Urgensi Penilaian Penyelenggaraan Pelayanan Publik Tahun 2022
Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia  memberi mandat kepada Ombudsman RI untuk
berperan sebagai lembaga pengawas eksternal pelayanan publik, baik yang
dilakukan oleh pemerintah termasuk BUMN, BUMD dan BHMN serta Badan Swasta atau
Perorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang
seluruhnya atau sebagian dananya berasal dari APBN atau APBD. Berdasarkan
mandat, tugas, fungsi, dan wewenang Ombudsman RI bekerja terus-menerus
mendorong pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan
yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya, memperkuat dan membangun
transparansi dan akuntabiltas kinerja pemerintah, serta pengawasan terhadap
aksesibilitas dan kualitas pelayanan publik yang diberikan sebagai hak yang
harus dipenuhi kepada masyarakat. Dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan
tersebut setiap tahun Ombudsman Republik Indonesia melakukan penilaian dan
pemeriksaan tingkat kepatuhan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah
terhadap standar pelayanan publik.
Hal ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Â yang menempatkan langkah-langkah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mematuhi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Pubik dalam peningkatan kualitas pelayanan publik sebagai bagian dari proses penyempurnaan dan peningkatan kualitas Reformasi Birokrasi Nasional (RBN), yang salah satunya menempatkan kepatuhan terhadap standar pelayanan publik sebagai salah satu target capaian RPJMN tersebut.
Fokus pemeriksaan tersebut dipilih karena standar pelayanan publik merupakan ukuran baku yang wajib disediakan oleh penyelenggara pelayanan sebagai bentuk pemenuhan asas-asas transparansi dan akuntabilitas. Sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, terdapat sanksi mulai dari sanksi pembebasan dari jabatan sampai dengan sanksi pembebasan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri bagi pelaksana dan penyelenggara pelayanan publik yang tidak memenuhi kewajibannya menyediakan standar pelayanan publik yang layak.
Pengabaian terhadap standar pelayanan potensial mengakibatkan memburuknya kualitas pelayanan. Hal ini bisa diperhatikan dari indikator-indikator kasat mata, misalnya jika tidak terdapat maklumat pelayanan yang ditampilkan atau dipublikasikan, maka potensi ketidakpastian hukum dan maladministrasi terhadap pelayanan publik akan sangat besar. Jika tidak terdapat standar biaya yang dipublikasikan, maka potensi pungli, calo, dan suap menjadi lumrah di kantor tersebut.
Jika tidak terdapat standar dan prosedur pelayanan, maka potensi ketidakjelasan waktu pelayanan terjadi di unit pelayanan publik tersebut. Pengabaian terhadap standar pelayanan publik juga akan mendorong terjadinya potensi perilaku maladministrasi dan perilaku koruptif dalam jangka panjang. Pengabaian terhadap dua standar pelayanan publik potensial mengakibatkan menurunnya kredibilitas peranan pemerintah sebagai fasilitator, regulator, dan katalisator pembangunan pelayanan publik.
Penilaian terhadap pemenuhan standar pelayanan tersebut dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia dengan berpedoman pada kewenangannya yang secara tegas disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Dalam penelitian kepatuhan, Ombudsman RI memposisikan diri sebagai masyarakat pengguna layanan yang ingin mengetahui hak-haknya dalam pelayanan publik, seperti ada atau tidaknya persyaratan pelayanan, kepastian waktu dan biaya, prosedur dan alur pelayanan, sarana pengaduan, pelayanan yang ramah dan nyaman, dan lain-lain. Ombudsman RI tidak menilai bagaimana ketentuan terkait standar pelayanan itu disusun dan ditetapkan, sebagaimana telah dilakukan oleh lembaga lain.
Penilaian ini juga tidak untuk menilai efektivitas dan kualitas pelayanan, serta kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik, melainkan hanya memfokuskan pada atribut standar layanan yang wajib disediakan pada setiap unit pelayanan publik. Penilaian kepatuhan ini untuk mengingatkan kewajiban penyelenggara negara agar memberikan layanan terbaik kepada masyarakat berbasis evidence, bukti-bukti, dan metodologi yang kredibel (evidence based policy).
