• ,
  • - +

Artikel

Seperempat Abad Ombudsman Republik Indonesia: Refleksi dan Eksistensi
• Kamis, 27/11/2025 •
 

Pelayanan publik pada hakikatnya merupakan aspek yang penting dan fundamental dalam kehidupan bernegara, termasuk di Indonesia. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mendefinisikan pelayanan publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Lebih lanjut lagi, berdasarkan Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik terlihat bahwa pelayanan publik mencakup aspek yang sangat luas mulai dari pengadaan listrik, air bersih, pupuk, Bahan Bakar Minyak (BBM), dan sebagainya yang merupakan contoh pelayanan atas barang; pelayanan pendidikan, kesehatan, peradilan, dan sebagainya yang merupakan wujud pelayanan jasa; serta penerbitan KTP-el, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Sertipikat Hak Milik (SHM), dan sebagainya yang merupakan wujud pelayanan administratif.

Sebagai konsekuensi logis atas luasnya cakupan pelayanan publik maka diperlukan pengawasan atas penyelenggaraan pelayanan publik tersebut baik dari internal penyelenggara pelayanan maupun eksternal, guna memastikan pelayanan yang diberikan sesuai dengan peraturan yang berlaku, tidak terjadi maladministrasi, dan manfaatnya dapat dirasakan oleh warga negara. Pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh masyarakat secara umum, DPR dan/atau DPRD, serta Ombudsman Republik Indonesia sebagaimana ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Ombudsman Republik Indonesia merupakan lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta Badan Swasta atau Perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, hal ini tertuang dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Mengingat kewenangan yang dimilikinya berdasarkan Undang-Undang tersebut, Ombudsman RI merupakan lembaga dengan posisi strategis guna mencapai tujuan negara menyelenggarakan pelayanan publik berkualitas. Menurut Najih (2024), Ombudsman RI dalam menjalankan tugasnya memiliki dua fungsi utama yaitu menyelesaikan laporan masyarakat atas dugaan maladministrasi pelayanan publik dan bertindak atas prakarsa sendiri, serta melakukan langkah-langkah pencegahan maladministrasi (fungsi preventif). Fokus Ombudsman RI dalam penanganan maladministrasi menjadi hal yang penting karena maladministrasi dapat menjadi pintu masuk kejahatan lainnya seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Refleksi 25 Tahun Ombudsman Republik Indonesia

Ombudsman Republik Indonesia yang pada awalnya bernama Komisi Ombudsman Nasional didirikan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang pembentukan Komisi Ombudsman Nasional tanggal 10 Maret 2000. Pada tanggal 10 Maret 2025 lalu genap 25 tahun lembaga ini mengawal penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia, dengan berbagai tantangan eksternal serta dinamika internal yang mengiringinya.

Salah satu tantangan eksternal yang dialami oleh Ombudsman RI dalam pengawasan pelayanan publik adalah masih terdapatnya masyarakat pengguna pelayanan publik maupun instansi penyelenggara pelayanan yang belum mengetahui fungsi serta kewenangan Ombudsman RI. Dengan ketidaktahuan tersebut maka masyarakat pengguna layanan yang mengalami maladministrasi dalam pelayanan publik tidak menyampaikan laporan atau pengaduan kepada Ombudsman RI sehingga permasalahan mereka tidak terselesaikan dengan baik. Di sisi lain tak jarang pula instansi penyelenggara pelayanan publik yang seyogyanya memahami seluk beluk pelayanan publik serta pengawasan pelayanan publik justru tidak mengetahui kewenangan Ombudsman RI selaku lembaga negara pengawas pelayanan publik.

Kurang "populer"-nya Ombudsman RI dapat disebabkan beberapa faktor di antaranya, pertama, upaya pengenalan Ombudsman baik dalam bentuk sosialisasi maupun edukasi lainnya belum dapat menjangkau seluruh masyarakat. Tidak dapat dipungkiri sosialisasi masif dapat memberikan efek positif bagi suatu lembaga karena lembaga akan semakin dikenal jika informasi mengenai lembaga tersebut disebarkan secara luas dan terus-menerus. Pada dasarnya sosialisasi yang dimaksud tidak hanya terbatas pada program sosialisasi formal saja, namun dapat dilakukan dalam bentuk yang lebih luas pada aspek kehidupan masyarakat seperti melalui Iklan Layanan Masyarakat, diskusi publik maupun seminar di perguruan tinggi, talkshow atau siaran televisi dan radio, media sosial, dan lain-lain.

