Strategi Pelayanan Publik Pada Masa Pandemi
Pandemi Covid-19 merupakan masalah yang serius untuk dihadapi dan
diselesaikan bersama. Bagaimana tidak, pandemi tersebut berdampak pada berbagai
aspek kehidupan, salah satunya pelayanan publik. Berbagai upaya telah dilakukan
pemerintah untuk tetap memberikan pelayanan yang berkualitas bagi masyarakat
meskipun di tengah pandemi Covid-19. Adapun
pelayanan berkualitas tersebut dilakukan dengan mengoptimalkan layanan berbasis
elektronik dan memanfaatkan media sosial.
Namun, pelayanan berbasis elektronik memiliki kelebihan maupun kekurangan. Kelebihannya, pelayanan dapat dilakukan secara efektif, efisien, dan transparan. Bahkan para ahli pun berpendapat demikian. Dwiyanto (2011) menjelaskan bahwa pelayanan berbasis elektronik dapat mempermudah interaksi masyarakat sebagai pengguna layanan kepada instansi penyelenggara layanan serta mendorong akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Selanjutnya Forman (2005) menjelaskan bahwa tujuan pelayanan berbasis elektronik adalah untuk memberikan kenyamanan dan aksesibilitas kepada masyarakat dalam pelayanan publik. Berdasarkan hal tersebut meskipun di tengah pandemi, namun pemerintah telah berupaya dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas bagi masyarakat. Sebagai contoh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Pangkalpinang yang sudah menggunakan aplikasi WhatsApp dalam memberikan layanan administrasi kependudukan kepada masyarakat. Begitu pun BPJS Kesehatan yang menggunakan aplikasi WhatsApp juga dalam pelayanannya.
Adapun kekurangan pelayanan berbasis elektronik adalah kemampuan masyarakat dalam mengakses pelayanan berbasis elektronik. Kemudian, optimalisasi pelayanan elektronik pada daerah yang sulit mendapatkan jaringan internet. Bahkan, menariknya karakter masyarakat Indonesia yang lebih menyukai pelayanan secara tatap muka (langsung) sehingga hal inilah yang semakin memberikan tantangan terlebih pada masa pandemi. Berkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan data Perwakilan Ombudsman RI Kepulauan Bangka Belitung per bulan Agustus 2021 terkait cara penyampaian masyarakat terhadap laporan didominasi melalui PVL On The Spot (penerimaan laporan secara langsung di kantor penyelenggara layanan publik) sebanyak 34%. Bahkan, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Ombudsman RI pada tahun 2019 bahwa terdapat 70% masyarakat yang lebih senang menggunakan layanan secara langsung dibandingkan melalui elektronik.
Penulis berpendapat bahwa perlu adanya perbaikan dalam menutupi kekurangan pelayanan berbasis elektronik tersebut. Adapun strateginya adalah melalui inovasi kebijakan pemerintah yang fleksibel dalam melayani masyarakat baik melalui elektronik maupun tatap muka. Namun, pemerintah perlu berhati-hati dalam melaksanakan pelayanan tatap muka di tengah pandemi. Karena perlu diperhatikan aspek keamanan bagi petugas layanan maupun masyarakat selaku pengguna layanan.
Baru-baru ini terdapat wacana pemerintah dalam memberlakukan sertifikat vaksin sebagai syarat masyarakat untuk menerima layanan publik. Menurut Penulis hal tersebut memiliki tujuan yang baik karena dapat memberikan kepastian keamanan bagi petugas layanan maupun masyarakat. Selain itu, secara tidak langsung mendorong masyarakat untuk menggunakan layanan vaksin sehingga dapat mencapai kekebalan kelompok (herd immunity). Terlebih apabila dilihat pada Pasal 13A Perpres 14/2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) hal tersebut sejalan karena secara jelas tercantum sanksi administratif bagi masyarakat apabila tidak melakukan vaksin. Hanya saja, perlu diperhatikan pula aspek kemerataan pada pelaksanaan vaksin.Â
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per tanggal 27 Agustus 2021 bahwa jumlah penerima vaksin Covid-19 dosis pertama sebanyak 60,43 juta jiwa atau 29,02% dari total sasaran vaksin sebesar 208,26 juta jiwa. Adapun jumlah penerima vaksin dosis kedua sebanyak 34,12 juta jiwa atau 16,38%. Apabila dilihat dari data tersebut sebenarnya masyarakat sudah mau menggunakan layanan vaksin dan penolakan vaksin sudah menurun. Namun, masih terdapat tantangan belum seimbangnya antara antusiasme masyarakat pada vaksin terhadap fasilitas serta stok vaksin. Sehingga Penulis berpendapat bahwa perlu adanya pengkajian ulang dari pemerintah dalam penerapan syarat sertifikat vaksin untuk mendapatkan pelayanan publik sembari menunggu peningkatan kemerataan layanan vaksin secara keseluruhan. Hal tersebut untuk meminimalisasi adanya maladministrasi yaitu keberpihakan terhadap pelayanan publik. Selain itu, untuk meminimalisasi adanya pelanggaran terhadap asas pelayanan publik pada UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik, yaitu diskriminatif dalam pelayanan publik.
Adapun strategi yang perlu dilakukan pemerintah adalah memberlakukan pelayanan publik yang adil kepada masyarakat melalui fleksibilitas layanan publik. Maksudnya adalah dengan melihat progres penerimaan vaksin oleh masyarakat (dosis pertama atau kedua) dan alasan tidak dapat divaksin (memiliki penyakit bawaan dan sebagainya). Dengan begitu, meskipun ada masyarakat yang belum menerima layanan vaksin dengan alasan yang jelas tetap dapat mengakses pelayanan publik.
Selanjutnya, pelayanan publik yang mensyaratkan sertifikat vaksin sejatinya diawasi oleh Ombudsman RI sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik. Hal tersebut jelas diatur dalam dan UU Nomor 37/2008 tentang Ombudsman RI serta UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Hal tersebut untuk meminimalisasi adanya diskriminasi pelayanan publik kepada masyarakat pada masa pandemiCovid-19. Semoga pandemi cepat berlalu.
Penulis:
Maya Septiani (Asisten Pratama Perwakilan Ombudsman RI Kep. Bangka Belitung)