Revitalisasi Komite Sekolah
Di penghujung 2016, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI mengeluarkan Permendikbud 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Produk hukum ini lahir sebagai upaya untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan serta revitalisasi tugas komite sekolah berdasarkan prinsip gotong royong.
Komite sekolah, sebelumnya sering didudukkan sebagai perpanjangan tangan untuk melakukan pungutan di sekolah. Ketentuan ini menghendaki agar peran komite sekolah dalam upaya memajukan pendidikan, khususnya mengenai penggalangan dana pendidikan, memenuhi asas kelayakan, etika, kesantunan, dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setidaknya, ada tiga poin penting yang perlu dicermati dalam Permendikbud ini. Pertama,adanya larangan bagi Komite Sekolah untuk melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya. Pungutan merupakan penarikan uang kepada peserta didik, orangtua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan. Ada kesan selama ini bahwa sepanjang pungutan sudah mendapat persetujuan dari Komite Sekolah, maka pungutan tersebut tidak dianggap sebagai "pungutan", namun "sumbangan" dari peserta didik/orang tua siswa. Padahal jelas, dalam praktiknya, peserta didik diwajibkan untuk mengumpulkan pungutan tersebut kepada Komite. Di samping itu, jangka waktu dan nilainya juga sudah ditentukan. Pungutan dalam praktiknya bermacam, misal infaq yang bersifat wajib, iuran komite, iuran peringatan hari besar keagamaan, uang paguyuban, dan sebagainya. Permendikbud 75/2016, kemudian melarang Komite Sekolah untuk melakukan pungutan.
Tanggung jawab untuk memajukan mutu layanan pendidikan, memang tidak bisa semuanya dibebankan kepada pemerintah. Sumber pendanaan pendidikan tidak melulu tugas Pemerintah dan Pemerintah Daerah, namun sumber pendanaan pendidikan bisa berasal dari partisipasi masyarakat. Pendanaan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Tentunya pendanaan pendidikan yang berasal dari masyarakat tersebut juga harus mengedepankan prinsip keadilan, yakni prinsip yang menghendaki bahwa besarnya pendanaan pendidikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat, yang harus disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
Di sisi lain, sekolah tidak bisa sepenuhnya berharap dari Bantuan Operasional Sekolah. Keterlambatan pencairan dana BOS, menjadi kendala tersendiri bagi sekolah untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari. Belum lagi soal keterbatasan penggunaan dana BOS yang belum bisa mencover seluruh kegiatan sekolah seperti peringatan hari besar keagamaan, kurangnya dana BOS untuk membayar guru honor, pembuatan toilet untuk siswa dan lain sebagainya. Di sisi lain, anggaran dana BOS persiswa, dinilai masih belum ideal untuk memenuhi pengeluaran sekolah. Oleh karena itu, harus ada campur tangan dari berbagai pihak untuk memajukan pendidikan, termasuk orang tua siswa, melalui peran Komite Sekolah. Permendikbud 75 Tahun 2016 menyebutkan tugas komite sekolah, salah satunya adalah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya dalam rangka memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan. Namun penggalangan dana dan sumber daya pendidikan tersebut harus dalam bentuk bantuan atau sumbangan, bukan pungutan. Bantuan atau sumbangan tersebut juga tidak boleh berasal dari perusahaan rokok, perusahaan minuman beralkohol serta dari partai politik.
Kedua,adanya larangan bagi komite sekolah untuk menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di sekolah. Praktik ini masih ditemukan, khususnya di Sekolah Dasar. Komite sekolah bekerjasama dengan penerbit untuk menjual buku di sekolah. Dengan adanya ketentuan ini, maka cara komite sekolah untuk mendapatkan sumber pendanaan pendidikan, tidak dibenarkan.
Ketiga,unsur anggota komite sekolah tidak boleh berasal dariPendidik dan Tenaga Kependidikan dari sekolah yang bersangkutan, penyelenggara sekolah yang bersangkutan, pemerintah desa, forum koordinasi pimpinan kecamatan, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pejabat pemerintah/pemerintah daerah yang membidangi pendidikan. Jamak ditemui, struktur kepengurusan Komite Sekolah banyak diisi oleh Tenaga Pendidik dari sekolah bersangkutan, bahkan jabatan yang dipegang adalah sebagai Bendahara Komite. Di samping itu, kepengurusan komite sekolah juga diisi para politisi.Jika komite sekolah diisi oleh guru yang mengajar di sekolah, maka bisa dipastikan, komite sekolah tidak mandiri. Oleh karena itu, penting untuk menata lagi komposisi komite sekolah, sehingga komite sekolah dapat menjalankan perannya mengawasi pelayanan pendidikan di sekolah.
Peran komite sekolah sebagai wadah berpartisipasinya masyarakat dalam dunia pendidikan sangat vital. Oleh karena itu, revitalisasi komite sekolah berusaha mendudukan komite sekolah sebagai lembaga yang mandiri, demokratis, mandiri, profesional, akuntabel dan terlepas dari campur tangan pihak sekolah. Di sisi lain, dalam memajukan pendidikan, khususnya dalam penggalangan dana, komite sekolah tidak boleh melanggar asas-asas yang sudah digariskan oleh pemerintah. Akhirnya kita semua berharap, dengan adanya Permendikbud 75 Tahun 2016 ini, pungutan yang berlabel sumbangan tidak terjadi lagi dalam dunia pendidikan.
Penulis :
Sopian Hadi, S.H., M.H
Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Kalsel