Potret Maladministrasi Layanan Kesehatan
Layanan kesehatan sebagai pelayanan dasar, harusnya diselenggarakan dengan mudah dan murah, sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengakses layanan kesehatan, baik pada tingkat pertama (Puskesmas/Klinik), maupun tahap lanjutan (di rumah sakit). Namun dalam pelaksanaannya masih kerap terjadi maladministrasi, baik berupa penyimpangan prosedur, tidak memberikan pelayanan, hingga perilaku tidak patut dari petugas pada layanan kesehatan.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa potret pelayanan publik di bidang kesehatan yang pernah dikeluhkan masyarakat ke Ombudsman Kalimantan Selatan, seperti pengaduan yang masuk dalam kategori tidak memberikan layanan, yakni pengaduan masyarakat terkait tidak tersedianya tenaga kesehatan (dokter umum) di salah satu puskesmas yang berada di Kab. Kotabaru, yang mengakibatkan kesulitan pada masyarakat yang hendak memeriksakan kesehatannya, sehingga berpotensi terjadi gangguan kesehatan masyarakat yang tidak tertangani dengan baik. Jika alasannya adalah keterbatasan ketersediaan tenaga Kesehatan, maka hal ini jauh hari bisa dimitigasi, dengan pengajuan dan koordinasi dengan pihak Dinas Kesehatan setempat agar diberikan kebijakan melalui adanya jadwal kunjungan dokter dari puskesmas yang berdekatan misalnya, dalam rentang waktu seminggu 2 kali, sebagai langkah antisipasi kekosongan dokter, sembari mengambil langkah lain untuk upaya pemenuhan formasi kekosongan tersebut, mengingat Dinas Kesehatan juga berperan untuk menjamin kelancaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana ketentuan Pasal 6 UU Pelayanan Publik.
Tak hanya masalah ketidaktersediaan dokter, masalah penanganan stunting juga menjadi salah satu keluhan masyarakat yang disampaikan ke Ombudsman Kalimantan Selatan, dimana masyarakat sudah menyampaikan ke salah satu fasilitas kesehatan di Kota Banjarbaru untuk meminta penanganan terhadap anak keluarga Pelapor yang diindikasikan stunting, namun tidak ada tindaklanjut atas permasalahan yang disampaikannya. Tentunya hal ini menjadi tanda tanya di tengah masyarakat, ditengah kencangnya isu penghentasan stunting di Indonesia. Idealnya penyelenggara yang telah mengetahui adanya informasi kebutuhan layanan tersebut, aktif untuk merespon kendala yang dihadapi masyarakat, jika merasa diperlukan koordinasi dengan pihak terkait misalnya Dinas Sosial untuk pemberian bantuan lainnya, maka dapat dilakukan kolaborasai untuk menyelesaikan kendala yang dihadapi masyarakat, hal ini di dukung dan difasilitasi pelaksanaannya sebagaimana Pasal 12 UU Pelayanan Publik, sehingga tidak menjadi alasan untuk tidak menindaklanjuti keluhan yang disampaikan masyarakat.
