappenas Trisacti Wahyuni, Asisten Deputi Cadangan Pangan dan Bantuan Pangaan Kemenko Bidang Pangaan Sugeng Harmono, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan Moch Edy Yusuf, Plt. Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Heru Tri Widarto, Kepala Biro Hukum Kementerian Kehutanan Supardi, Secretary General CPOPC Dr. Rizal Affandi Lukman, Sekjen DPP Apkasindo Dr. Rino Afrino, dan Wakil Ketua Umum APROBI Catra de Thouars. (*)
Anggota Ombudsman RI,
Yeka Hendra Fatika