• ,
  • - +

Artikel

Reformasi Birokrasi dan Keterbukaan Informasi Publik
• Rabu, 26/04/2023 •
 
Benny Sanjaya, S.H., M.H. Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi, Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan

Hak untuk mendapatkan informasi jarang diketahui. Namun motto terkait keterbukaan informasi publik acapkali kita dengar. Keduanya bersambut, karena hak untuk mendapatkan informasi baru bisa dirasakan publik bila pemerintah juga terbuka dalam mengelola dan menyampaikan informasi kepada publik.

Menghubung adanya hak bagi warga negara untuk mendapatkan informasi guna pengembangan aktualisasi diri maupun kebutuhan sosial, dimana hal tersebut merupakan inti substansi yang telah dijamin dan diatur dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Keterbukaan informasi publik sendiri merupakan salah satu wujud dari reformasi birokrasi dan pelayanan publik. Namun,  tidak dipungkiri masih banyak oknum-oknum penyelenggara pelayanan publik yang arogan, menarik mundur reformasi birokrasi dengan menolak keterbukaan informasi bagi publik, untuk terbuka atas kebijakan yang dikeluarkan maupun hasil kinerjanya, beralasan sebagai urusan privasi instansi yang tidak etis bila nanti berpotensi dikritisi publik.

Beranjak hingga sekarang, negara kian menjamin adanya hak warga negara untuk memperoleh dan mengetahui informasi publik yang dituangkan khusus dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Inti tujuan yang diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik adalah untuk menjamin hak publik dapat mengetahui rencana pembuatan kebijakan beserta program kebijakan iringannya, mengetahui proses pengambilan keputusan yang berdampak pada publik, serta alasan diambilnya keputusan tersebut.

Tujuan lain yang diatur yakni mendorong partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan dan pengelolaan pemerintahan, mengembangkan ilmu pengetahuan guna mencerdaskan kehidupan bangsa, dan yang terpenting adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.

Selain itu, Keterbukaan Informasi Publik kepada masyarakat tidak hanya menjadi kebutuhan sekunder layanan, namun pengelolaan informasi telah menjadi salah satu komponen utama dari enam komponen penyelenggaraan pelayanan publik, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Pada intinya, Undang-Undang Pelayanan Publik mewajibkan penyelenggara layanan publik untuk mengelola sistem informasi dalam bentuk pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi kepada pengguna layanan, baik secara lisan, tertulis, bahasa gambar, maupun yang dapat diakses penyandang disabilitas netra dalam bentuk huruf braile, kemudian diinformasikan baik secara manual ataupun elektronik. Muaranya, keseluruhan hak atas memperoleh informasi publik tadi diatur dalam peraturan khusus, bertujuan guna menjamin transparansi terhadap penyelenggaran pelayanan publik.

Namun, disayangkan masih ada penyelenggara layanan publik yang sepertinya "alergi" bila dimintai keterbukaan informasi kepada publik. Dari skala lingkup pemerintahan dasar saja, penulis pernah menerima laporan masyarakat yang mengadukan kantor desanya, terkait tidak diberikannya layanan informasi atas transparansi pengelolaan anggaran dana desa, baik untuk kegiatan pembangunan fisik maupun non fisik.

Laporan bermula dari tidak dipublikasikannya hasil pengelolaan anggaran desa, yang lazimnya diinformasikan dan terpampang di kantor desa. Alhasil, masyarakat desa pun tidak mengetahui apa saja proyek pembangunan yang sudah direncanakan maupun sudah dikerjakan perangkat desa. Sedangkan secara kasat mata terlihat banyak sisa-sisa material pembangunan  dibiarkan tidak terpakai di sekitaran proyek pembangunan fisik, beberapa proyek pembangunan ada yang terlambat rampung, masyarakat merasa proyek pembangunan yang ada di desa tidak sesuai prioritas dan tidak pernah dilibatkan,  sehingga muncul kecurigaan bila pengelolaan dana tadi menjadi tidak maksimal karena dalam pengambilan kebijakan hanya untuk menguntungkan pihak terterntu, pengelolaan dana desa boleh jadi ada masuk ke kantong pribadi.

Sedangkan di sisi aparat desa merasa "tidak wajib" memberikan keterbukaan informasi kepada publik. Khawatir bila akan dijadikan sasaran bola panas yang justru menghambat kinerja pembangunan. Ada tudingan permintaan informasi hanya untuk mencari-cari sela guna politisasi kepemimpinan kepala desa. Apalagi bila pemohon informasi adalah kelompok masyarakat, aparat desa serempak tutup mulut. Ada kekhawatiran bahkan ketakutan bila kebijakan dan pemanfaatan anggarannya dikritisi mendalam.

Padahal transparansi terhadap akses informasi publik sangat penting guna meminimalisir tindakan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, setidaknya maladministrasi yang dapat dicegah sedari awal adalah penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur dalam pelayanan publik, yang apabila pasif dibiarkan maka akan masif berpotensi terjadinya tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal tersebut tentunya akan menghambat kemajuan pembangunan dan reformasi birokasi lebih baik, karena tidak transparannya penyelenggaraan layanan publik akan membuat suatu kebijakan maupun pembangunan minim partisipasi publik. Sehingga kebijakan maupun pembangunan yang ada beresiko tidak tepat sasaran, tidak maksimal pelaksanaan kebijakannya, dan tidak optimal pemanfaatan pembangunannya.

Di saat ini momentum kemajuan teknologi informasi digital yang berkembang pesat perlu disambut positif pemerintah untuk membuka partisipasi publik, guna memperoleh tanggapan publik sebagai bentuk keterlibatan publik dalam proses demokrasi dan reformasi birokrasi pemerintahan, agar rencana kebijakan dan tujuan pembangunan didukung sesuai kebutuhan publik.

Kaum milenial sebagai pengguna sarana informasi digital yang sangat banyak jumlahnya saat ini, perlu disuguhkan informasi positif tentang proses berjalannya pemerintahan, mesti berimbang, tidak melulu disuguhi kasus-kasus negatif abdi negara yang ramai diberitakan baik cetak maupun digital, sehingga kaum milenial pesimis, condong bersikap satire, dalam merespons kebijakan dan menanggapi kinerja pemerintah.

Terakhir, harap penulis, biarkan publik turut mengawasi kinerja pemerintahan melalui keterbukaan informasi publik, pemerintah transparan tidak anti kritik. Pemerintah tidak hanya mempublikasi seremonial acara tertentu kepada publik melalui insan pers, namun juga menginformasikan prestasi apa saja yang telah diraih pemerintah, agar publik dapat terus mendukung dan percaya terhadap pemerintah.

 

Benny Sanjaya, SH., MH.

Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi, Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...