Restorative Justice dan Metode Propartif sebagai Pendekatan Penegakan Keadilan Substantif

Bayangkan seorang pemuda mencuri seekor ayam dari kandang tetangganya. Bukan karena ia berniat jahat, tetapi karena desakan kebutuhan. Keluarganya tak makan selama dua hari. Ia tertangkap, dilaporkan ke polisi, dan siap menghadapi proses hukum. Namun, di tengah proses itu, sang pemilik ayam justru datang ke kantor polisi dan menyatakan tidak ingin memperpanjang masalah. "Dia tetangga saya, anak itu baik. Saya tahu keluarganya. Dia khilaf," ucapnya. Polisi pun memfasilitasi pertemuan keduanya. Sang pelaku meminta maaf, korban memaafkan, dan disepakati penggantian kerugian secara wajar. Perkara pun selesai tanpa harus masuk ruang sidang. Itulah gambaran nyata bagaimana restorative justice, atau keadilan restoratif bekerja dalam kehidupan nyata.
Restorative justice adalah pendekatan penyelesaian perkara pidana yang mengedepankan pemulihan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat. Tidak seperti sistem peradilan konvensional yang menitikberatkan pada penghukuman, restorative justice lebih menyoroti bagaimana pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara langsung kepada korban dan bagaimana korban mendapatkan pemulihan baik secara materiil maupun emosional. Dalam konteks ini, hukum bukan lagi semata-mata alat menghukum, melainkan sarana membangun kembali harmoni sosial yang rusak akibat suatu tindak pidana. Pendekatan ini mendorong dialog, rekonsiliasi, dan kesepakatan bersama sebagai dasar penyelesaian perkara.
Keadilan restoratif di Indonesia saat ini telah memiliki dasar hukum yang jelas. Salah satunya adalah Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang memberikan pedoman kepada aparat kepolisian dalam menangani perkara secara damai dengan tetap menjunjung keadilan substantif. Selain itu, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif memperkuat mekanisme ini pada tingkat kejaksaan. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahkan menjadikan keadilan restoratif sebagai pendekatan utama dalam menangani perkara anak berkonflik dengan hukum. Undang-undang ini menegaskan bahwa penyelesaian perkara anak harus diutamakan di luar pengadilan melalui diversi, yang esensinya adalah penerapan keadilan restoratif.
Penerapan prinsip ini telah dilakukan di seluruh wilayah di Indonesia. Sebagai contoh pada tahun 2023, di Kabupaten Bangka Tengah, seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun terlibat dalam perkelahian yang menyebabkan luka ringan pada temannya. Kasus ini sempat dilaporkan ke polisi oleh keluarga korban. Namun, setelah melalui asesmen oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) dan didukung oleh tokoh masyarakat setempat, kasus tersebut diarahkan untuk diselesaikan melalui pendekatan restorative justice. Pelaku mengakui kesalahan dan menunjukkan penyesalan. Dalam forum mediasi yang difasilitasi oleh kepolisian, pelaku meminta maaf kepada korban dan keluarga, serta sepakat untuk mengganti biaya pengobatan dan menjalani konseling. Korban dan keluarga menerima permintaan maaf tersebut, dan laporan dicabut secara sukarela. Polisi kemudian menghentikan penyelidikan dengan dasar Perpol No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Keadilan restoratif memberikan sejumlah keunggulan. Ia memberi ruang pemulihan yang nyata bagi korban. Dalam sistem peradilan biasa, korban sering kali hanya menjadi alat bukti, tidak dilibatkan dalam proses yang menyentuh perasaannya. Dalam pendekatan restoratif, korban justru menjadi pusat perhatian, diberi ruang untuk menyampaikan perasaan, harapan, dan bentuk pemulihan yang diinginkan. Pelaku diajak untuk bertanggung jawab secara langsung dan personal, bukan hanya menjalani hukuman yang terkadang terasa abstrak. Ia harus menyadari dampak dari perbuatannya, melihat langsung luka yang ia timbulkan, dan belajar memperbaikinya. Pendekatan ini juga mencegah stigmatisasi, terutama bagi pelaku dari kalangan rentan seperti anak-anak atau pemuda miskin yang melakukan kejahatan karena tekanan hidup, bukan karena niat jahat. Mereka diberi kesempatan untuk memperbaiki diri tanpa harus dibebani label kriminal seumur hidup. Perkara juga dapat diselesaikan lebih cepat, murah, dan tidak membebani lembaga peradilan. Dalam jangka panjang, keadilan restoratif mampu memperkuat kohesi sosial karena masyarakat ikut dilibatkan secara aktif dalam penyelesaian konflik.
