Utamakan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Indonesia adalah negara yang sangat kaya dan bangsa majemuk, terdiri atas sekitar 1.340 suku bangsa dan lebih dari 700 bahasa daerah. Bayangkan kalau setiap orang bicara dalam bahasanya masing-masing selama 5 menit saja, maka setidaknya menghabiskan waktu minimal 3.500 menit atau sekitar 58 jam atau lebih dari 2 hari! Artinya Bahasa Indonesia memiliki fungsi yang sangat penting sebagai Bahasa Negara. Tidak hanya menjadi pemersatu dan media komunikasi, tetapi juga jati diri dan kebanggaan bangsa. Di manapun berada, di dalam atau luar negeri, Bahasa Indonesia merupakan identitas nasional yang menunjukkan status kewarganegaraan seseorang sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).
Penggunaan Bahasa Indonesia harus terus mendapat penguatan, terutama di ruang publik. Penguatan dimaknai dalam bentuk pengutamaan Bahasa Indonesia agar menjadi tuan rumah di negerinya sendiri dan pengendalian bahasa asing agar tercipta tertib berbahasa. Sementara ruang publik merujuk kepada penggunaan bahasa oleh lembaga/instansi yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik. Perangkat hukumnya sudah ada, bahkan diatur dalam konstitusi. Pasal 36 Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membunyikan bahwa "Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia". Diperkuat lagi dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 di mana pada Pasal 30 ditetapkan bahwa "Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pelayanan administrasi publik di instansi pemerintahan".
Ombudsman mendukung penuh berbagai upaya atau inisiasi yang dilakukan dalam rangka pengutamaan Bahasa Indonesia dan penciptaan tertib berbahasa. Dalam suatu kegiatan yang diadakan Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) bertajuk 'Sinkronisasi Pengawasan dan Pengendalian Penggunaan Bahasa di Ruang Publik' pada 14 Oktober 2021, Penulis diundang bicara. Kesempatan tersebut Penulis manfaatkan untuk memaparkan peran Ombudsman dalam Pengawasan Penggunaan Bahasa Indonesia di Ruang Publik.
Ombudsman memiliki banyak perangkat pengawasan, salah satunya adalah Penilaian Kepatuhan. Setelah sempat vakum satu tahun akibat pandemi Covid-19, tahun 2021 ini Ombudsman secara nasional kembali melaksanakan penilaian dimaksud. Sasarannya meliputi 39 Kementerian dan Lembaga Negara serta 548 Pemerintah Daerah di 34 Provinsi. Di Kalsel sendiri, penilaian menyasar kantor pertanahan, kepolisian dan seluruh pemerintah daerah di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota. Ada 10 variabel yang dinilai, antara lain Standar Pelayanan Publik (SPP), Maklumat Pelayanan, Sarana dan Prasarana, Pelayanan Khusus, Pengelolaan Pengaduan serta Visi, Misi dan Motto Pelayanan.
Dalam pelaksanaan Penilaian Kepatuhan ini, Ombudsman banyak menemukan penggunaan Bahasa Indonesia yang belum baik dan benar. Baik terkait dengan fungsi dan substansi, artinya bisa dipahami dalam berkomunikasi dan sesuai dengan situasinya pada saat itu. Sedangkan benar menyangkut kaidah atau norma berbahasa, dilihat dari unsur diksi (pilihan kata), ejaan dan struktur. Ambil contoh, penggunaan bahasa asing 'COSTUMER SERVICE' pada sebuah papan nama di meja petugas pelayanan yang belum mengutamakan Bahasa Indonesia. Lebih tertib apabila memakai istilah 'PELAYANAN PELANGGAN' atau 'PELAYANAN NASABAH'. Juga, penulisan 'MAXIMAL' di sebuah loket prioritas yang semestinya 'MAKSIMAL', penulisan 'DISABLE' di satu puskesmas yang seharusnya 'DIFABEL' serta 'CONSULTATION' di meja pengaduan yang sebaiknya ditulis 'KONSULTASI'. Dalam kasus lainnya, ejaan pun seringkali bermasalah, misalnya 'APOTIK' dan 'STANDARD'. Atas temuan-temuan tersebut, Ombudsman meminta perbaikan bahasa dari para penyelenggara pelayanan publik dan komitmen mereka untuk mengutamakan Bahasa Indonesia di ruang publik, khususnya terhadap 10 variabel Penilaian Kepatuhan seperti SPP dan Maklumat Pelayanan. Ini mendesak karena penggunaan Bahasa Indonesia dalam SPP dan Maklumat Pelayanan ditegaskan pula dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia (RI) Nomor 63 Tahun 2019.
Hal lainnya yang patut menjadi perhatian adalah peningkatan komitmen dan dukungan dari Pemerintah Daerah (pemda) dalam pengutamaan Bahasa Indonesia melalui berbagai instrumen kebijakan, seperti regulasi, anggaran, program atau edukasi. Ini adalah kewajiban pemda sebagaimana Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 57 Tahun 2014 di mana pemda berperan dan memberikan dukungan dalam upaya-upaya pengembangan, pembinaan serta perlindungan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pemda di Kalsel baik di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota perlu menginisiasi Peraturan Gubernur, Bupati atau Walikota yang menetapkan pengutamaan Bahasa Indonesia dalam berkomunikasi maupun di ruang publik. Selain itu, adalah pengembangan budaya berbahasa Indonesia di dunia pendidikan pada seluruh tingkatan agar generasi muda atau kaum milenial bisa dan bangga berbahasa Indonesia, tidak lantas akrab dengan Bahasa Korea, Inggris atau lainnya.
Banyak yang masih harus dikerjakan. Sumpah Pemuda memberikan inspirasi dan mewariskan semangat untuk terus bersatu, termasuk dalam pengutamaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara, di samping tetap memberi ruang untuk melestarikan bahasa daerah dan menguasai bahasa asing.
Hadi Rahman, S.I.P., MPA (Mgmt)
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan