Zona Integritas dan Pelayanan Publik Prima
Saat ini banyak penyelenggara pelayanan publik yang telah melakukan pembangunan Zona Integritas (ZI). Penyelenggara pelayanan yang membangun ZI meneguhkan bahwa instansi tersebut telah berkomitmen untuk memberikan pelayanan publik yang prima. Meskipun di sekitarnya masih didominasi penyelenggara pelayanan yang berkinerja buruk. Gratifikasi, pungli, korupsi sejatinya tidak ada lagi, apabila ZI benar-benar dibangun dengan keterlibatan seluruh komponen.
Penyeleggara yang telah membangun ZI tidak terpengaruh imun terhadap perilaku negatif dalam pelayanan. Justru sebaliknya, dengan pembangunan ZI maka penyelenggara pelayanan publik tadi menjadi role model yang dapat memberi pengaruh baik kepada instansi lainnya. Sehingga ke depannya dapat menghasilkan penyelenggara pelayanan yang membangun ZI lebih banyak.
Zona Integritas adalah instansi pemerintah yang pimpinan dan jajarannya telah berkomitmen untuk mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi/Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani melalui reformasi birokrasi, khususnya dalam hal mewujudkan pemerintahan yang bersih dan akuntabel serta pelayanan publik yang prima.
Ada enam area perubahan pada Zona Integritas, meliputi penerapan manajemen perubahan, penataan tata laksana, penataan manajemen SDM, penguatan pengawasan, penguatan akuntabilitas kinerja, dan peningkatan kualitas pelayanan publik yang bersifat konkret.
Dalam tulisan ini hanya mengangkat dua aspek bagaimana memenuhi area penguatan pengawasan dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Karena dua aspek tersebut erat kaitannya dengan tugas Ombudsman RI. Aspek pemenuhan area perubahan lainnya lebih rinci diatur dalam Permenpan RB Nomor 90 Tahun 2021 tentang Pembangunan dan Evaluasi Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di Instansi Pemerintah.
Pertama, penguatan pengawasan. Tujuannya untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN pada masing-masing instansi pemerintah. Penyelenggara pelayanan publik perlu melakukan langkah-langkah antara lain melakukan pengendalian gratifikasi, menerapkan Whistle Blowing System (WBS), melakukan identifikasi penanganan benturan kepentingan, penanganan pengaduan masyarakat.
Dalam melakukan pengendalian gratifikasi, penyelenggara pelayanan publik harus membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG). Jika ada pemberian gratifikasi dari masyarakat terkait pelayanan yang telah diberikan, maka pegawai tersebut harus melaporkan gratifikasi tersebut ke UPG internal atau melalui kanal pelaporan gratifikasi milik Komisi Pemberantasan Korupsi. Kampanye publik anti korupsi/gratifikasi juga harus dilakukan secara terus menerus. Misalnya, melalui media sosial, banner anti gratifikasi, atau website.
Whistle Blowing System (WBS), adalah sebuah sarana yang memungkin seseorang melaporkan dugaan tindakan korupsi/gratifikasi, dengan merahasiakan identitas pelapornya. Karena bisa jadi ada ketakutan dari pegawai untuk melaporkan rekan kerjanya yang melakukan tindakan melawan hukum, misalnya korupsi. Oleh karena itu, WBS ini perlu dibangun. Termasuk juga untuk memudahkan masyarakat untuk melapor, namun identitasnya minta dirahasiakan. Fokus penangan laporan pada substansi yang dilaporkan, bukan pada si pelapornya. WBS juga harus disosialisasikan secara masif kepada seluruh pegawai, melalui media sosial dan sebagainya.
Untuk meminimalisir benturan kepentingan, perlu dibuat mekanisme penanganannya. Benturan kepentingan adalah situasi dimana penyelenggara pelayanan publik yang memiliki kekuasaan dan kewenangan memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya untuk menguntungkan pribadi, keluarga, atau golongannya, bertindak tidak objektif, sehingga dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang diambilnya, mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan identifikasi penanganan benturan kepentingan, mulai dari pimpinan sampai level paling bawah. Selain itu, bisa juga dengan membetuk Tim Penanganan Benturan kepentingan dan pedoman penanganannya.