Jika ditelusuri lebih jauh, pendekatan restorative justice memiliki kesamaan nilai dengan metode propartif Ombudsman Republik Indonesia, terutama dalam konteks penanganan laporan masyarakat terkait maladministrasi. Metode propartif (progresif dan partisipatif) adalah pendekatan penyelesaian masalah melalui dialog terbuka dan kolaboratif antara pelapor, terlapor, dan Ombudsman untuk menemukan solusi yang adil dan tidak konfrontatif. Dalam metode ini, fokusnya bukan pada pembuktian kesalahan secara formal, melainkan pada bagaimana mencari titik temu yang memperbaiki pelayanan publik dan mengurangi dampak dari maladministrasi.
Seperti halnya keadilan restoratif yang menekankan pemulihan dan dialog, metode propartif mengutamakan musyawarah, tanggung jawab, dan keterlibatan semua pihak untuk menghasilkan kesepakatan yang bersifat memperbaiki. Kedua pendekatan ini sama-sama berakar pada nilai-nilai kultural masyarakat Indonesia: mufakat, kekeluargaan, dan penyelesaian damai. Metode propartif diatur dalam Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2020 tentang Prosedur Operasional Penanganan Laporan Masyarakat, khususnya dalam ketentuan mengenai penyelesaian cepat dan partisipatif. Pendekatan ini memperkuat keberpihakan pada solusi yang tidak semata-mata legal-formal, melainkan juga substantif dan memulihkan hubungan antara masyarakat dan penyelenggara layanan publik.
Baik restorative justice dalam perkara pidana, maupun metode propartif dalam penyelesaian pelayanan publik, keduanya mencerminkan arah baru dalam membangun keadilan yang lebih manusiawi. Pendekatan yang tidak lagi kaku pada pembuktian atau penghukuman semata, tetapi terbuka pada jalan damai, tanggung jawab sosial, dan pemulihan relasi antara manusia dengan manusia.
Pada akhirnya, keadilan tidak selalu tentang menghukum. Dalam banyak situasi, terutama perkara-perkara kecil yang terjadi di antara sesama warga masyarakat, pemulihan relasi sosial lebih penting daripada menghitung seberapa lama seseorang harus berada di balik jeruji. Keadilan restoratif menghadirkan pendekatan yang lebih manusiawi, yang melihat kejahatan bukan semata pelanggaran hukum, tetapi juga pelanggaran terhadap hubungan dan nilai-nilai sosial. Dalam masyarakat seperti Indonesia yang menjunjung tinggi nilai gotong royong, kekeluargaan, dan musyawarah, restorative justice sebenarnya bukan hal baru. Ia merupakan bagian dari tradisi kita yang selama ini hidup dalam bentuk "islah", "musyawarah kampung", dan bentuk-bentuk penyelesaian damai lainnya yang telah dilakukan jauh sebelum hukum formal diberlakukan secara masif.
Namun, agar pendekatan ini dapat menjadi bagian kuat dalam sistem peradilan kita, dibutuhkan pemahaman yang luas, pelatihan yang memadai, serta komitmen untuk tetap menempatkan keadilan substantif di atas segala kepentingan. Restorative justice bukan jalan pintas, tetapi jalan alternatif yang membawa harapan, bahwa di tengah kerasnya hukum, masih ada ruang untuk memperbaiki, memaafkan, dan memulihkan.
Oleh:
Dida Rizakti Kiswara
Asisten Ombudsman RI