• ,
  • - +
BPJS Kesehatan Defisit, Ombudsman: Harusnya Negara Tanggung Jawab, Bukan Dibebankan ke Peserta
Kliping Berita • Rabu, 04/09/2019 •
 
istimewa

WARTA KOTA, PALMERAH--- Iuran BPJS Kesehatan naik mulai tahun 2020.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga dua kali lipat ini dipertanyakan dan ditolak mulai dari pengusaha, masyarakat umum, buruh, hingga anggota DPR.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, jika kenaikan iuran tidak dilakukan, maka tahun ini BPJS Kesehatan bisa defisit hingga Rp 32,8 triliun.

Bahkan, di tahun 2024 defisit BPJS Kesehatan bisa mencapai Rp 77,9 triliun.

Anggota Ombudsman RI, Dadan Suparjo Suharmawijaya, mengatakan, BPJS Kesehatan merupakan komitmen negara yang dibentuk untuk memberi manfaat optimal kepada masyarakat.

Sehingga, ketika defisit terjadi, seharusnya negara juga bertanggung jawab atas hal tersebut, tidak serta merat dibebankan kepada peserta.

"Kami melihat BPJS ini kan sebetulnya bukan asuransi murni, karena ada dana yang tidak dihimpun dari peserta, karena dia Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN), perpaduan asuransi dan SJSN, ketika ada defisit, negara yang harus nanggung," kata Dadan seperti dikutip Kompas.com, Selasa (3/9/2019) malam.

Salah kelola

Dadan mengatakan, membengkaknya defisit BPJS Kesehatan mencerminkan adanya kesalahan pengelolaan keuangan lembaga tersebut sedari awal.

Menurut Dadan, BPJS Kesehatan sedari awal sudah dibentuk memberi manfaat optimal kepada pesertanya, termasuk dalam penanganan penyakit katastropik.

Padahal kala itu BPJS Kesehatan belum diketahui kekuatan keuangannya.

Ditambah lagi, pertumbuhan kepersetaan tidak berdampak pada akumulasi jumlah iuran yang terkumpul.

"Menurut saya pangkal masalah justru di situ. Karena BPJS belum diketahui kekuatan keuangannya segala macem, seiring berjalannya waktu ternyata jumlah dana yang terhimpun ini tidak seperti yang diharapkan. Pertumbuhan iuran tidak seiring dengan kepersetaan BPJS Kesehatan, itu yang langsung jadi beban," ujar dia.

Saat ini jumlah peserta BPJS Kesehatan saat ini mencapai 223,3 juta jiwa.

Sebanyak 82,9 juta di antaranya merupakan peserta non penerima bantuan iuran (PBI).

Peserta non PBI terdiri dari Peserta Penerima Upah (PPU) Pemerintah 17,5 juta jiwa, PPU Badan Usaha 34,1 juta jiwa, Perserta Bukan Penerima Upah (PBPU) 32,5 juta jiwa dan Bukan Pekerja (BP) 5,1 juta jiwa.

Peserta non PBI yang terbanyak yakni PPU Badan Usaha alias karyawan.

Adapun besaran kenaikan iuran berdasarkan usulan Kementerian Keuangan tersebut sebagai berikut:

Iuran peserta penerima upah - Badan Usaha : 5 persen dengan batas atas upah Rp 12 juta (sebelumnya Rp 8 juta)

Iuran peserta penerima upah - Pemerintah : 5 persen dari take home pay (sebelumnya lima persen dari gaji pokok + tunjangan keluarga)

Iuran peserta bukan penerima upah :

a. Kelas 1 : Rp 160.000 (sebelumnya Rp 80.000)

b. Kelas 2 : Rp 110.000 (sebelumnya Rp 51.000)

c. Kelas 3 : tetap Rp 25.500





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...