Faktor penyebab kedua adalah isu pelayanan publik yang masih sering dianggap kurang menarik baik oleh media massa maupun masyarakat dibandingkan dengan isu lain yang dianggap lebih berpengaruh langsung bagi khalayak seperti permasalahan yang berkaitan dengan hukum, politik, maupun perekonomian masyarakat. Media massa misalnya, pada umumnya akan lebih "senang" menyajikan pemberitaan mengenai aparat penegak hukum yang berhasil mengungkap kasus korupsi dibandingkan pemberitaan mengenai penundaan berlarut pelayanan penerbitan Sertipikat Hak Milik (SHM) tanah maupun dokumen administratif lainnya. Padahal pelayanan publik yang cakupannya sangat luas justru merupakan hal fundamental bagi aspek lain dalam kehidupan bernegara.

Sebagai langkah awal guna meningkatkan popularitas Ombudsman RI, dapat dilakukan dengan mengupayakan atensi publik terhadap permasalahan yang sedang ditangani oleh Ombudsman, terutama terkait keberhasilan penyelesaian aduan masyarakat. Atensi publik tersebut, dapat diperoleh jika Ombudsman mampu menampilkan dengan jelas manfaat yang diperoleh masyarakat, atau kerugian dan/atau potensi kerugian masyarakat yang dapat diselamatkan maupun dicegah dengan peran Ombudsman dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang terindikasi maladministrasi.

Salah satu aspek yang berpotensi menarik atensi publik terhadap Ombudsman RI yaitu valuasi kerugian masyarakat pengguna layanan publik yang mengalami maladministrasi. Valuasi kerugian merupakan proses kuantifikasi nilai kerugian masyarakat pengguna pelayanan publik yang terindikasi maladministrasi menjadi nominal rupiah. Dengan penetapan nominal kerugian masyarakat yang diselamatkan tersebut dapat berpengaruh positif terhadap respon media massa dan publik terhadap hasil rilis kinerja Ombudsman RI dan secara tidak langsung akan meningkatkan perhatian publik terhadap pemberitaan mengenai Ombudsman.

Eksistensi Ombudsman Republik Indonesia pada Seperempat Abad Usia

Dengan semakin meningkatnya atensi publik kepada Ombudsman RI, lembaga ini diharapkan dapat mempertahankan citra baiknya sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan pelayanan publik yang independen, imparsial, serta bebas dari konflik kepentingan tertentu sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Dari sisi penyelesaian laporan masyarakat, Ombudsman yang hingga saat ini telah menerima ribuan laporan masyarakat seyogyanya dapat menjaga kualitas serta keandalannya dalam pemeriksaan laporan guna menentukan apakah terdapat maladministrasi atau tidak dalam permasalahan pelayanan publik yang dilaporkan tersebut.

Beberapa isu pelayanan publik yang cukup menyita perhatian dan telah ditindaklanjuti oleh Ombudsman RI dalam beberapa tahun terakhir di antaranya ialah maladministrasi dalam proses permohonan Izin Usaha Bursa Berjangka (IUBB) oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti); maladministrasi dalam pengawasan sumber daya kelautan berupa dibangunnya pagar laut ilegal di wilayah perairan Kabupaten Tangerang Provinsi Jawa Barat; maladministrasi pada penanggulangan kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) pada anak dan pengawasan obat sirop oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM); maladministrasi dalam pelaksanan Seleksi Calon Aparatur Sipil Negara (CASN); serta beberapa isu lainnya.

