Ombudsman Temukan 3 Maladministrasi Proses Pengangkatan Pj Kepala Daerah
Jakarta - Ombudsman RI menemukan ada 3 poin maladministrasi terkait proses pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah. Ombudsman meminta Mendagri Tito Karnavian selaku terlapor di laporan tersebut menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman terkait proses pengangkatan Pj kepala daerah.
"Maladministrasi pertama, penundaan berlarut dalam memberikan tanggapan atas permohonan informasi dan keberatan," kata anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, dalam konferensi pers 'Dugaan Maladministrasi Proses Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah' yang disiarkan secara virtual, Selasa (19/7/2022).
"Penundaan berlarut karena memang hingga hari ini belum adanya tanggapan yang memadai terhadap permintaan informasi dan surat keberatan dari lembaga yang melapor," lanjut Robert.
Diketahui, Mendagri Tito Karnavian dilaporkan dengan dugaan maladministrasi terkait dengan penentuan Pj kepala daerah oleh kelompok masyarakat yang tergabung dalam KontraS, ICW, dan Perludem. Para pelapor menilai proses penunjukan Pj kepala daerah itu jauh dari partisipasi publik, transparansi, sehingga pelapor meminta pemerintah memberikan penjelasan dengan menyurati Mendagri untuk membuka dokumen pengangkatan Pj. Namun Ombudsman menilai hingga kini tidak ada penjelasan terkait hal itu dari Kemendagri.
Maladministrasi kedua, penyimpangan prosedur dalam pengangkatan penjabat kepala daerah. Misalnya, pengangkatan yang berasal dari unsur TNI aktif. Ombudsman menilai pada prinsipnya anggota aktif TNI hanya dapat menduduki jabatan di 10 bidang atau instansi. Sementara pengangkatan pada jabatan di luar itu, termasuk dalam jabatan sebagai penjabat kepala daerah, perlu merujuk aturan lengkap esensi UU TNI dan UU ASN tentang status kedinasan.
Maladministrasi ketiga, maladministrasi dalam pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai momentum untuk penataan regulasi turunan. Diketahui, putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021 berimplikasi kepada keterikatan pemerintah akan sejumlah poin, antara lain namun tak terbatas pada pengisian kekosongan jabatan kepala daerah masih dalam ruang lingkup pemaknaan secara demokratis; penerbitan Peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU No 10 Tahun 2016; pengunduran diri dari dinas aktif, berstatus pejabat pimpinan tinggi bagi Polri dan TNI; pemberian kewenangan Penjabat yang sama dengan Kepala Daerah definitif; pemenuhan kualifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi seseorang yang diangkat sebagai Pj Kepda.
"Mengabaikan kewajiban hukum terhadap putusan mahkamah konstitusi. Tadi disampaikan putusan MK itu harus satu kesatuan integral itu berarti kita tahu bentuk produk hukum ada 3 satu peraturan, keputusan, putusan lembaga yang punya kewenangan. Ada pengabaian kewajiban hukum terhadap melaksanakan putusan tersebut," imbuhnya.
Selain itu, Robert mengatakan, dalam proses penunjukan Pj kepala daerah, publik tidak mengetahui tahapan atau mekanisme pengisian penjabat kepala daerah. Menurutnya, publik juga memiliki hak untuk mengetahui tahapan-tahapan pengisian Pj kepala daerah. Ombudsman menilai pengisian Pj kepala daerah bukanlah pengisian jabatan biasa.
"Pengisian jabatan kepala daerah bukanlah pengisian jabatan biasa. Kami melihat ada kesan seperti itu. Seolah-olah pengisian Pj kepala daerah seperti proses pengangkatan penjabat administrasi biasa, birokrasi biasa. Yang ini juga serupa pengangkatannya dengan para Plt atau Pjs pada tahun-tahun sebelumnya, seolah-olah antara penjabat kepala daerah sama tata caranya dengan pengangkatan Plt atau Plh atau Pjs dan durasi waktu tentu sangat berbeda," kata Robert.
Selain itu, Ombudsman menilai ada potensi permasalahan setelah tahap pengangkatan Pj kepala daerah. Misalnya, belum jelasnya lingkup dan batasan kewenangan.
"Apakah kewenangannya itu adalah mutatis mutandis dengan apa yang menjadi kewewenangan Kepala daerah definitif yang diatur di UU No. 23 Tahun 2014 ataukah dia mengacu kepada UU dan peraturan yang lain dimana ada batasan-batasan. Misalnya kepala daerah tidak boleh melakukan mutasi, kepala daerah tidak boleh mencabut kebijakan dari kepala daerah sebelumnya. Kepala daerah tidak boleh misalnya membuat kebijakan strategis," kata Robert.
Ombudsman menambahkan, informasi publik terkait pengangkatan Pj kepala daerah tanpa kejelasan standar layanan dan informasi terbuka atas perkembangan tindak lanjut (proses pelayanan). Publik tidak didengarkan keberatannya (right to be heard), publik patut dipertimbangkan isi keberatan (right to be considered) dan diberi penjelasan atas respons terhadap keberatan tersebut (right to be explained).
Oleh karena itu, Ombdusman meminta Mendagri melakukan sejumlah tindakan korektif, yaitu pertama, menindaklanjuti atau menjawab surat pengaduan dan substansi keberatan dari pihak pelapor.
Kedua, memperbaiki proses pengangkatan penjabat kepala daerah dari unsur prajurit TNI aktif. Ombudsman berpendapat yang terjadi pada sebelumnya harus diperbaiki.
Sedangkan penunjukan Pj kepala daerah selanjutnya, Ombudsman meminta agar PJ kepala daerah tidak diisi oleh prajurit aktif. Jika harus dari unsur TNI aktif, ia harus segera dinonaktifkan.
"Poinnya yang terjadi kemarin perlu dilihat, idealnya adalah mereka yang akan mengisi Pj kepala daerah, mereka yang sudah tidak merupakan prajurit aktif, tapi kalaupun harus diambil dari unsur prajurit aktif, pastikan tata caranya, publik harus tahu, dan status yang bersangkutan harus juga harus segera dinonaktifkan," ujarnya.
Rekomendasi ketiga, Mendagri diminta menyiapkan naskah usulan pembentukan PP (Peraturan Pemerintah) terkait proses pengangkatan, lingkup kewenangan, evaluasi kinerja, hingga pemberhentian penjabat kepala daerah. Robert meminta agar putusan MK dijadikan momentum pemerintah menata regulasi, salah satunya dalam peraturan pemerintah (PP).
"Kenapa PP karena yang kita lihat, muatan materi atau norma dari peraturan pemerintah itu akan sangat lengkap tidak semata soal tata cara, kalau kita lihat Kemendagri memang hanya sebatas tata cara, padahal yang masih banyak lingkup jenis kewenangannya apa, juga evaluasi kinerja dan pemberhentian jika seorang itu akan diberhentikan setahun atau 2 tahun," katanya.
Lebih lanjut, Kemendagri diminta menindaklanjuti tindakan korektif Ombudsman dalam waktu sebulan.
"Sebagai dokumen yang sifat otoritatif, resmi, maka mungkin perhatian penuh terhadap tiga bentuk maladministratif dan tiga bentuk tindakan korektif yang kami mintakan dalam waktu 30 hari meminta pihak Kemendagri untuk menindaklanjuti tindakan korektif Ombudsman," tuturnya.