Sengkarut DTKS Kalsel
Sejak tahun 2019, Ibu Yuni dan anaknya hidup terlantar di jalanan. Sampai pada akhirnya dibantu, didampingi, dan disantuni oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Banjarmasin. Dua tahun mendapatkan pendampingan Ibu Yuni akhirnya dilepas agar bisa hidup mandiri dengan anaknya.
Merasa hidup di bawah garis kemiskinan, Ibu Yuni mencoba berkonsultasi ke Ombudsman. Bertanya bagaimana caranya agar beliau dapat mendaftarkan diri sebagai keluarga penerima bantuan. Akhirnya, Ibu Yuni diarahkan untuk datang ke kantor kelurahan sesuai domisili beliau, untuk berkonsultasi lebih intens.
Dari kantor kelurahan, beliau diarahkan oleh petugas kelurahan untuk menemui petugas pendamping PKH, agar dapat mendata beliau di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Namun, hingga Januari 2021, sejak Ibu Yuni mengajukan diri untuk terdaftar di DTKS, tidak pernah ada bantuan yang diterima oleh beliau.
Uniknya, Ibu Yuni termasuk orang yang aktif datang berkonsultasi ke Ombudsman membawa anaknya. Tidak hanya berkonsultasi, beliau juga aktif meminta santunan ke Ombudsman. Beberapa Insan Ombudsman yang iba kepada beliau kadang menyisihkan sedikit rezeki untuk membantu beliau.
Bicara soal bantuan sosial, sengkarut dalam DTKS memang kerap kali terjadi dan terus menerus berulang. Tidak hanya dalam DTKS, kekacauan pendataan sudah terjadi dari tingkat bawah, mulai dari pendataan tingkat RT. Beberapa kali ditemui dalam tindak lanjut laporan di Ombudsaman, Ketua RT tidak mendata dengan benar warga yang seharusnya mendapatkan bantuan. Ada yang dilakukan dengan tidak sengaja, karena RTnya pasif terhadap warga, ada yang dilakukan dengan sengaja, hanya orang-orang pilihan yang didata oleh Ketua RT. Kebanyakan yang terjadi di lapangan adalah keluarga/kerabat dekat ketua RT.
Belum lagi jika petugas pendamping yang memverifikasi melakukan kekeliruan dalam verifikasi, atau petugas pendamping mengetahui ada kekeliruan namun memilih diam karena tidak berani. Akhirnya data yang keliru terbawa sampai tingkat kelurahan atau kecamatan dan terverifikasi dalam musyawarah untuk masuk ke dalam data DTKS. Kesalahan ini mengakibatkan tidak tepatnya sasaran penyaluran bantuan.
Buntutnya, banyak masyarakat yang protes karena tidak mendapatkan bantuan, padahal merasa sebagai keluarga tidak mampu. Lucunya, banyak terjadi di lapangan rumah-rumah warga yang ditempeli stiker sebagai keluarga penerima bantuan, ada pada rumah yang bagus, kokoh, memiliki fasilitas kendaraan lebih dari 1, bahkan ada yang memiliki usaha dagang. Akhirnya semua ini hanya masalah "mental miskin".
Selain Ibu Yuni, masih banyak Ibu dan bapak lain yang sudah melapor ke Ombudsman dengan permasalahan yang sama. Memang, dengan dorongan Ombudsman pada akhirnya para pelapor dapat didaftarkan pada DTKS. Namun sangat disayangkan, jika hanya membantu case per case, kepada orang yang datang melapor. Ke depannya, harus ada evaluasi dan pengawasan dari pemerintah dalam pelaksanaan pendataan hingga penyaluran bantuan. Agar keseluruhan bantuan yang diberikan dapat tepat sasaran. (IW)