TRANSFORMASI DIGITAL PELAYANAN PUBLIK : TANTANGAN, PELUANG, & PERAN OMBUDSMAN
Dalam gerak kemajuan teknologi yang pesat, sedang terjadi perubahan besar pada cara pemerintah menyediakan layanan publik. Transformasi digital menjadi kata kunci yang tidak hanya merujuk pada pengadopsian teknologi termutakhir, melainkan juga mencerminkan perubahan mendasar dalam cara berpikir dan bekerja. Di Indonesia, dengan populasi yang besar dan ragam geografis yang membentang, penerapan teknologi digital dalam pelayanan publik menghadirkan tantangan sekaligus peluang. Pertanyaan penting yang muncul adalah bagaimana pemerintah tetap dapat menyediakan layanan yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel kepada masyarakat?
Transformasi digital dalam pelayanan publik bukan hanya sekadar mengganti proses manual dengan sistem komputerisasi. Lebih dari itu, transformasi tersebut adalah juga tentang mengubah budaya organisasi, mengembangkan infrastruktur yang diperlukan, serta memastikan bahwa setiap warga negara tanpa kecuali dapat menikmati manfaat dari teknologi digital.
Salah satu landasan normatif penerapan digitalisasi dalam pelayanan publik adalah Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Regulasi ini memberikan kerangka kerja untuk mengintegrasikan berbagai sistem pemerintahan, menghilangkan halangan pertukaran informasi, dan menciptakan sistem yang lebih terhubung dan koheren. Hal ini juga didukung oleh Peraturan Menteri PAN RB Nomor 59 Tahun 2020, yang mengatur pemantauan dan evaluasi implementasi SPBE di berbagai instansi pemerintah.
Tantangan, Hambatan, dan Peluang
Implementasi SPBE di Indonesia tidak lepas dari berbagai hambatan dan tantangan, baik yang berasal dari pemerintah dan penyelenggara layanan maupun dari masyarakat. Di sisi penyelenggara, terdapat tantangan seperti lemahnya kapasitas kepemimpinan serta kesenjangan kompetensi digital. Selain itu, tantangan budaya organisasi juga tidak kalah penting. Banyak instansi pemerintah yang masih terjebak dalam budaya kerja dan birokrasi yang kaku dan resisten terhadap perubahan. Tidak sedikit pegawai pemerintah merasa nyaman dengan cara kerja konvensional yang berpengaruh pada kurang berkembangnya kompetensi di bidang teknologi informasi(1). Tantangan terkait budaya kerja sangat berpengaruh karena berhubungan dengan aspek mental yang merupakan salah satu dimensi paling sulit dalam proses transformasi.
Faktor penting lain yang vital dalam transformasi digital adalah pembangunan infrastruktur yang memadai. Tanpa infrastruktur yang kuat, sulit bagi pemerintah untuk menyediakan layanan digital yang andal dan efisien bagi masyarakat. Dalam level Asia Tenggara, Indonesia sebagai negara terbesar, baik dari sisi populasi dan luas wilayah, telah memegang proyek infrastruktur senilai USD 454 juta pada periode tahun 2020 s.d 2022. Namun pada periode yang sama, nilai tersebut masih jauh di bawah Malaysia dengan nilai investasi sebesar USD 642 juta(2). Belum lagi apabila kita membandingkan nilai investasi tersebut dengan negara-negara maju di kawasan Asia seperti di China dan Korea Selatan.
Selain infrastruktur, kompetensi sumber daya manusia juga memainkan peran penting. Faktor sumber daya manusia bukan hanya melibatkan pihak pemerintah dan penyelenggara, namun juga masyarakat sebagai pengguna utama pelayanan publik. Tidak jarang tantangan muncul dari ketidaksiapan masyarakat dalam mengadopsi dan menggunakan teknologi baru. Banyak warga masyarakat yang terjebak kenyamanan dengan proses manual yang sudah familiar bagi mereka. Salah satu contoh adalah pada penerapan identitas kependudukan berbasis digital(3). Ini menunjukkan bahwa transformasi digital bukan hanya sekadar soal gawai berteknologi, tetapi juga tentang mengubah pola pikir dan kebiasaan masyarakat.
Menyikapi hambatan dan tantangan di atas, diperlukan strategi dalam hal percepatan pemahaman digital bagi penyelenggara dan masyarakat. Salah satu langkah adalah pelatihan dan pengembangan keterampilan di bidang teknologi informasi untuk mendukung implementasi SPBE. Dari sisi pemerintah, para pelaksana pelayanan perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk mengelola dan mengoperasikan sistem digital. Pengetahuan ini akan mendukung penyelenggaraan layanan publik yang lebih baik dan lebih efisien.
