• ,
  • - +

Artikel

Pungli Pendidikan, Sumbangan Serasa Pungutan
• Kamis, 14/07/2022 •
 
Adel Wahidi, Asisten Ombudsman Sumatera Barat

Sumbangan serasa pungutan, itu headline Haluan beberapa waktu lalu. Sumbangan yang tadinya hanya bersifat suka rela, tidak mengikat, tiba-tiba berubah menjadi wajib, terikat dengan jumlah dan waktu pembayaran. Bagi yang tidak membayar, hak akademiknya dibatasi dengan tidak boleh ikut ujian, atau rapornya ditahan.

Itu pula yang senantiasa dilaporkan masyarakat ke Ombudsman. Setiap tahun, layanan pendidikan adalah substansi layanan publik yang paling banyak dilaporkan masyarakat. Sebagian besar mengenai permintaan dana pendidikan atau pungutan liar (pungli) oleh komite sekolah atau satuan pendidikan.

Pungli kemudian menjadi momok dalam dunia pendidikan kita. Biasanya terjadi di awal tahun ajaran. Minggu-minggu inilah, di mana proses belajar mengajar di satuan pendidikan baru saja dimulai.

Awal tahun ajaran, sekolah akan dihadapkan pada problem pendanaan pendidikan. Dalam rapat komite, biasanya akan ada penjelasan dari satuan pendidikan atau komite bahwa keuangan sekolah dari pemerintah tidak cukup, maka perlu tambahan pendanaan pendidikan. Perlu partisipasi orang tua guna menutupi anggaran program sekolah yang telah dibuat.

Dari kondisi inilah muncul inisiatif untuk menggalang dana pendidikan dari orang tua. Sayangnya, bentuknya adalah pungutan, bukan sumbangan atau bantuan. Padahal, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (2) Permendikbud 75/2016 tentang Komite Sekolah, komite hanya diberikan kewenangan menggalang dana dalam bentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.

Inilah dalil untuk menegaskan adanya pungli atau tidak, karena sederhananya pungli adalah setiap penarikan atau penggalangan dana dari masyarakat yang tidak ada dasar hukumnya. Lalu, apa sebenarnya perbedaan sumbangan, pungutan dan bantuan?


Sumbangan, Pungutan dan Bantuan

Sesuai dengan Pasal 1 ayat (5) Permendikbud 75/2016 tentang Komite Sekolah, sumbangan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh peserta didik, orang tua/walinya baik perorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela, dan tidak mengikat satuan pendidikan.

Sebaliknya, pungutan, sesuai dengan Pasal 1 ayat (4) Permendikbud 75/2016 tentang Komite Sekolah menjelaskan bahwa pungutan adalah penarikan uang oleh sekolah kepada peserta didik, orang tua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan. Jadi, berbeda dengan sumbangan yang bersifat sukarela, pungutan sebaliknya bersifat wajib dan mengikat.

Sementara, bantuan, sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Permendikbud 75/2016 tentang Komite Sekolah, menyebutkan bahwa bantuan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh pemangku kepentingan satuan pendidikan di luar peserta didik atau orang tua/walinya, dengan syarat yang disepakati para pihak. Intinya, pemberian dana dari pihak luar, bukan orang tua/wali murid serta pihak masih terkait dengan sekolah.

Jadi, perbedaan sumbangan, pungutan dan bantuan cukup jelas dan tegas. Dan seperti dijelaskan di atas, komite hanya dapat menggalang dana dalam bentuk sumbangan dan bantuan, bukan pungutan.

Bagaimana jika komite sekolah tetap bersikeras menggalang dana dalam bentuk pungutan? Tanpa rapat komite, dikaitkan pula dengan urusan akademik. Orang tua ditakut-takuti, jika tak dibayar tidak boleh ikut ujian, tidak boleh menerima rapor. Laporkan saja pada Ombudsman Sumatera Barat, pada layanan aduan 0811 955 3737. Berani lapor itu baik, gratis tidak berbiaya.


Alternatif Solusi

Ada dua alternatif solusi yang dapat dilakukan. Pertama, penganggaran Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA). Kepala daerah yang selama berjanji manis pendidikan gratis, harus membuktikan keberpihakan dengan memunculkan mata anggaran BOSDA, setiap anak, setiap tahun. Tidak cukup hanya melarang komite menggalang dana sumbangan/pungutan.

Larangan harus diikuti dengan penganggaran BOSDA. Penganggaran BOSDA sekaligus akan memenuhi biaya siswa setiap tahun pada satuan pendidikan. Kendati di daerah-daerah, setahu saya biaya siswa per tahun belum pernah dihitung. Namun, faktanya banyak kepala sekolah yang mengeluhkan bahwa dana BOS dari APBN tidak cukup.

Jika biaya setiap siswa dihitung, misalnya di SD didapatkan angka Rp1.200.000,00/siswa. Maka BOSDA setiap siswa harusnya Rp200.000,00/tahun, karena BOS APBN di SD setiap siswa Rp1.000.000,00/tahun. Demikian juga dengan SMP dan SMA sederajat, penganggaran BOSDA menutupi kekurangan BOS APBN, sesuai dengan estimasi biaya setiap siswa, setiap tahun.

Akan berat secara keuangan daerah. Ya, namun, Pemda perlu menyisir anggaran pendidikannya yang katanya telah melebihi 20% dari APBD. Jangan-jangan anggaran pendidikan itu lebih banyak untuk penyelenggaraan birokrasi pendidikan itu sendiri, boros dan tidak efektif. Anggaran pendidikan harusnya berpihak pada satuan pendidikan, di sanalah adanya guru, siswa dan sarana.

Jika tidak ada anggaran BOSDA, maka penyelenggaraan pendidikan di sekolah hanya akan apa adanya saja, stagnan atau jalan di tempat. Delapan standar mutu pendidikan akan sulit dicapai, secara regulasi juga, komite hanya dapat menggalang dana dalam bentuk sumbangan/bantuan.

Kedua, kepercayaan orang tua. Kepercayaan orang tua agar sumbangannya dikelola dengan baik, menurun. Itulah yang menyebabkan rapat komite di sekolah negeri sering deadlock.

Masyarakat menolak menyumbang, masalahnya bukan hanya karena orang tua tak mampu, akan tetapi orang tua juga tidak percaya pada komite. Komite sering kali tidak mampu mempertanggungjawabkan keuangan secara transparan dan akuntabel. Orang tua tidak dapat mengakses laporan keuangan komite secara terbuka setiap tahun.

Pengelolaan keuangan komite yang transparan dan akuntabel, akan meningkatkan kepercayaan orang tua. Tidak ada orang tua yang tak sayang pada anak, untuk pendidikan anak apa pun diupayakan. Tak ado kayu janjang dikapiang. Lalu, mengapa penggalangan dana komite sering kali ditolak? Jawabannya, komite kurang dipercaya. Komite mesti berbenah. Salam.


Oleh:

Adel Wahidi - Asisten Ombudsman Sumatera Barat





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...