Rekognisi Eksternal dan Kinerja Pelayanan Publik
Oleh : Shulby Yozar Ariadhy
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kep. Bangka Belitung
Diskusi tentang keterkaitan antara capaian kinerja dengan faktor pendorongnya telah banyak dilakukan oleh sejumlah ahli. Beberapa contoh variabel insentif seperti motivasi yang bersifat materil (promosi jabatan, gaji) dan motivasi non-materil (penghargaan atau apresiasi) diyakini punya dampak terhadap performa pegawai, termasuk pada sektor publik. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Ashraf, Bandiera, & Jack (2014) menyatakan bahwa pengakuan (rekognisi) secara sosial dari pihak eksternal seperti pemberian predikat "pegawai teladan bulan ini (employer of the month)" dapat menjadi sumber motivasi peningkatan kinerja pegawai. (Gauri et,al:2021)
Selanjutnya kiranya dapat dibuat hipotesis sederhana bahwa praktik rekognisi oleh eksternal ini juga dapat dilakukan pada level organisasi. Pada sektor publik di Indonesia, bentuk pengakuan atau rekognisi eksternal ini dapat dilihat dari beberapa instrumen pemberian penghargaan oleh sejumlah instansi publik dengan menggunakan sejumlah kriteria tertentu yang biasanya bersifat sektoral. Pada tata kelola keuangan daerah, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia mempunyai instrumen opini terhadap tata kelola dimaksud setiap tahunnya. Selanjutnya dikenal juga beberapa indeks yang dikeluarkan oleh sejumlah instansi seperti Indeks Profesionalitas ASN (BKN), Survey Penilaian integritas (KPK), Indeks Keterbukaan Informasi (Komisi Informasi) serta berbagai macam perangkat penilaian lain.
Ombudsman Republik Indonesia sendiri telah memiliki instrumen penilaian yang saat ini dikenal dengan Penilaian Kepatuhan Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang diberikan kepada sejumlah instansi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia. Adapun makna "Kepatuhan" dimaksud adalah pemenuhan aspek standar pelayanan yang telah ditetapkan dalam UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sejak dimulai pada tahun 2015, survei ini telah mengalami sejumlah perkembangan metode dan substansi penilaian. Misalnya, pada tahun awal penilaian Ombudsman RI menekankan pada kriteria pemenuhan aspek keberadaan secara fisik dari standar pelayanan publik di kantor-kantor pelayanan publik. Selanjutnya, sejak tahun 2022 digunakan kriteria penilaian terhadap aspek kompetensi petugas, ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan, persepsi pengguna layanan serta pengelolaan pengaduan pelayanan publik. Adapun hasil akhir dari survei ini adalah kategorisasi terhadap tingkat status kepatuhan terhadap standar pelayanan publik yang menjadi semacam potret wajah pelayanan publik pada lokus penilaian tertentu.
Secara normatif, penilaian ini merupakan salah satu wujud pelaksanaan fungsi pengawasan pelayanan publik yang dimiliki oleh Ombudsman RI sesuai dengan amanat UU No. 37 Tahun 2008. Pada aspek pencegahan maladministrasi, pemenuhan standar pelayanan publik pada instansi penyelenggara pelayanan publik diharapkan akan memberikan kepastian dalam proses menghasilkan produk jasa, barang dan pelayanan administratif di sektor publik. Sebagai contoh, perbaikan pada kriteria formal pada pengelolaan pengaduan diharapkan akan mendorong tumbuhnya akuntabilitas penyelengaraan pelayanan publik.
Secara empiris, jumlah instansi yang mengalami perbaikan status hasil penilaian terus bertambah setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen penilaian ini mampu mendorong instansi penyelenggara untuk memenuhi sejumlah tuntutan formal dalam tata kelola pelayanan publik, khususnya pada aspek yang menjadi penilaian. Akan tetapi, masih ada tantangan besar untuk mengukur hubungan kausalitas antara capaian tersebut dengan dampak kinerja pembangunan yang lebih luas .
Untuk itu, ada beberapa catatan yang dapat diberikan terhadap praktik pengakuan eksternal di sektor publik di Indonesia yang ada selama ini. Pertama, perlunya perbaikan metodologi secara terus menerus oleh penyelenggara penilaian. Harus diakui bahwa berbagai macam perangkat penilaian tersebut memiliki keterbatasan untuk digunakan sebagai cerminan kondisi kualitas pelayanan publik secara keseluruhan. Hal tersebut salah satunya terkait dengan adanya bias metode penilaian yang digunakan. Misalnya adanya kecenderungan perhatian yang besar terhadap aspek administratif dalam kinerja yang menjadi komponen penilaian. Selain itu, dalam pengumpulan data, beberapa perangkat penilaian menggunakan metode self assessment (penilaian mandiri) yang berpotensi untuk menurunkan validitas hasil. Sehingga kita terkadang dapat menemukan sejumlah paradoks seperti status penilaian tata kelola yang baik pada aspek tertentu di suatu daerah namun masih terdapat kejadian operasi tangkap tangan untuk kasus korupsi pada daerah yang sama. Sebagai contoh lainnya, nilai indeks kepuasan masyarakat (IKM) yang sangat baik namun bertolak belakang dengan fakta kualitas pelayanan publik yang diberikan. Dengan demikian, perbaikan secara metodologi diharapkan akan semakin memperkecil kesenjangan antara capaian (output) penilaian dengan dampak yang dapat dirasakan secara langsung dalam mendorong tata kelola pelayanan publik yang lebih baik.
Kedua, instansi penyelenggara pelayanan publik perlu menjadikan berbagai hasil penilaian oleh pihak eksternal sebagai bahan formulasi kebijakan. Hal ini menjadi penting untuk menghindari pemenuhan aspek fromalitas semata dari pengakuan eksternal tersebut. Meskipun berbagai macam penilaian tersebut dapat menjadi salah satu indikator capaian kinerja pada level organisasi namun perlu dilakukan evaluasi bagaimana korelasi atas berbagai capaian penilaian yang diterima dengan indikator pembangunan yang lebih makro sifatnya. Idealnya ada penjelasan tentang bagaimana kontribusi berbagai indeks atau bentuk hasil penilaian yang lain terhadap indikator pembangunan relevan dengan instrumen penilaian seperti pertumbuhan ekonomi, indeks pembangunan manusia dan sebagainya.
Referensi
Gauri et,al (2021) Motivating bureaucrats through social recognition: External validity-A tale of two states, https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0749597818305090