Santri Melakukan Tindakan Indisipliner, Apa Upaya yang Dapat Dilakukan Pondok Pesantren ?
Pertanyaan yang penulis gunakan sebagai judul tulisan ini didasari atas sebuah Laporan Masyarakat yang diadukan ke Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Papua. Sebagai pengantar, substansi Laporan Masyarakat ini adalah terkait permasalahan siswa yang dikeluarkan dari Sekolah akibat pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Anaknya di Pondok Pesantren. Anak Pelapor terbukti melanggar disiplin dan dijatuhi hukuman dikeluarkan dari Pondok Pesantren yang berakibat dikeluarkan pula dari Sekolah formalnya, padahal Anak Pelapor telah duduk di bangku kelas IX. Akibatnya, Anak Pelapor tidak dapat melanjutkan sekolah dan tidak bisa mengikuti ujian kelulusan. Sehingga dalam tulisan ini penulis berusaha menjelaskan fungsi pondok pesantren dan apa yang harus dilakukan dalam upaya penyelesaian permasalahan tindakan indisipliner yang dilakukan oleh santri.
Pondok Pesantren Merupakan Lembaga Pendidikan Akhlak
Di Indonesia, tidak sedikit masyarakat yang memercayakan anaknya dibina di lingkungan pondok pesantren, harapannya yaitu agar anaknya memiliki pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan sekaligus berakhlak dalam kehidupan bermasyarakat. Pendidikan akhlak menjadi penting dalam dunia modern ini karena orang tua tidak selalu bisa mengawasi perilaku anaknya, kenapa akhlak yang baik penting untuk anak ? menurut Ahmad D. Mariba (1989) pendidikan akhlak dilakukan dengan cara memberikan bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani guna terbentuknya kepribadian yang utama atau insan kamil. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan tradisional terbukti efektif dalam melaksanakan pendidikan akhlak, karena seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU 18/2019 tentang Pesantren menjelaskan bahwa Pondok Pesantren adalah lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat islam dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, serta menyemaikan akhlak mulia dan memegang teguh ajaran islamrahmatan lil'alaminyang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat dan nilai luhur bangsa Indonesia melalui pendidikan, dakwah islam, keteladanan dan pemberdayaan masyarakat. Hal demikian sejalan seperti menurut Zamakhsyari (2011) yang menjelaskan bahwa pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan agama islam. Siswa atau yang biasa disebut santri tinggal di dalam pondok pesantren dan dibimbing oleh guru yang biasanya dikenal dengan sebutan kyai, kyai yang memiliki peran penting dalam memberikan pendidikan akhlak kepada santri.
Tindakan Indisipliner dan Upaya Penyelesaiannya
Dalam berkegiatan di dalam pondok pesantren, tidak sedikit santri yang melakukan pelanggaran kedisiplinan, sehingga pondok pesantren perlu mengevaluasi penyebab pelanggaran, mencari dan mengkaji solusi metode serta strategi yang bisa diimplementasikan dalam menciptakan kedisiplinan semua santri yang tinggal di pondok pesantren. Karenanya dalam menertibkan kedisiplinan di lingkungan pondok pesantren, dapat disusun peraturan guna mengatur hal yang dilarang atau diperbolehkan serta bentuk sanksi atas pelanggaran yang dilakukan antara seluruh pihak yang ada di pesantren seperti kyai, ustad, santri dan pengurus agar pelaksanaan pembelajaran di lingkungan pondok pesantren berjalan dengan baik.
Kedisiplinan merupakan hal penting dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang baik dan berkualitas khususnya dalam dunia pendidikan. Hal ini merupakan amanat pasal 1 angka 1 UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha mengembangkan kekuatan spiritual keagamaan dan penciptaan akhlak yang mulia. Apalagi lembaga pendidikan seperti pondok pesantren berfokus dalam pendidikan keagamaan dan penguatan akhlak santri yang dalam Pasal 3 huruf a UU 18/2019 tentang Pesantren dijelaskan bahwa pesantren diselenggarakan dengan tujuan membentuk individu (santri) yang unggul dan dapat memahami serta mengamalkan nilai ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, tolong-menolong, seimbang dan moderat.