Permasalahan-permasalahan tersebut ditindaklanjuti oleh Ombudsman RI sesuai dengan kewenangannya dan melalui prosedur pemeriksaan yang berlaku hingga akhirnya disimpulkan telah terjadi maladministrasi, dan kemudian Ombudsman memberikan Tindakan Korektif yang harus dilaksanakan oleh Terlapor dan/atau Atasan Terlapor guna memperbaiki maladministrasi pelayanan publik yang telah terjadi. Secara internal pun Ombudsman RI terus melakukan penyempurnaan regulasi yang mengatur pemeriksaan laporan menjadi lebih spesifik guna memastikan kesimpulan akhir serta Tindakan Korektif yang dirumuskan sesuai dengan data dan fakta yang terjadi, apakah benar terbukti maladministrasi atau justru tidak terbukti maladministrasi. Regulasi mengenai tata cara pemeriksaan laporan saat ini telah banyak mengalami perkembangan dibandingkan dengan regulasi di awal masa berdirinya Ombudsman RI pada tahun 2000-an.

Dari sisi pencegahan maladministrasi pun Ombudsman RI telah menunjukkan pengaruh yang cukup menarik perhatian publik, salah satunya dengan melakukan berbagai kajian menyangkut isu pelayanan publik guna meminimalisasi dan/atau mencegah terjadinya maladministrasi. Sebagai contoh yaitu kajian mengenai proses penyerahan sertifikat Kredit Pemilikan Rumah (KPR) oleh Bank Tabungan Negara (BTN) kepada debitur; kajian mengenai tata kelola pupuk bersubsidi; kajian mengenai tata kelola industri kelapa sawit; kajian mengenai integrasi sistem pengawasan perlintasan orang sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang; dan lain-lain. Kajian-kajian tersebut bermuara pada saran perbaikan yang disampaikan pada instansi terkait guna mencegah maladministrasi yang berpotensi terjadi berdasarkan hasil temuan Ombudsman.

Tidak hanya melakukan kajian, dalam upaya pencegahan maladministrasi Ombudsman RI juga melakukan penilaian terhadap penyelenggaraan pelayanan publik oleh Kementerian/Lembaga serta Pemerintah Daerah sejak tahun 2014, yang intinya menilai apakah instansi menetapkan Standar Pelayanan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Penilaian Ombudsman RI tersebut pada awalnya disebut dengan Penilaian Kepatuhan, kemudian diubah menjadi Penilaian Penyelenggaraan Pelayanan Publik pada tahun 2022, dan saat ini disempurnakan kembali menjadi Penilaian Kepatuhan Penyelenggaraan Pelayanan Publik (Opini Pengawasan Pelayanan Publik). Perubahan tersebut terutama disebabkan adanya penambahan komponen penilaian dan metode penilaian yang digunakan dengan harapan semakin dapat memotret penyelenggaraan pelayanan publik secara akurat.

Dengan seperempat abad usianya saat ini, Ombudsman RI diyakini akan semakin menunjukkan eksistensinya dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dan diharapkan akan semakin dikenal oleh seluruh kalangan. Optimisme tersebut didasari semakin banyaknya pemberitaan media massa mengenai Ombudsman dan semakin meningkatnya jumlah laporan masyarakat yang disampaikan kepada Ombudsman RI setiap tahunnya, menunjukkan semakin banyak masyarakat pengguna pelayanan publik yang mengetahui tugas serta fungsi Ombudsman RI.

Menurut McMillan (2025), lembaga pengawas terutama Ombudsman haruslah terdengar dan terlihat kinerjanya agar masyarakat merasa tenang dan mempercayakan pengawasan pelayanan publik kepada lembaga tersebut. Dengan demikian Ombudsman RI perlu diperkuat salah satunya dengan senantiasa meningkatkan kompetensi dan keahlian pemeriksaan laporan serta pemahaman substansi-substansi pelayanan publik. Selain itu masih terdapat pula ruang untuk memperkuat kelembagaan Ombudsman RI melalui regulasi-regulasi yang berkaitan dengan Ombudsman dan pelayanan publik baik pada level Undang-Undang hingga Peraturan Ombudsman yang bersifat lebih teknis. Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan eksistensi Ombudsman RI sebagai pengawas penyelenggaraan pelayanan publik dapat dipertahankan dan ditingkatkan terutama menghadapi berbagai tantangan seiring bertambahnya usia lembaga ini. (***)

Ekawati Juni Astuti.

Asisten Muda Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Bengkulu.

Referensi:

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

McMillan, John. 2025. SEAOF Training Course Module: Leadership in Complaint Management. The Southeast Asian Ombudsman Forum.

Najih, Mohammad. 2024. Maladministrasi dalam Pelayanan Publik. Malang: Setara Press.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...