• ,
  • - +

Artikel

Upaya Pecepatan Penyelesaian Laporan Masyarakat Melalui Desa Anti Maladministrasi
• Selasa, 15/04/2025 •
 
Ita Wijayanti, Asisten Ombudsman

Pemerintah desa merupakan elemen terkecil dari negara, namun juga yang paling dekat dengan masyarakat. Pemerintah desa bertugas melayani kebutuhan masyarakat agar mendapat pelayanan publik yang baik. Namun, pembangunan antardesa masih belum merata. Masih ada desa dengan status tertinggal, berkembang, dan mandiri. Hal ini menyebabkan munculnya isu terhadap permasalahan pedesaan, antara lain lokasi desa yang terhitung masih terisolir atau sulit dijangkau, keterbatasan pelayanan dasar seperti layanan pendidikan, kesehatan, jaringan listrik dan air, minimnya infrastruktur, belum optimalnya peran aparat desa dalam perencanaan dan pembangunan desa.

Penetapan Desa Anti Maladministrasi oleh Ombudsman Kalsel diharapkan dapat menjawab isu strategis yang ada di desa. Pertama, urgensi penyusunan standar pelayanan pada kantor desa yang ditetapkan sebagai Desa Anti Maladministrasi. Kedua, peran desa yang ditetapkan sebagai Desa Anti Maladministrasi dalam upaya mempercepat penyelesaian laporan masyarakat. Penyusunan standar pelayanan pada pemerintah desa sangat penting untuk menghindari munculnya tindakan maladministrasi dan laporan masyarakat mengenai keluhan layanan publik di desa. Selain itu dengan pembentukan desa anti maladministrasi, tercipta petugas pengelola pengaduan yang handal dan kooperatif dalam mengelola pengaduan sehingga percepatan penyelesaian laporan masyarakat dapat dilakukan secara efektif. 

Keseluruhan kegiatan penyelenggaraan pelayanan publik berlaku secara keseluruhan tanpa kecuali termasuk hak dan kewajiban yang melekat di dalamnya, mulai dari tingkat pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga pemerintah desa. Berdasarkan data dari sensus penduduk BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2022, jumlah penduduk baik laki-laki maupun perempuan yang ada di Desa berjumlah 120.250.024 jiwa dengan jumlah penduduk desa terbanyak berada di Provinsi Jawa Timur yaitu sejumlah 18.548.079 jiwa. Sedangkan jumlah desa di Indonesia adalah 81.616 desa dengan jumlah desa terbanyak berada di Provinsi Jawa Timur yaitu 8.576 desa. Sedangkan jumlah penduduk yang ada di kota berjumlah 155.523.750 jiwa. Dari data ini tergambar bahwa hampir separuh penduduk Indonesia tinggal di Desa. Artinya penyelenggaraan pelayanan publik di desa menjadi penting untuk dilaksanakan.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan pengertian desa adalah Desa dan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Desa merupakan elemen terkecil dari sebuah negara yang dipimpin oleh Kepala Desa yang bertanggung jawab dalam pembangunan desa dan pengelolaan pemerintah desa. Dalam pelaksanaannya, kepala desa dibantu oleh perangkat desa dalam menjalankan pemerintahan desa. Tujuan dibangunnya pemerintahan desa salah satunya adalah untuk membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka serta bertanggung jawab. Selain itu penyelenggaraan pemerintahan desa juga diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat di desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan di desa, kepala desa memiliki kewenangan untuk memimpin jalannya pemerintahan di desa, mengangkat dan memberhentikan perangkat desa, menetapkan APBDes (Anggaran Pendapatan Belanja Desa), menetapkan peraturan desa, dan membina kehidupan masyarakat di desa. Kendalanya, Pembangunan di desa sampai dengan saat ini masih belum merata. Masih ditemukan desa dengan status desa tertinggal, desa berkembang dan desa mandiri. Ketimpangan status ini tidak lepas dari isi-isu strategis dalam pembangunan desa yang berkontribusi menimbulkan permasalah di desa, seperti daerah desa yang masih terisolir, terbatasnya fasilitas pelayanan umum dan pelayanan dasar di pedesaan, minimnya infrastruktur penunjang aktivitas pedesaan, minimnya sumber daya alam di pedesaan, belum optimalnya peran pemerintah desa dalam pembangunan dan perencanaan desa. Seluruh problematika ini tentunya akan memberikan dampak buruk terhadap jalannya penyelenggaraan pelayanan publik di desa. Semisal, muncul budaya tidak patuh terhadap pemenuhan dokumen administratif dalam pemenuhan pelayanan administratif seperti KTP (Kartu Tanda Penduduk). Budaya ini muncul akibat dari birokrasi yang dirasa masyarakat masih panjang, berbelit-belit memakan waktu yang lama dan membutuhkan perjalanan yang cukup jauh. Akibat tidak optimalnya pelayanan ini, akhirnya banyak masyarakat yang memilih dipungli atau memberi gratifikasi demi kepraktisan layanan.

