• ,
  • - +

Artikel

Zonasi Setengah Hati
• Kamis, 30/06/2022 •
 

Sistem zonasi pertama kali diterapkan tahun 2017. Alasnya saat itu adalah Permendikbud 17/2017 tentang PPDB SD/SMP/SMA sederajat.

Kebijakan tersebut, mengubah secara mendasar kategori/persyaratan penerimaan calon peserta didik di sekolah negeri. Dari nilai UN ke jarak rumah dan sekolah. Mencontoh kesuksesan sistem PPDB negara-negara maju di Eropa atau Skandinavia.

Menurut Muhajjir Efendi, Menteri Pendidikan saat itu, melalui sistem zonasi pemerintah ingin melakukan reformasi sekolah secara menyeluruh. Tujuannya adalah percepatan pemerataan akses dan kualitas layanan pendidikan.

Muhajjir Efendi juga menyebut, kebijakan zonasi adalah respons atas terjadinya "kasta" dalam sistem pendidikan di Indonesia. Menurutnya, tidak boleh lagi ada favoritisme dalam dunia pendidikan. Tidak boleh lagi ada sekolah yang diaggap unggul dan non-unggul.

Semua sekolah mestilah unggulan. Ketimpangan-ketimpangan semacam ini mesti dihentikan. Itu kira-kira inti landasan berpikir sistem zonasi. Ombudsman sendiri secara nasional sangat mendukung kebijakan itu.

Selaku insan pengawas di Ombudsman, saya sungguh menikmati proses ini. Melihat dari dekat dinamika yang terjadi. Sekolah di pinggir kota mulai bergeliat, secara ekonomi dan akademik input siswa menjadi lebih beragam. Jumlah siswa juga meningkat dan dana/anggaran juga bertambah.

Mulai ada pandangan bahwa untuk sukses bisa sekolah di dekat rumah saja. Untuk diterima di perguruan tinggi ternama, tidak lagi dimonopoli oleh sekolah tertentu saja. Sekolah dan siswa berprestasi justru akan muncul dari pinggir kota, di kecamatan-kecamatan.

Bagaimana mungkin sekolah dianggap unggul, hanya karena di sekolah tersebut pemerintah menempatkan kepala sekolah dan guru-guru yang unggul, menerima siswa yang unggul saja, lalu difasilitasi gedung, sarana dan prasarana yang unggul pula.

Kesan diskriminatif inilah yang tadinya ingin dihapuskan. Bagaimana dengan ratusan sekolah negeri lainnya? Sayangnya, pemerintah tidak konsisten. Setengah hati dengan sistem zonasi.

Periode tahun 2017, kuota zonasi telah dipatok diangka 90%. Namun, kemudian kuota zonasi terus dikurangi. Tahun 2018 kuota zonasi menjadi 80%. Tahun 2019 hingga sekarang, kuota zonasi hanya tinggal 50% saja.

Sementara, kuota prestasi terus ditingkatkan dari 5% tahun 2017, menjadi 15% tahun 2018. Tahun 2019 hingga sekarang kuota prestasi dipatok maksimal 30%, dengan dua kategori, akademik dan nonakademik.

Pengurangan kuota zonasi dan meningkatkan kuota prestasi, hemat penulis menyimpangi tujuan awal sistem zonasi. Bukan tidak mungkin, kuota zonasi akan terus dikurangi dan prestasi terus ditambah. Kita akan kembali pada ketimpangan akses dan kualitas pendidikan yang terlanjur akut di masa lalu.

Jebakan Moral Favoritisme Pendidikan

Favoritisme pendidikan mulai ditinggalkan, pertama kali ditandai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2013, yang pada intinya menghapus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang dikelola secara eksklusif oleh pemerintah.

MK memutuskan RSBI bertentangan dengan UUD 1945 dan merupakan bentuk liberalisasi pendidikan. Sekolah RSBI berbiaya mahal dan dianggap tidak adil bagi mereka yang tidak mampu.

Melalui kebijakan zonasi, pemerintah ingin menegasikan penghapusan favoritisme pendidikan itu. Akan tetapi, alih-alih ingin menerapkan sistem zonasi, malah sebaliknya pemerintah kembali pelan-pelan menerapkan prestasi sebagai standar atau jalur penerimaan siswa.

Inilah kemudian menjadi celah, favoritisme dan jalur prestasi menjadi jebakan moral tersendiri bagi orang tua dan penyelenggara pendidikan. Kendati pendidikan tadinya tujuannya mulia, menjunjung nilai kejujuran dan integritas.

Namun, untuk masuk jalur favorit dan prestasi, ada saja pihak yang menabrak nilai luhur tersebut. Tahun 2020, modus yang digunakan adalah pemalsuan Kartu Keluarga (KK) atau Surat Keterangan Domisili (SKD).

SKD dipalsukan dan dibuat dekat dengan sekolah yang dianggap favorit. Berdasarkan pemeriksaan laporan masyarakat oleh Ombudsman, puluhan SKD palsu diberbagai SMAN favorit berhasil ditemukan dan kelulusan siswa tersebut dibatalkan.

Tahun 2021, pemerintah telah mencoba menutup celah pemalsuan KK dan SKD tersebut. Sesuai dengan Pasal 17 Permendikbud 1/2021 tentang PPDB, SKD tidak berlaku lagi. Domisili calon peserta didasarkan kepada alamat pada KK, yang terbit paling singkat 1 tahun sebelum tanggal pendaftaran PPDB.

Dikira jebakan moral ini selesai. Ternyata tidak, malah makin parah. Jika tahun 2020 pemalsuan dokumen persyaratan PPDB dilakukan orang tua. Tahun ini, pemalsuan persyaratan justru dilakukan oleh guru/wali kelas di SMP yang selama ini dianggap favorit, SMPN 1 Padang.

Modusnya adalah penggelembungan nilai siswa, agar lulusannya diterima di SMAN yang dianggap favorit. Seperti diberitakan Padang Ekspres kemarin (28/6). Ombudsman sendiri dengan cepat telah merespons keluhan masyarakat tersebut.

Dinas Pendidikan Sumbar telah membatalkan kelulusan siswa yang nilainya digelembungkan, pendaftarannya dianggap tidak valid. Selanjutnya, Dinas Pendidikan Kota Padang, melalui kepala SMPN 1 Padang telah memberikan sanksi berupa teguran tertulis pada semua wali kelas yang diduga me-mark up nilai siswa.

Kendati, menurut saya sanksinya sangat ringan. Mestinya wali kelas tersebut disanksi dengan kategori sedang/berat, karena telah melanggar kewajiban untuk senantiasa menunjukkan integritas dan keteladanan dalam bersikap dan bertindak.

Pelanggaran tersebut juga telah berdampak negatif pada instansi pendidikan. Hukumannya adalah, pemotongan tunjangan sebesar 25% hingga 12 bulan atau penurunan jabatan setingkat lebih rendah dan pembebasan dari jabatan.

Sesuai dengan Pasal 10 dan 11 Peraturan Pemerintah 94/2021 tentang Disiplin PNS. Hukuman yang tegas, akan mengangkat kembali moral pendidikan kita yang telah dicoreng. (*)


Oleh Adel Wahidi, Asisten Ombudsman Sumbar





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...