Kedua, peningkatan kualitas pelayanan publik. Pemenuhan aspek pada area perubahan ini, antara lain pemenuhan budaya pelayanan prima, standar pelayanan, penilaian terhadap kepuasan pelayanan, dan pengelolaan pengaduan. Peningkatan kualitas pelayanan publik tujuannya untuk meningkatkan kualitas dan inovasi pelayanan publik secara berkala sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat. Dengan adanya peningkatan kualitas pelayanan, maka harapannya terbangun kepercayaan dari masyarakat terhadap penyelenggara pelayanan publik dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan menjadikan keluhan masyarakat sebagai sarana untuk melakukan perbaikan pelayanan publik.
Budaya pelayanan prima dapat diterapkan dengan cara memberikan kemudahan akses layanan dengan melakukan berbagai inovasi untuk memperpendek waktu layanan, mempermudah persyaratan serta kemudahan akses layanan. Misalnya, layanan jemput bola, layanan online, layanan satu hari selesai. Adanya kompensasi yang diberikan kepada penerima layanan, apabila layanan tidak sesuai standar yang telah ditetapkan. Termasuk layanan yang terintegrasi, misalnya PTSP, Mal Pelayanan Publik atau Pelayanan Terpadu Kecamatan.
Untuk kepastian dan kejelasan pelayanan, maka perlu disusun standar pelayanan. Standar pelayanan harus dipublikasikan secara luas kepada masyarakat, melalui berbagai media yang mudah diakses. Setidaknya ada 14 komponen standar pelayanan yang wajib disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Untuk menilai kualitas dan kinerja pelayanan, maka dilakukan Survei Kepuasan Masyarakat (SKM). Dalam satu tahun minimal dua kali dilakukan survei dan berkelanjutan. Tekniknya bisa berupa pengisian kuesioner elektronik atau manual, wawancara mendalam, maupun Diskusi Kelompok Terarah. Pedoman survei mengacu pada Permenpan RB Nomor 14 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan Survei Kepuasan Masyarakat Unit Penyelenggara Pelayanan Publik. Hasil survei dipublikasikan secara luas kepada masyarakat. Hasil SKM wajib dilakukan evaluasi dan tindak lanjut hasil survei.
Dalam konteks pengelolaan pengaduan, maka penyelenggara pelayanan publik harus menunjuk petugas pengelola pengaduan yang dilengkapi dengan Surat Keputusan. Untuk meningkatkan kompetensi petugas pengelola pengaduan, maka penting untuk diberikan pelatihan secara berkala.
Selain itu, menyediakan sarana prasarana penyampaian pengaduan, baik berupaoffline atau online, antara lain ruang pengaduan, media pengaduan seperti telepon, WhatsApp, email, website maupun pengaduan melalui media sosial. Sarana penyampaian aspirasi dan pengaduan juga sudah harus terintegrasi dengan SP4N LAPOR. Penyelenggara harus mempublikasikan sarana pengaduan tadi serta mekanisme penanganan pengaduan, jangka waktu, maupun biaya (gratis).
Setiap pengaduan yang masuk, ditindaklanjuti. Kecepatan dalam merespons pengaduan akan menumbukan kepercayaan dari masyarakat. Hal yang tidak kalah penting adalah melakukan monitoring dan evaluasi atas laporan yang masuk, untuk melakukan perbaikan atas pelayanan yang dikeluhkan. Rekapitulasi jumlah pengaduan yang masuk dipublikasikan secara berkala, sebagai bentuk transparansi kepada masyarakat. Mulai dari jumlah aduan, substansi yang dikeluhkan, tindak lanjut yang telah dilakukan, hingga status laporannya.
Terakhir mengenai tindakan korektif dalam Laporan Hasil Analisis Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan serta Rekomendasi Ombudsman yang diberikan kepada penyelenggara pelayanan. Tindakan korektif atau Rekomendasi Ombudsman, harus ditindaklanjuti oleh penyelenggara. Jika tidak dijalankan, maka akan mempengaruhi pengusulan WBK/WBBM yang diajukan oleh unit kerja yang mengusulkan tadi.
Beberapa aspek pemenuhan tadi, dapat diterapkan oleh penyenggara pelayanan untuk membangun Zona Integritas. Sekali lagi, membangun Zona Integiritas perlu keterlibatan seluruh komponen dan sungguh-sungguh menghilangkan korupsi, pungli maupun gratifikasi. Jangan sampai, membangun Zona Integritas hanya seremonial belaka. Jika demikian, maka pelayanan prima tidak akan terwujud. Karena integritas itu adalah kesesuaian antara pikiran, perkataan dan tingkah laku dalam memberikan pelayanan.
Sopian Hadi, S.H., M.H
Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan