• ,
  • - +

Artikel

Restitusi yang Terlupakan: Catatan Kritis atas PSU Pemilihan Gubernur Papua 2024 dan Tanggung Jawab KPU
• Senin, 16/06/2025 •
 
Ferdinan W.R Payawa

Abstrak : Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan koreksi hukum terhadap masalah prosedural dalam pemilihan gubernur Papua. Namun, dalam praktiknya, mekanisme restitusi yang seharusnya memulihkan hak dan keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan, seperti peserta pemilu, penyelenggara, dan pemilih, masih kurang diterapkan. Pandangan ini bertujuan untuk menganalisis alasan mengapa mekanisme restitusi tidak diintegrasikan dalam respons Komisi Pemilihan Umum (KPU) setelah putusan MK, serta menyarankan perbaikan regulasi dan pandangan tentang pemulihan hak dalam penyelenggaraan pemilu. Pengamatan ini menggunakan data normatif dan studi kasus pemilihan gubernur Papua sebagai contoh. Hasilnya menunjukkan bahwa rendahnya penerapan restitusi disebabkan oleh kurangnya norma, keterbatasan kelembagaan, dan pengaruh politik dalam kebijakan pemilu daerah. Artikel ini merekomendasikan perlunya reformasi hukum pemilu dan penerapan prinsip keadilan restoratif dalam pengelolaan pemilu di Indonesia.

Kata Kunci: Restitusi, pemilu, KPU, Mahkamah Konstitusi, PSU, Pilgub Papua

 

Pendahuluan

Pemilihan umum yang adil dan transparan merupakan dasar penting dari demokrasi. Namun, dalam pelaksanaannya sering terjadi pelanggaran dan kecurangan yang mengakibatkan masalah hukum. Salah satu cara untuk memperbaiki keadaan ini adalah dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang dapat menghasilkan perintah Pemungutan Suara Ulang (PSU).

Putusan MK mengenai pemilihan gubernur Papua menunjukkan adanya koreksi hukum terhadap berbagai masalah administratif dan indikasi pelanggaran dalam tahapan pemilihan. Namun menariknya, dalam seluruh proses PSU tersebut tidak ada langkah sistematis untuk memulihkan hak-hak pihak yang dirugikan. Dalam prinsip negara hukum modern, pemulihan atas kerugian akibat kesalahan prosedural adalah suatu keharusan, baik secara moral maupun hukum. Uraian ini ditulis untuk mengidentifikasi kekosongan hukum dan dampak praktis dari tidak diterapkannya restitusi oleh KPU.

Restitusi Dalam Hukum Positif

Restitusi adalah upaya yang lebih umum dikenal dalam hukum perdata dibandingkan dengan hukum pidana. Restitusi merujuk pada ganti kerugian yang dibayarkan oleh seseorang karena kerugian yang dialami orang lain. Di Indonesia, restitusi sudah diatur dalam beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah. Terdapat sembilan undang-undang dan empat peraturan pemerintah yang mengaturnya, antara lain:

1.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHP);

2.    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Partai Politik;

3.     Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;

4.     Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban jo UU Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

5.    Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;

6.     Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia;

7.     Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik;

8.     Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak;

Namun dalam KUHP, restitusi tidak diatur sebagai jenis pidana, sehingga hingga kini tidak dianggap sebagai bagian dari hukum pidana.

Restitusi Dalam Pelayanan Publik Kepemiluan

Penyelenggaraan Pemilu 2024 di Papua menghadapi berbagai masalah mendasar dalam pelayanan publik, khususnya dalam pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih. Dalam hal ini, restitusi sebagai mekanisme korektif dalam pelayanan publik sangat penting untuk dipahami dan diterapkan. Restitusi tidak hanya berkaitan dengan ganti rugi finansial, tetapi juga mencakup pemulihan atas kerugian non-materiil, seperti hilangnya hak, ketidakadilan administratif dan perasaan diabaikan sebagai warga negara.

Banyak pengaduan dari masyarakat terkait keterlambatan distribusi logistik pemilu, kekurangan surat suara, perubahan lokasi tempat pemungutan suara (TPS) tanpa sosialisasi, serta ketidaksiapan petugas di lapangan. Situasi ini mengakibatkan sebagian masyarakat terutama di daerah terpencil, wilayah tertentu dan komunitas adat tidak dapat menggunakan hak pilih mereka secara optimal.

Dari sudut pandang pelayanan publik, semua kejadian tersebut menunjukkan bahwa pelayanan yang diberikan tidak memenuhi standar minimal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Negara berkewajiban untuk menyediakan pelayanan administratif, informasi yang terbuka dan perlindungan terhadap hak-hak dasar warga negara. Ketika kewajiban ini tidak terpenuhi, negara/pemerintah harus memberikan kompensasi, sehingga restitusi menjadi cara untuk mengembalikan kepercayaan publik dan meningkatkan kualitas layanan di masa depan. Namun tak kalah penting nya adalah kompetensi penyelenggara menjadi taruhan dalam pelaksanaan Pemilu, Penyelenggara yang tidak kompeten bukan sekadar kesalahan administratif, mereka adalah ancaman nyata terhadap kualitas demokrasi. Karena itulah, tidak mengherankan jika cacat administrasi yang mereka sebabkan kemudian memaksa MK mengeluarkan keputusan yang pada dasarnya adalah koreksi terhadap kegagalan sistemik. Maka, memperbaiki kualitas penyelenggara pemilu adalah langkah strategis demi menyelamatkan marwah demokrasi itu sendiri.

Makna dan Urgensi Restitusi Dalam Pemilu

Secara konseptual, restitusi adalah bentuk pemulihan atau kompensasi terhadap kerugian yang dialami individu atau kelompok akibat tindakan yang melanggar hukum atau prosedur yang adil. Dalam konteks pemilu, restitusi dapat mencakup:

1.    Pengembalian biaya kampanye yang terbuang akibat pelanggaran yang terbukti.

2.     Pemulihan hak suara masyarakat yang hilang karena kesalahan dalam daftar pemilih.

3.     Kompensasi bagi penyelenggara pemilu di tingkat bawah yang menjadi korban konflik atau kesalahan sistem.

4.    Permintaan maaf dari KPU kepada masyarakat di wilayah terdampak.

5.    Penjaminan pelayanan administratif yang lebih baik pada PSU, termasuk distribusi logistik, sosialisasi ulang dan jaminan keamanan.

 Tujuan penerapan restitusi oleh penyelenggara adalah:

1.     Mengembalikan keadilan: Restitusi bertujuan untuk memulihkan keadilan bagi peserta pemilu atau pihak lain yang mengalami kerugian akibat kesalahan dalam proses pemilu.

2.     Meningkatkan kepercayaan: Restitusi juga bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu dan lembaga penyelenggara pemilu.

Dengan demikian, penerapan restitusi dalam pelaksanaan pemilu dapat membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu dan lembaga penyelenggara pemilu.

Kondisi Empiris di Pemilihan Gubernur Papua

Putusan MK yang memerintahkan PSU seharusnya menjadi kesempatan untuk menerapkan restitusi. Namun, pengamatan menunjukkan bahwa KPU tidak melakukan upaya untuk merumuskan atau melaksanakan restitusi. Tidak ada mekanisme untuk mengklaim kerugian, tidak ada verifikasi dampak finansial atau administratif dan tidak ada skema pemulihan untuk kelompok yang terdampak.

Beberapa indikasi kelemahan tersebut adalah:

1.   Tidak adanya peraturan teknis dari KPU yang mengatur restitusi.

2.   Ketiadaan anggaran atau sumber daya untuk pelaksanaan kompensasi.

3.   Budaya birokrasi di dalam penyelenggara yang cenderung defensif dan tidak reflektif terhadap kesalahan internal.

4.   Ketakutan akan preseden hukum yang dapat memicu gugatan lanjutan.

Kekosongan Hukum dan Lemahnya Kelembagaan

Dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan dalam PKPU, tidak terdapat pasal yang secara eksplisit menjamin hak restitusi bagi pihak yang dirugikan akibat pelanggaran prosedural. Sementara itu, MK hanya memberikan putusan pemungutan ulang tanpa mandat pemulihan hak secara jelas.

UU Pemilu lebih fokus pada aspek teknis dan prosedural pemilihan, tetapi kurang menekankan aspek pelayanan publik yang bersifat preventif dan korektif. Di sisi lain, UU Pelayanan Publik memiliki instrumen koreksi seperti pengaduan, evaluasi kinerja, bahkan restitusi, namun belum banyak digunakan dalam konteks pengawasan Pemilu.

Akibatnya, KPU menjalankan PSU hanya berdasarkan prosedur, tanpa mempertimbangkan keadilan yang lebih substansial. Kelemahan kelembagaan KPU di daerah, terutama di Papua dengan kompleksitas geografis dan sosial-politik yang tinggi, memperburuk kurangnya inisiatif untuk membangun mekanisme kompensasi.

Harmonisasi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pelayanan Publik

Pemilu merupakan pilar utama dalam sistem demokrasi Indonesia. Di sisi lain, pelayanan publik adalah wujud nyata dari fungsi negara dalam memenuhi hak-hak dasar warga negara. Namun, kedua hal ini sering berjalan terpisah. Padahal, Pemilu adalah bagian dari pelayanan publik karena terkait langsung dengan pemenuhan hak konstitusional warga untuk memilih dan dipilih.

Oleh karena itu, penting untuk mendorong harmonisasi antara Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik), agar penyelenggaraan Pemilu mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipasi dan keadilan administratif. Beberapa contoh kekosongan harmonisasi aturan adalah:

1.  Tidak adanya kewajiban bagi KPU dan Bawaslu untuk menyusun Standar Pelayanan Publik sesuai yang diatur dalam UU No. 25/2009.

2.  Tidak adanya mekanisme restitusi administratif bagi warga yang dirugikan dalam proses pemilu.

3.  Pengawasan publik terhadap penyelenggara pemilu belum terintegrasi dalam sistem pengawasan pelayanan publik oleh lembaga seperti Ombudsman RI.

Dari uraian tersebut di atas, perlu adanyanya perbaikan dibeberapa aspek, yaitu :

1.  Revisi Regulasi: UU Pemilu dan PKPU perlu direvisi untuk mengintegrasikan restitusi sebagai bagian penting dari manajemen pemilu, terutama setelah putusan Mahkamah Konstitusi.

2.  Membangun Skema Restoratif: KPU dapat mengembangkan protokol pemulihan hak yang melibatkan pendekatan keadilan restoratif, termasuk dialog terbuka dan kompensasi.

3.  Peningkatan Kapasitas Hukum: KPU perlu dilengkapi dengan pemahaman tentang prinsip perlindungan hak pemilih dan peserta pemilu secara menyeluruh.

4.  Transparansi dan Akuntabilitas: Pelaksanaan PSU harus disertai laporan terbuka mengenai dampak, kerugian, dan upaya pemulihan yang dilakukan.

Kesimpulan

Harmonisasi antara UU Pemilu dan UU Pelayanan Publik sangat penting untuk menciptakan demokrasi yang inklusif, adil, dan melayani. Pemilu bukan hanya sekadar kontestasi politik, tetapi juga bentuk pelayanan negara kepada rakyat yang harus dilakukan dengan profesionalisme dan prinsip keadilan administratif.

Minimnya penerapan restitusi oleh KPU setelah putusan Mahkamah Konstitusi dalam kasus PSU Pilgub Papua menunjukkan lemahnya integrasi prinsip keadilan dalam pengelolaan pemilu di Indonesia. Ketika pemilu dipandang hanya sebagai urusan teknis, maka aspek pemulihan hak atas kesalahan dan kerugian akan terabaikan. Padahal, demokrasi yang sejati tidak hanya diukur dari seberapa baik suara dihitung, tetapi juga seberapa adil hak masyarakat dipulihkan ketika proses pemilihan mengalami cacat hukum.

Negara tidak boleh membiarkan pemilu disandera oleh ketidakmampuan aparatur penyelenggara. Reformasi kelembagaan, pelatihan berkelanjutan, hingga evaluasi menyeluruh terhadap kinerja petugas pemilu harus dilakukan secara konsisten. Pemilu yang adil hanya bisa dihasilkan oleh penyelenggara yang memiliki kapabilitas.

 

 

Oleh : Ferdinand W R Payawa

Insan Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Papua    





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...