Waspada Pungli Pendidikan
Masa Pandemi Covid 19 ini ternyata tak lantas mengurangi problem pungli di sejumlah institusi penyelenggara pelayanan publik salah satunya di bidang pendidikan.
Sejumlah orang tua/wali murid yang mewakili komite dari salah satu sekolah menengah di Kota Banjarmasin Kota Banjarbaru dan Kabupaten Banjar mendatangi Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan. Mereka bermaksud menanyakan sejumlah kebijakan yang baru saja diambil, berkaitan dengan sumbangan yang rencananya akan ditarik kepada semua orang tua siswa, tak tanggung-tanggung jumlahnya pun jutaan rupiah dan diklaim sudah mendapat persetujuan semua pihak.
Akan tetapi, ketika Ombudsman membaca hasil kesepakatan dimaksud, ada yang terasa janggal, di mana dalam hasil kesepakatan sumbangan tersebut ditentukan jumlah/nilai sumbangannya, dibatasi waktu dan bermakna mengikat. Di sinilah Ombudsman melihat ada potensi maladministrasi yang akan terjadi apabila kesepakatan tersebut tetap diberlakukan tanpa mengacu kepada dasar hukum yang jelas serta prosedur yang tepat. Maka bisa jadi hal tersebut dikategorikan "Pungli berbaju sumbangan" atau perbuatan maladministrasi.
Padahal dalam Permendikbud No 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah pada pasal 1 ayat 4 dan 5 secara tegas dijelaskan, bahwa yang dimaksud pungutan adalah penarikan uang yang sifatnya wajib/mengikat dan jumlah serta waktunya ditentukan. Sedangkan sumbangan adalah pemberian berupa barang/uang/jasa secara sukarela dan tidak mengikat.
Sanksinya pun tegas disampaikan pada Pasal 12 bahwa Komite Sekolah, baik perseorangan maupun kolektif dilarang: a. menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di Sekolah; b. melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya; c. mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik secara langsung atau tidak langsung; d. mencederai integritas seleksi penerimaan peserta didik baru secara langsung atau tidak langsung; e. melaksanakan kegiatan lain yang mencederai integritas Sekolah secara langsung atau tidak langsung; f. mengambil atau menyiasati keuntungan ekonomi dari pelaksanaan kedudukan, tugas dan fungsi komite Sekolah; g. memanfaatkan aset Sekolah untuk kepentingan pribadi/kelompok; h. melakukan kegiatan politik praktis di Sekolah; dan/atau i. mengambil keputusan atau tindakan melebihi kedudukan, tugas, dan fungsi Komite Sekolah.
Memang tak salah apabila masyarakat/orang tua siswa atau peserta didik turut berpartisipasi dalam membangun pendidikan. Apalagi urusan pendidikan adalah urusan yang besar dan maha penting, bahkan negara (pemerintah) pun terkadang tidak bisa menanggung sepenuhnya beban yang berat ini.
Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 46 memberi ruang kepada seluruh komponen masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendanaan pembangunan pendidikan. Tapi, sekali lagi, tetap mengacu pada ketentuan hukum dan perundangan yang berlaku. Tak boleh disembarangtafsirkan.
Hasil investigasi atau pemeriksaan Ombudsman Kalsel selama 3 tahun terakhir terhadap laporan Pungutan di bidang pendidikan, sebagian besar terjadi pada proses penerimaan peserta didik baru atau pada saat kenaikan kelas/ jenjang sekolah dan mutasi/perpindahan siswa.
Modusnya pun beragam mulai dari mengakomodir kepentingan kepala sekolah semata atau segelintir orang tua yang terkategori mampu dan memaksa orang tua yang tidak mampu untuk "membayar" sejumlah pungutan yang sama .
Di antara temuan Ombudsman yakni : (1) Komite sekolah diisi oleh "pilihan" sekolah sehingga bisa disetir untuk kepentingan pribadi, (2) Kepala sekolah hanya bisa menyampaikan kebutuhan dan kekurangan sekolah saja, lalu meminta orang tua/wali siswa menanggungnya tanpa pernah melakukan analisis kebutuhan atau menyampaikan kepada pemerintah atau Dinas Pendidikan, (3) Terjadinya permainan gengsi antar oknum Kepala Sekolah untuk membuat sekolah "mentereng" dengan fasilitas tanpa peduli melakukan pungutan yang memberatkan (4) Ada sekolah yang memberikan target dana yang harus didapat tapi tak pernah menyampaikan transparansi penggunaan dana tersebut, (5) SDM yang lemah dalam administrasi pengelolaan keuangan sekolah termasuk dana BOS, dan lain-lain.
Tak hanya terjadi pada sekolah di bawah kementerian pendidikan dan kebudayaan, keluhan lainnya juga datang dari para orang tua yang menyekolahkan anaknya pada Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah Negeri. Mereka mengeluhkan kewajiban membeli LKS oleh pihak sekolah, padahal sekolah di masa pandemi ini diminta belajar di rumah. Hal ini lantas dianggap sangat memberatkan bagi orang tua siswa, ditambah dalam kondisi pandemi Covid-19 juga berakibat penghasilan orang tua yang tidak menentu.
Dalam hal ini penebusan buku LKS ini sebenarnya sudah diatur dalam pasal 181 peraturan pemerintah No 17 tahun 2010 Jo PP no 66 tahun 2010 mengenai Pengelolaan dan penyelenggaran pendidikan yang mana menyatakan pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan; dilarang memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan, dan dilarang melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan di atas menegaskan bahwa, pendidik, tenaga kependidikan dan komite sekolah di satuan pendidikan, baik perseorangan maupun kolektif dilarang melakukan kegiatan pengadaan atau menjual buku lembar kerja siswa (LKS) di setiap satuan pendidikan, perlengkapan pelajaran, bahan pelajaran serta pakaian seragam di tingkat pendidikan. Maka apabila terjadi pelanggaran terhadap kegiatan yang dilakukan pendidik tenaga kependidikan sebagaimana yang dimaksud dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan dengan perundang-undangan
Akhirnya praktik-praktik semacam di atas menjadikan ketidakseimbangan dan ketidakadilan, di mana masyarakat/orang tua siswa terlebih yang tidak mampu dihadapkan pada tekanan yang akhirnya terpaksa/rela dipungut demi sekolah anak-anak mereka. Padahal tujuan pendidikan bukan berbicara uang atau kebutuhan fisik semata, tetapi membangun akhlak/karakter, mental positif, adab, kejujuran dan taat aturan bukan sebaliknya.
Memaksa mereka yang tidak mampu untuk menyumbang, membeli LKS atau tindakan non prosedur lainnya adalah perbuatan yang tidak patut, bahkan bukan lagi namanya sumbangan tapi paksaan. Sedangkan paksaan atau pungutan dalam agama jelas haram.
Ombudsman berharap Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama tidak tinggal diam, tapi benar-benar menjadi Pembina sekaligus pengawas seluruh sekolah di bawah kewenangannya, kuat mengayomi, dan tegas memberi sanksi. Agar tidak terjadi lagi pungutan yang berjubah sumbangan atau lebih memilih petugas Saber Pungli beraksi? Semoga tidak. (MFH)