Santri yang tinggal di pondok pesantren seringkali adalah santri yang berada pada tingkat SD hingga SMA, masih labilnya kondisi psikologis santri berimbas terhadap perilaku indisipliner yang tak jarang dilakukan. Tindakan indisipliner dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi positif dan sisi negatif, dalam arti positif tindakan indisipliner dilakukan oleh santri karena berusaha menemukan hal-hal baru demi mendapatkan kreativitas dan inovasi, hal ini didasari karena keinginan untuk mandiri dan bebas dari peraturan yang mengekangnya. Dalam arti negatif tindakan indisipliner dilakukan oleh santri dalam bentuk perilaku anti sosial atau tidak patuh pada peraturan, seperti tindakan merokok, seks bebas, minum minuman keras, dan vandalism.
Dalam penelitian Wahyu dan Rhomadon (2015) menjelaskan bahwa tindakan-tindakan indisipliner yang dilakukan oleh santri seperti di pondok pesantren Al-Muyyad Solo adalah terlambat masuk sekolah, merokok, tidak mengaji, memalsukan ttd ustad, mencuti, meninggalkan shalat, membolos dan meninggalkan pesantren tanpa izin pengasuh. Hal serupa juga terjadi di salah satu pondok di Surakarta, tindakan-tindakan indisipliner yang dilakukan oleh santri seperti mencuri, membolos, meninggalkan pesantren tanpa izin dan seks bebas.
Faktor terjadinya tindakan insdipliner yang dilakukan oleh santri biasanya disebabkan oleh faktor internal dari santri itu sendiri, hal ini dikarenakan kurangnya kemampuan santri dalam mengontrol dirinya, egosentrism dan agresivitism. Namun tidak sedikit penyebab santri melakukan tindakan indisipliner karena faktor eksternal seperti faktor kecemburuan sosial, faktor teman sesama santri dan kurangnya pengawasan pengasuh. Remaja sering dipersepsikan belum mampu menaksir resiko dari perilaku yang dilakukannya, individu yang lemah dalam pengendalian diri cenderung untuk bertingkah laku negatif dan cenderung melanggar peraturan-peraturan.
Lalu, jika santri melakukan tindakan indisipliner apa yang harus dilakukan oleh pengasuh pondok pesantren ? sebagai yayasan berbadan hukum, pondok pesantren diberikan keleluasaan untuk membuat peraturan yang mengikat seluruh pihak di dalam pondok pesantren, tidak terkecuali peraturan disiplin bagi santri, sehingga ada pedoman dalam penyelesaian permasalahan tindakan indipliner oleh santri. Peraturan disiplin sebaiknya berpedoman pada Pasal 9 ayat (1) UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak yang menjelaskan bahwa setiap anak memiliki hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan Tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
Sehingga jika seorang santri yang melakukan pelanggaran disiplin seharusnya dapat dilakukan pembimbingan dan konseling sebagaimana mempedomani Permendikbud Nomor 111/2014 tentang bimbingan dan konseling pada pendidikan dasar dan menengah, yang menjelaskan bahwa setiap siswa (santri) yang bermasalah berhak mendapatkan perbaikan dan penyembuhan guna membantu peserta didik yang bermasalah agar dapat memperbaiki kekeliruan berfikir, berperasaan, berkehendak dan bertindak.
Apalagi dalam lingkungan pesantren, setiap santri diawasi selama 24 jam penuh. Artinya pengasuh memiliki kewenangan memberikan bimbingan dan konseling dalam pendidikan akhlak kepada santri. Tindakan mengeluarkan santri dari lembaga pendidikan tidak menyelesaikan persoalan dan cenderung mengamplifikasikan kesalahan yang dilakukan tidak dapat diberikan pemakluman guna perbaikan dalam bertindak. Padahal pesantren memiliki fungsi membentuk santri untuk memiliki sifat-sifat sebagaimana dijelaskan pada pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Agama No 31/2020 tentang pendidikan pesantren bahwa santri harus mempunyai akhlak yang mulia, kedalaman ilmu agama islam, keteladanan, kecintaan terhadap tanah air, kemandirian, keterampilan dan wawasan global.
Sehingga sejatinya sanksi di lembaga pendidikan harusnya mendidik, bukan malah menciptakan justfikasi kesalahan terhadap santri yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang serta ketidakpastian hukum.
Faisal A. Satria Putra.
Asisten Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Papua.