Pungli Masih Ada
Enam tahun sudah berlalu, sejak pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) pada 2016. Namun setiap tahun kasus pungli masih terus terjadi. Sepanjang 2021 misalnya, kasus pungli masih banyak ditemukan dalam pelayanan publik. Tentu harus menjadi cermatan kita bersama, apa yang menjadi penyebab pungli terus terjadi, padahal penindakan oleh Saber Pungli sudah banyak dilakukan. Apakah tidak cukup memberikan efek jera, dan membuat orang takut untuk melakukan praktik pungli. Atau ada dorongan lain, selain dorongan pribadi yang membuat praktik pungli sulit dihilangkan.
Melihat permasalahan pungli dari tampak luarnya saja, tentu tidak akan memberikan informasi yang lengkap, untuk mencari peyebab pungli masih saja terjadi. Pungli di dunia pendidikan misalnya, setiap tahun selalu masuk pengawasan Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan. Banyak dari orang tua siswa yang mengeluhkan praktik pungli di sekolah. Namun pihak sekolah menapikan hal tersebut, dan berlindung dibalik nama komite sekolah. Dimana sumbangan yang dipatok untuk setiap siswa/orang tua, diklaim merupakan hasil kesepakatan rapat komite, untuk pembangunan sarana prasarana sekolah dan kegiatan sekolah.
Penyelenggaraan dan pendanaan pendidikan, memang bukan hanya kewajiban sekolah dan pemerintah, tapi juga harus ada keterlibatan masyarakat, dimana masyarakat juga memiliki peranan dalam memajukan pendidikan. Namun sekolah juga harus menyadari bahwa kemajuan pendidikan, sebenarnya lebih besar ditentukan oleh sosok seorang guru. Bukan bangunan sekolah yang mewah dengan segala fasilitasnya yang lengkap. Sekolah dan fasilitas hanyalah benda mati, tidak akan melahirkan generasi yang cerdas, jika tidak ada sosok seorang guru yang dapat mendidik dan menanamkan budi pekerti, membangkitkan imajinasi, menggali bakat dan potensi setiap anak didiknya, untuk terus berkembang, guna masa depan yang lebih baik.
Film laskar pelangi, sesungguhnya ingin menyadarkan kita, bahwa bangunan sekolah yang megah, fasilitas yang lengkap, dan anggaran sekolah yang banyak, bukanlah faktor utama menjadikan pendidikan berkualitas. Dari sekolah yang sederhana dan banyak keterbatasan, sosok seorang guru mampu melahirkan generasi yang cerdas, membangkitkan imajinasi, menggali dan mengembangkan bakat dan potensi anak didiknya, serta meyakinkan anak didiknya untuk berani bermimpi tinggi. Hal ini tidak mungkin terjadi, jika mindset seorang guru, bahwa sekolah harus bangunan mewah, fasilitas lengkap, anggaran yang banyak.
Dedikasi, tanggung jawab, keikhlasan dan kepiawaian sosok seorang guru merupakan modal berharga dalam pendidikan, agar setiap keterbatasan menjadi tantangan, bukan rintangan, dan setiap kesulitan menjadi kekuatan, bukan kelemahan. Sehinggan mendidik tidak menjadi proses tansaksional, hanya untuk mendapatkan materi, namun tidak terdapat ikatan emosional yang baik, antara guru dan murid. Lebih dari itu, mendidik juga merupakan pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara serta bentuk pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kepercayaan penulis, ilmu yang bermanfaat yang diajarkan seorang guru, akan menjadi amal jariah, dimana pahalanya terus mengalir, bahkan setelah sang guru wafat.
Dari permasalahan pungutan liar di dunia pendidikan, kita dapat belajar bahwa, dalam menjalankan pemerintahan dan pelayanan publik, harus menyesuaikan antara kemampuan institusi dan keinginan orang yang menjalankannya. Jangan sampai keinginan dalam melakukan kegiatan, program dan bahkan inovasi, melampaui kemampuan yang dimiliki, sehingga akan timbul potensi untuk mencari sumber lain agar keinginan tetap terlaksana, diantaranya dengan melakukan pungli.
Di sinilah salah satu pendorong, pungli masih terjadi kepada masyarakat. Dimana bukan hanya faktor kepentingan pribadi, namun ada faktor eksternal yang mendorongnya. Misalnya ada kegiatan, program, atau pembangunan di institusi yang tidak dapat tercover oleh anggaran yang ada, tapi tetap "dipaksakan" untuk dilaksanakan. Sehingga mendorong oknum yang ada di institusi tersebut, untuk melakukan pungli kepada masyarakat, bahkan pungli tersebut juga terjadi di internal instansi, demi terlaksananya kegiatan, program, pembangunan di instansi. Lebih parahnya lagi, ternyata pungli juga bisa terjadi antarinstitusi pemerintah. Institusi yang dianggap "lebih kuat", memungli institusi yang "lemah". Sehingga jika ada kegiatan non-bujet dilaksanakan, institusi yang "lemah" dengan terpaksa mendanai kegiatan tersebut.
Apa pun alasannya, pungli tidak dapat dibenarkan. Apalagi yang menjadi korban adalah masyarakat. Hendaknya setiap penyelenggara dan instutusi pelayanan publik bijak dan piawai, dalam menetapkan kegiatan, program dan pembangunan, harus berdasarkan anggaran yang ada. Jika tak ada anggaran, maka jangan memaksakan kehendak. Jangan sampai, terkesan memaksakan diri, dan pungli terjadi. Sehingga masyarakat dan banyak pihak menjadi korban, praktik pungli pun sulit dihilangkan.
Rujalinor, Asisten Bidang Pemeriksaan Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Selatan