• ,
  • - +

Artikel

PPDB dan Stigma Sekolah Favorit
• Kamis, 27/06/2024 •
 
Zayanti Mandasari, Asisten Perwakilan Ombudsman RI Prov. Kalsel

Tiga tahun sudah pemerintah berjuang untuk menghapuskan stigma sekolah favorit di tengah-tengah masyarakat. Hal itu dilakukan sebagai upaya pemerataan kualitas pendidikan. Salah satu cara upaya penghapusan stigma sekolah favorit tersebut dikemas dalam bentuk penyelenggaraan PPDB yang dibagi menjadi empat jalur, yakni zonasi, afirmasi, perpindahan tugas orang tua/wali, dan/atau prestasi. Sehingga calon siswa tak lagi bersaing dengan nilai tertinggi (istilahnya NIM tertinggi) untuk masuk ke sekolah pilihannya. Penulis masih melihat bagaimana sulitnya untuk menjebol nilai pada sekolah-sekolah yang sudah terkenal favorif di masyarakat, sebelum lahirnya Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Dan Sekolah Menengah Kejuruan.

Pasca hadirnya Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021, calon peserta didik mulai dibatasi untuk menuju sekolah berlabel favorit, dikarenakan calon peserta dibatasi pada kuota masing-masing jalur PPDB yang disediakan, walaupun nyatanya untuk jalur prestasi masih disediakan. Masing-masing jalur tersebut memiliki kuota masing-masing di setiap tingkatan sekolah misalnya untuk jalur zonasi tingkat SD paling sedikit 70%, tingkat SMP 50%, dan tingkat SMA 50%, jalur afirmasi paling sedikit 15%, jalur perpindahan paling banyak 5%. Sehingga calon peserta didik harus mempertimbangkan matang-matang, untuk mendaftar di jalur PPDB yang mana, karena hanya diperkenankan untuk mendaftar pada satu jalur saja.

Namun apakah pembatasan dalam rangka menghapuskan stigma sekolah favorit berdasarkan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 berjalan tanpa hambatan? Jawabannya tidak, karena nyatanya berdasarkan konsultasi dan laporan masyarakat ke Ombudsman Kalsel, terdapat modus baru untuk dapat menerobos pintu sekolah berlabel favorit tersebut. Dugaan kecurangan yang paling banyak dilaporkan ke Ombudsman Kalsel adalah dugaan rekayasa Kartu Keluarga (KK) agar dapat masuk melalui jalur zonasi, yang berdampak pada tidak lolosnya calon peserta didik yang domisilinya dari awal memang dekat dengan sekolah.

Jika merujuk pada Pasal 17 ayat (1) Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021, dijelaskan bahwa PPDB melalui jalur zonasi diperuntukkan bagi calon peserta didik baru yang berdomisili di dalam wilayah zonasi yang ditetapkan Pemerintah Daerah. Lebih lanjut ayat (2) menerangkan, bahwa Domisili calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling singkat 1 (satu) tahun sebelum tanggal pendaftaran PPDB. Ketentuan ini dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk tetap menuju ke sekolah berlabel favorit.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Ombudsman, ditemukan bahwa modus tersebut dilakukan segelintir pihak yang memang dengan sengaja memindahkan domisili melalui kartu keluarga (KK) jauh sebelum pelaksanaan PPDB, bahkan memisahkan si anak yang berencana masuk ke satu sekolah favorit tersebut, dengan KK orangtuanya, dan ikut dalam KK orang lain (teman orang tua) yang kebetulan rumahnya dekat dengan sekolah favorit yang hendak dituju, dengan status famili lain dalam KK. Padahal secara faktual anak tersebut masih tinggal dengan orang tuanya. Dengan kata lain, hanya data administratif kependudukannya dalam hal domisili yang berpindah.

Lantas apa yang salah dengan hal tersebut? Jika merujuk Pasal 17 ayat (2) di atas, tentu hal tersebut tidak menyalahi aturan. Namun yang menjadi masalah kemudian adalah, modus ini membuat anak yang benarbenar secara faktual berdomisili dekat dengan sekolah kemungkinan tersingkir (tidak dapat bersekolah di sekolah yang dekat dengan rumahnya) atas maraknya modus tersebut.

Bahkan menurut informasi dari beberapa Kepala Sekolah dan Panitia Penyelenggara PPDB (SMA/SMK) 2023 di Kota Banjarmasin, terjadi fenomena membludaknya jumlah pendaftar melalui jalur zonasi di dekat lokasi sekolahnya. Padahal secara faktual diketahui jumlah anak usia sekolah yang hendak menuju ke SMA/SMK di daerah tersebut, tidak sebanyak itu. Dan di tahun sebelumnya untuk jarak zonasi 700an meter, masih masuk dalam zonasi sekolah. Hal ini kemudian memicu orang tua calon peserta didik merasa tidak adil dan putus asa, lantaran anaknya tidak dapat diterima di sekolah yang memang dekat dengan rumahnya (salah satu laporan, jarak rumah dengan sekolah 711 meter). 

Atas kondisi tersebut, pihak sekolah tidak dapat berbuat banyak, dikarenakan Juknis penyelenggaraan PPDB di Kalsel misalnya, memang mensyaratkan KK yang diterbitkan paling singkat 1 (satu) tahun sebelum tanggal pendaftaran PPDB, hal ini sejalan dengan Pasal 17 ayat (2) Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021. Selain itu, tugas operator dalam melakukan verifikasi hanya melihat bukti dukung faktual berupa dokumen sebagai syarat PPDB.

Pihak sekolah tidak mempunyai tugas untuk melakukan verifikasi lapangan rumah/domisili masingmasing pendaftar, khususnya dalam jalur zonasi, sehingga dalam penentuan kelulusan jalur zonasi didasarkan pada kelengkapan administrasi dan jalur peta yang juga ditentukan sendiri oleh calon peserta didik, yang dilakukan dalam sistem PPDB online. Di beberapa sekolah, hanya melakukan verifikasi lapangan ketika ada laporan bahwa terdapat dugaan pemalsuan KK oleh calon peserta didik. Jika memang terbukti, maka pihak sekolah akan membatalkan kelulusan peserta didik berdasarkan surat pertanggung jawaban mutlak yang ditandatangani saat mendaftar, sebagai salah satu syarat jalur zonasi.

Akal-akalan berpindah domisili secara administratif melalui KK demi masuk dalam sekolah label favorit, namun nyatanya tinggal dalam jarak yang jauh dari sekolah, adalah hal yang tak sejalan dengan tujuan adanya jalur zonasi, padahal tujuan diadakannya PPDB jalur zonasi adalah untuk mendekatkan sekolah kepada peserta didik, hal ini juga mendukung upaya penggunaan kendaraan bermotor dikalangan anak sekolah (khususnya yang belum mempunyai SIM) sebagai kendaraan menuju sekolah. Jika dibiarkan, fenomena akal-akalan pindah domisili demi menuju sekolah favorit tersebut akan berdampak pada akses pada keadilan mendapatkan pendidikan bagi calon penerus bangsa.

Oleh karena itu perlu kiranya dilakukan peninjauan dan evaluasi terhadap ketentuan penyelenggaraan PPDB khususnya Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 dan Juknis penyelenggaraannya di masing-masing daerah. Fenomena berebut untuk masuk dalam sekolah berlabel favorit tersebut menjadi pekerjaan rumah kita bersama, baik pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk bersama-sama kualitas dan citra pendidikan di semua sekolah, agar stigma sekolah favorit di masyarakat tak lagi berkembang dan merusak tujuan pemerataan penyelenggaraan kualitas pendidikan.

 





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...