Problem selanjutnya, pengadministrasian di desa yang masih manual menggunakan buku atau tulisan di papan tulis, belum memanfaatkan teknologi informasi digital dikarenakan minimnya jaringan internet yang ada di desa, akibatnya, banyak data administrasi desa yang tidak terdokumentasi dengan baik bahkan hilang. Minimnya sarana dan prasarana pelayanan publik di desa, dan rendahnya kapasitas SDM (Sumber Daya Manusia) baik Kepala Desa maupun Perangkat Desa yang berpotensi untuk melakukan pekerjaan yang tidak kompeten. Apabila tidak segera ditanggulangi, semua permasalahan ini bisa saja mencuat ke publik, salah satunya melalui laporan masyarakat desa terhadap pelayanan publik yang ada di pedesaan.

Dalam menanggapi hal ini, Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Kalimantan Selatan, pada akhir tahun 2021 menggagas pembentukan Desa Anti Maladministrasi Untuk menjawab permasalahan pelayanan publik yang ada di desa. Diharapkan dengan adanya program ini, lahir pemerintahan desa yang kompeten, profesional, dan cepat tanggap dalam menghadapi permasalahan yang ada di lingkungan pemerintah desa.

Terdapat tiga indikator utama sebagai syarat ditetapkannya sebuah desa sebagai Desa Anti Maladministrasi. Pertama, kemauan dan kemampuan kantor desa untuk memenuhi komponen standar pelayanan publik sesuai dengan Undang-Undang 25 Tahun 2009 dalam proses penyelenggaraan layanan. Kedua, kantor desa bersedia dan mampu membuat unit pengelola pengaduan dengan menunjuk petugas pengelola pengaduan dan mengadakan sarana penyampaian aduan yang terpublikasi. Ketiga, dukungan dari Pemerintah melalui Keputusan Kepala Daerah/Bupati dalam penetapan Desa Anti Maladministrasi.  

Dalam konteks penyelesaian pengaduan/laporan masyarakat yang disampaikan ke Ombudsman RI, pembentukan Desa Anti Maladministrasi memberikan kemudahan dalam proses percepatan penyelesaian laporan. Pertama, pemerintah desa yang sudah ditetapkan sebagai Desa Anti Maladministrasi sudah mengetahui tentang Ombudsman RI, sehingga mereka sudah paham bahwa Ombudsman adalah mitra dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Selain itu, tidak ada lagi resistensi terhadap kehadiran Ombudsman, sehingga dalam upaya permintaan klarifikasi dan investigasi dapat dilakukan dengan lebih mudah. Kedua, unit pengelola pengaduan yang dibentuk dapat dimanfaatkan sebagai narahubung dalam hal koordinasi berbagai kegiatan pelayanan publik di desa termasuk koordinasi penyelesaian laporan. Sehingga, Ombudsman dapat menempuh jalur informal (WhatsApp/telepon) dan meminimalisir dokumen surat-menyurat. 

Dibentuknya Desa Anti Maladministrasi melalui pencanangan dan penetapan merupakan langkah awal dalam upaya perbaikan kualitas pelayanan publik di level desa. Dengan program ini, Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dapat melaksanakan fungsi pengawasan dan penyelesaian laporan masyarakat secara maksimal, dikarenakan telah siapnya pemerintah desa dalam memenuhi komponen standar pelayanan, pengelolaan pengaduan yang baik, dan regulasi yang jelas. Diharapkan dengan dibentuknya Desa Anti Maladministrasi ini, dapat meminimalisir aduan masyarakat desa terkait penyelenggaraan pelayanan publik di desa. Selain itu, melalui pembentukan Desa Anti Maladministrasi, Keasistenan Pemeriksaan Laporan menjadi lebih mudah dalam melakukan tindak lanjut laporan yang terjadi di wilayah desa. Pengelolaan pengaduan yang sudah dibentuk tiap desa membuat desa tidak lagi resisten terhadap Ombudsman, sehingga koordinasi penyelesaian laporan menjadi lebih cepat dan nyaman. Namun, program ini tentunya juga bukan tanpa kendala. Masih banyak hal-hal yang harus diperbaiki bersama agar program ini dapat terus berlanjut dan berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.

 

Oleh:

Ita Wijayanti

Asisten Ombudsman





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...