Ketersediaan obat juga menjadi salah satu keluhan dari pengguna layanan, dimana terjadi kekosongan obat yang sudah diresepkan oleh dokter di salah satu rumah sakit milik daerah di Provinsi Kalsel, dengan alasan proses pengadaan obat melalui e katalog terkendala, sehingga kemudian masyarakat harus menanggung biaya sendiri untuk memberi obat diluar fasilitas kesehatan, padahal masyarakat merupakan pasien BPJS Kesehatan yang harusnya tidak dibebankan biaya tambahan lain dalam pelayanan kesehatan. Keluhan lain terkait obat juga terjadi pada pasien BPJS kesehatan, misalnya dalam hal tidak ada informasi yang disampaikan kepada pasien terkait paket pelayanan Kesehatan yang ditanggung BPJS, sehingga masyarakat masih diminta untuk membeli obat secara mandiri karena obat yang diresepkan oleh dokter tidak masuk dalam jenis obat yang di tanggung oleh paket BPJS. Hal yang hampir serupa terkait minimnya informasi kepada pasien juga terjadi terkait ketidaksinkronan data ketersediaan kamar antara mobile JKN dengan data yang disampaikan rumah sakit. Pada data mobile JKN dituliskan masih tersedia, namun saat ditanyakan ke bagian administrasi, disampaikan bahwa kamar penuh, sehingga ditawarkan untuk masuk ke kelas yang lebih rendah, atau jika hendak naik kelas yang lebih tinggi, maka dengan konsekuensi menambah pembayaran selisih kamar, padahal setiap bulannya Masyarakat telah membayar iuran BPJS sesuai pilihan kelasnya, namun ketika hendak dipakai masyarakat dihadapkan dengan dua pilihan yang sama-sama merugikan dirinya sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Ketidakpastian layanan di atas sesungguhnya telah banyak menyimpang dari asas penyelenggaraan pelayanan publik, baik dalam konteks kesamaan hak, keterbukaan, akuntabilitas, tidak diskriminatif, hingga mengingkari asas kemudahan dalam akses pelayanan publik, yang berdampak pada kondisi masyarakat yang mengalami kerugian baik materiil maupun immateril yang dalam konteks pelayanan publik disebut dengan maladministrasi. Masyarakat tentu dapat menyampaikan rasa ketidakpuasannya dalam layanan Kesehatan, hingga menyampaikan laporannya termasuk kepada Ombudsman Kalsel, namun kerap kali masyarakat dihadapkan dengan pilihan, disatu sisi ingin mendapatkan layanan kesehatan tanpa 'dihantui' rasa was-was/tidak nyaman karena telah melayangkan keberatan (mengingat masih terdapat oknum penyelenggara pelayanan publik yang belum siap mental dengan konsep melayani sesungguhnya), disisi lain masyarakat berharap ada perbaikan dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya, dengan jalan menyampaikan keberatan/masukan terhadap proses layanan kesehatan sebagaimana dirasakan olehnya.
Bukan hanya terkait ketersediaan sarana/prasarana, dan informasi dalam layanan kesehatan yang menjadi keluhan masyarakat, sikap layanan juga masih menjadi keluhan yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam keadaan sakit dan butuh pertolongan dari pihak medis, masyarakat malah dihadapkan dengan sikap arogan yang ditunjukkan oleh oknum petugas layanan kesehatan, bahkan menantang masyarakat jika tidak senang dengan perlakukan petugas, maka dapat meninggalkan fasilitas kesehatan dan mencari fasilitas kesehatan lain yang disukai masyarakat. Bahkan menyampaikan kata-kata kasar yang intinya tidak perlu kembali berobat lagi ke fasilitas kesehatannya. Tentu hal ini membuat masyarakat tidak nyaman dan kecewa, padahal masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan di fasilitas kesehatan tersebut tak secara cuma-cuma, kebetulan masyarakat adalah peserta BPJS kesehatan, yang membayar iuran setiap bulannya.
Kondisi maladministrasi dalam layanan kesehatan di atas masih kerap terjadi, dan cenderung berulang, satu persatu baik berdasarkan pengaduan, berdasarkan inisiatif Ombudsman, telah ditindaklanjuti oleh Ombudsman, serta berbagai saran telah disampaikan kepada penyelenggara kesehatan, namun ternyata jalan untuk mewujudkan layanan kesehatan yang berpihak pada masyarakat, tak semudah yang dicita-citakan konstitusi. Bahkan menjadi pertanyaan kemudian bagaimana dengan fasilitas kesehatan yang sudah mencanangkan zona integritas, atau telah meraih predikat WBK/WBBM, apakah predikat tersebut hanyalah ujuk citra baik dari layanan kesehatan secara kelembagaan, namun internal pelayanan masih belum tetap mencerminkan pelayanan yang prima, bersih dan bebas dari korupsi.