Dari sisi masyarakat, perlu semakin dibuka ruang dalam rangka sosialisasi dan edukasi digital. Ruang tersebut tidak hanya melulu disediakan oleh pemerintah. Pihak swasta juga dapat ikut berpartisipasi karena memang hampir semua bentuk layanan non pemerintah saat ini juga telah mengadopsi teknologi digital. Upaya ini cukup strategis di tengah rendahnya tingkat literasi digital Indonesia apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN(4), yaitu dengan skor hanya 62 di bawah skor rata-rata yaitu 70. Tingkat literasi digital ini mencakup kemampuan dasar dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, serta pemahaman mengenai keamanan digital, etika digital, dan budaya digital. Rendahnya skor ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat Indonesia masih kesulitan dalam mengadaptasi teknologi digital secara optimal.
Beragam upaya mengejar ketertinggalan literasi digital juga berjalan seiring dengan inovasi teknologi yang membuka banyak peluang baru. Salah satu yang menjadi perhatian adalah pesatnya perkembanganArtificial Intelligence (AI). Penggunaan AI dalam pelayanan publik dapat membantu dalam banyak hal, mulai dari analisisbig data hingga otomatisasi proses administratif. Pihak pemerintah melalui Kementerian PANRB menekankan bahwa pemanfaatan AI dapat menciptakan layanan publik lebih praktis, efektif, dan efisien(5).
Namun seperti penerapan teknologi lainnya, penggunaan AI juga membawa tantangan tersendiri. Permasalahan terkait privasi dan keamanan data menjadi salah satu isu utama yang harus diantisipasi. Selain itu, terdapat juga kekhawatiran bahwa AI akan menggantikan pekerjaan manusia. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengembangkan kebijakan yang memastikan bahwa penggunaan AI dilakukan secara etis dan bertanggung jawab. Pemerintah harus memastikan bahwa teknologi ini digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan sebaliknya.
Pengawasan Ombudsman dan Transformasi Berkesinambungan
Dalam menjaga agar transformasi digital berjalan dengan baik, pengawasan juga menjadi unsur yang strategis. Di titik inilah Ombudsman Republik Indonesia mengambil peran. Sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan mengawasi pelayanan publik, Ombudsman perlu memastikan bahwa proses digitalisasi berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan tidak merugikan masyarakat. Pengawasan ini penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas.
Tidak hanya dalam lingkup pengawasan, Ombudsman juga dapat berperan secara aktif bersama pemerintah untuk merancang dan melaksanakan strategi peningkatan literasi digital pada masyarakat dan kompetensi digital penyelenggaraan pelayanan. Upaya tersebut sejalan dengan penekanan peran strategis Ombudsman dalam mendorongOpen Governance dalam tata kelola pemerintahan di seluruh dunia(6). Melalui transformasi digital, penyelenggaraan pemerintahan dapat didorong untuk mengedepankan transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi publik.
Secara khusus, Ombudsman juga perlu mendorong penguatan tata kelola keamanan digital dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagaimana yang telah diketahui, pada pertengahan tahun 2024 telah terjadi peristiwa peretasan pada sistem Pusat Data Nasional (PDN) yang mengakibatkan kebocoran data pada beberapa instansi pemerintahan. Hal ini bukanlah terjadi pertama kali. Diperkirakan telah ada 600 juta lebih data masyarakat terkait imigrasi, Kemendagri, dan pemilihan umum yang bocor dalam peretasan sejak tahun 2022(7). Ke depannya Ombudsman dapat berperan dalam pengawasan pembangunan infrastruktur keamanan siber dan digital dalam pelayanan publik, khususnya mengenai hak perlindungan data pribadi masyarakat yang wajib dipenuhi oleh pemerintah.
Pada akhirnya kita harus kembali pada orientasi dan tujuan utama dari transformasi digital, yaitu memberikan kemudahan, efisiensi, dan transparansi yang berdampak bagi masyarakat. Dalam pelaksanaannya, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sangat penting untuk memastikan transformasi digital melalui SPBE berjalan dengan transparan dan akuntabel. Pemerintah sebagai penyelenggara layanan publik dapat terus berinovasi dan berkembang melalui umpan balik dari masyarakat. Adapun yang tidak kalah penting adalah peran pengawasan yang salah satunya diemban oleh Ombudsman Republik Indonesia.
Transformasi digital
bukanlah tujuan akhir, melainkan proses yang terus berlanjut. Dengan
berkembangnya teknologi dan inovasi, ada banyak hal baru yang dapat diadopsi ke
dalam sistem pemerintahan dengan tujuan meningkatkan kualitas tata kelola
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Adaptasi dan keterbukaan terhadap
perubahan adalah kunci yang harus dimiliki oleh semua pihak dalam rangka
kreasi, perbaikan, dan penyempurnaan.