Selain penilaian kepatuhan, sejak tahun 2017 Ombudsman RI juga melakukan Penilaian Persepsi Maladministrasi (PPM). Sebelumnya, penilaian ini bernama Indeks Persepsi Maladministrasi atau disebut dengan Inperma. Berbeda dengan Penilaian Kepatuhan, yang melihat pada standar pelayanan, untuk survei PPM ini melihat persepsi masyarakat terhadap layanan yang telah diperoleh dari penyelenggara layanan.
Sebagai bentuk inovasi pengawasan pelayanan publik, pada tahun 2022 Ombudsman RI melakukan penyempurnaan penilaian penyelenggaraan pelayanan publik dari tahun sebelumnya. Penilaian dilakukan tidak hanya atas ketersediaan standar pelayanan dan penilaian persepsi maladministrasi saja, namun juga mengukur kompetensi penyelenggara layanan, sarana dan prasarana, pengelolaan pengaduan. Semua penilaian tersebut akan menjadi komponen dari penilaian penyelenggaraan.
Pelayanan Publik nantinya akan menghasilkan Opini Pengawasan Pelayanan Publik. Penyempurnaan penilaian ini diharapkan menjadi lebih komprehensif untuk menjawab keadaan penyelenggaraan pelayanan publik dimana banyak terjadi disrupsi. Penilaian penyelenggaraan pelayanan publilk pada tahun ini tidak dapat lagi mengacu kepada Peraturan Ombudsman Nomor 22 Tahun 2016 tentang Penilaian Kepatuhan Terhadap Standar Pelayanan Publik, dikarenakan peraturan tersebut di nilai sudah tidak memenuhi atau mengakomodir perubahan konsep penilaian. Sehingga dalam hal ini perlu dilakukan perubahan Peraturan Ombudsman yang mengatur konsep penilaian penyelenggaraan pelayanan publik yang bersesuaian.
Konsep Penilaian Penyelenggara Pelayanan Publik mencakup empat dimensi, yakni dimensi input terdiri dari variabel penilaian kompetensi pelaksana dan variabel pemenuhan sarana prasarana pelayanan, dimensi proses terdiri dari variabel standar pelayanan publik, dimensi output terdiri dari variabel penilaian persepsi maladministrasi, dan dimensi pengaduan terdiri dari variabel pengelolaan pengaduan.
Penilaian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dengan metode pengumpulan data wawancara kepada pejabat/petugas penyelenggara layanan, wawancara masyarakat, observasi ketampakan fisik dan bukti dokumen pendukung standar pelayanan.
Lokus penilaian penyelenggara pelayanan publik tahun 2022 dilakukan pada 40 kementerian dan lembaga negara serta pemerintah daerah terdiri 548 provinsi, kota dan kabupaten di 34 Provinsi. Penilaian dibatasi pada kementerian, lembaga dan pemerintah daerah (provinsi, kota dan kabupaten) yang menyelenggarakan produk administratif, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)/puskesmas pada kota dan kabupaten yang menyelenggarakan produk Jasa.
Penilaian kementerian/lembaga terdiri dari kementerian/lembaga non vertikal dan vertikal. Penilaian kementerian dan lembaga non vertikal dilakukan pada unit pelayanan yang berada di 40 lingkungan kantor pusat, sedangkan penilaian kementerian vertikal dilakukan khusus pada unit pelayanan kepolisian resort (Polres), dan kantor pertanahan di seluruh wilayah Indonesia.
Penilaian penyelenggaraan pelayanan publik pada masing-masing dinas/unit pelayanan dilakukan atas dua produk pelayanan yang paling banyak diakses pengguna layanan. Penilaian berdasarkan produk pelayanan berlaku untuk penilaian kepatuhan pada dimensi proses.
Penilaian
penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan dengan cara wawancara, observasi
ketampakan fisik (tangible)Â dan bukti dokumen pendukung untuk standar
pelayanan. Pada penilaian dimensi proses (penilaian kepatuhan) dilakukan dengan
melihat ketampakan fisik secara elektronik (pada website
resmi/aplikasi khusus/media sosial/videotron/layar interaktif) maupun non-elektronik
(buku/buklet/brosur/papan informasi di tempat pelayanan) dari ketersediaan
komponen standar pelayanan.
