Banyak Petugas KPPS Meninggal, Ombudsman Duga Ada Maladministrasi
Jakarta - Ombudsman menilai KPU mengabaikan keselamatan
kerja petugas KPPS dan menilai terlalu fokus dengan pemungutan dan
penghitungan suara. Ombudsman menilai antisipasi terhadap kesehatan petugas
kurang dipersiapkan.
"Ada masalah bahwa pemilu yang dilaksanakan
singkat cuma sehari, kompleks tekanan tinggi, kami melihat tidak cukup atau
minimal adanya ketentuan untuk cegah terjadi kelelahan atau kematian
tersebut," ucap anggota Ombudsman, Adrianus Meliala, kepada wartawan di
kantor Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (20/5/2019).
"Kalau dilihat dari kegiatan KPU, mereka
fokus teknis aja, bukan ke si petugasnya, seakan-akan karena pemilu lalu biasa
maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semangat biasa," tambahnya.
Ombudsman mencatat sudah ada 608 orang yang
terdiri dari 486 petugas KPPS, 97 Bawaslu, 25 dari Polri yang meninggal dalam
Pemilu 2019. Ombudsman lalu asesmen dengan mewawancarai KPU, KPUD, Bawaslu,
Kemenkes, IDI, hingga keluarga petugas KPPS yang meninggal.
Catatan lainnya, Ombudsman menilai metode
sukarela juga menjadikan masalah. Selain itu, Ombudsman menilai KPU, Bawaslu,
dan Kemenkes lambat merespons saat awal-awal petugas KPPS meninggal.
Adrianus juga menyoroti soal honor yang diterima
para sukarelawan. Menurutnya, semestinya para petugas yang kerja paling berat
dengan risiko kerja besar mesti mendapatkan gaji yang sesuai dengan beban
tersebut.
"Honor layak jamiman sosial dan apresiasi
dalam pelayanan tugas. Sukarela tidak usah dipertahankan, kalau harus
dipertahankan, pemerintah nggak sanggup menggaji maka minimal harus memberi
tahu sejelas-jelasnya mengenai rezeki yang diterima. Ketika sudah diputuskan
iya ini demi Merah Putih baru ini fair," ucap dia.
"Kami simpulkan indikasi maladministeai
terjadi," imbuhnya.
Adrianus juga mengungkap KPU kurang memberi info terkait risiko bekerja
sebagai petugas penyelenggara pemilu. Sehingga menurutnya para petugas ini
tidak tahu risiko kematian yang mungkin bisa terjadi kepada mereka.
Menanggapi masalah tersebut, Adrianus menilai
pemerintah harus segera meminta maaf pada masyarakat. Hal itu, sebutnya karena
kurangnya perhatian pemerintah pada risiko keselamatan penyelenggara pemilu.
"Baik bagi negara meminta maaf kepada
korban, karena tadi maladministrasi dilakukan, strategi memberi ruang sukarela
terlalu besar tapi tidak diiringi penjelasan sebesar-besarnya mengenai akibat
hal itu, maka negara harusnya minta maaf," ucapnya.
Kemudian Kemenkes juga diminta untuk lebih
proaktif melakukan screeningkesehatan. Adrianus menilai ini juga
tanggung jawab Kemenkes.
"Lakukan screening kesehatan, dan sediakan
semacam P3K, walau hajatan KPU tapi Kemenkes tidak boleh lepas tanggung jawab, harusnya
proaktif juga dong," tambahnya.
Selain itu, pemerintah juga harus segera
merevisi Undang Undang nomor 7 tahun 2017 yang terlalu merinci batas waktu
sehingga tidak memberatkan penyelenggara pemilu. Selain itu penerapan digital
pemilu juga diharapkan bisa terlaksana.
"Penyelenggaraan pemilu modern, khususnya
digital, e-election, terlalu besar lah mudarat pemilu seperti sekarang ini,
kalau bisa kita naik ke pemilu digital sehingga pengerahan SDM terkurangi, dan
masalah-masalah dapat ditiadakan," tutupnya.