Dampak Penilaian Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Pengabaian atau tidak patuhnya terhadap keempat dimensi yang dinilai oleh Ombudsman RI tersebut berpotensi pada kurangnya kualitas pelayanan dan terjadinya potensi perilaku maladministrasi, apabila indikator-indikator kompetensi penyelenggara/pelaksana, sarana prasarana yang mendukung dalam penyelenggaraan pelayanan publik,  standar pelayanan tidak terpampang atau tidak terpublikasikan pada ruang pelayanan, misalnya maklumat pelayanan, persyaratan, alur/mekanisme pelayanan, jangka waktu pelayanan dan biaya/tarif layanan, tingginya persepsi pengguna layanan terhadap dugaan maladministrasi yang terjadi di instansi penyelenggaraan pelayanan publik yang dinilai, dan pengelolaan pengaduan (complaint handling) tidak memiliki mekanisme yang jelas serta tidak terdokumentasi dengan baik, maka potensi terjadinya ketidakpastian hukum terhadap pelayanan publik akan sangat besar. Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, serta Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan  Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik terdapat sanksi mulai dari sanksi pembebasan dari jabatan sampai dengan sanksi pembebasan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri bagi pelaksana dan penyelenggara pelayanan publik yang tidak memenuhi kewajibannya menyediakan penyelenggaraan pelayanan publik yang layak.
Kemudian dikarenakan penilaian penyelenggaraan pelayanan publik ini telah masuk kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 maka tentu akan ada dampak lain yang tentu akan berpengaruh seperti halnya pada dana insentif daerah khususnya pada penyelenggara pelayanan publik di pemerintah daerah. Ini merupakan komitmen dari Presiden Republik Indonesia, yang menginginkan pelayanan publik yang prima serta keseriusan pemerintah dalam hal pemberian layanan kepada masyarakat.
Output/muara dari penilaian ini adalah Opini Pelayanan Publik dari Ombudsman RI yang memiliki fungsi dan wewenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, dan tentu didapatkan instansi penyelenggara pelayanan publik yang prima dalam memberikan layanan kepada masyarakat.
Dalam melaksanakan penilaian ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjadi pertimbangan bagi instansi penyelenggara, yaitu penyelenggara layanan (pemerintah daerah dan kementerian/kembaga) membuat program secara sistematis dan mandiri dan koordinasi yang intens dengan masing masing penyelenggara dalam hal meningkatkan kompetensi penyelenggara/ pelaksana dalam hal pemberian layanan publik kepada pengguna layanan/masyarakat, meningkatkan sarana prasarana yang mendukung dalam penyelenggaraan pelayanan publik, mempercepat implementasi standar pelayanan publik sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan Peraturan Menteri PAN/RB Nomor 15 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan, karena penyelenggara layanan wajib mempublikasikan standar pelayanan kepada pengguna layanan dan pentingnya teknologi informasi yang berbasis digital, memiliki pengelolaan pengaduan yang sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik.
Kemudian kepala daerah dan pimpinan penyelenggara layanan terlibat aktif dalam memantau/melakukan monitoring konsistensi peningkatan kepatuhan dalam pemenuhan dimensi dari pelayanan publik. berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik, dan Peraturan Menteri PAN/RB Nomor 15 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan dalam rangka terciptanya kualitas pelayanan publik untuk kesejahteraan masyarakat.
Sebagai masyarakat dan pengguna layanan, kita tentu meyakini penyelenggara pelayanan mampu mengoptimalkan dimensi yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut guna terciptanya kualitas pelayanan yang baik. Dan sebagai instansi yang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik tentu dalam Tahun 2022 ini akan dilakukan penilaian sebagai bentuk jawaban apakah penyelenggara pelayanan publik di Indonesia telah mampu menerapkan dan mengoptimalkan dimensi yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut demi terciptanya kualitas pelayanan yang baik dan prima. Tentu hasilnya akan terjawab di akhir Tahun 2022.
Oleh:Â Jaka Andhika
Asisten Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Bengkulu
Â